The human condition: lost in thought
~Eckhart Tolle
Saya sengaja memberikan judul yang menggigit untuk artikel ini. Banyak orang yang salah mengerti bila saya berbicara mengenai pikiran. Semua buku dan artikel yang saya tulis selalu berbicara mengenai pikiran. Banyak yang bertanya pada saya, ”Pak, berarti kunci untuk mencapai sukses atau kebahagiaan adalah dengan pikiran?”
”Ya dan belum tentu”, jawab saya.
Lha, kok bisa ya dan belum tentu. Bukankah semua ini hanya permainan pikiran?
Anda benar sekali. Semua adalah permainan pikiran . Namun sayangnya seringkali yang kita alami adalah kita dipermainkan pikiran kita dalam suatu permainan yang pikiran mainkan dengan tidak main-main.
Bingung?
Manusia pada umumnya, tanpa mereka sadari, hanya menjalani kehidupan dalam koridor penjara pikiran yang sempit yang dibatasi oleh tembok-tembok tinggi persepsi. Mereka jarang sekali, jika tidak mau dikatakan tidak pernah, mampu menjelajah melampaui perangkap penjara pikiran yang dikondisikan oleh keterbatasan persepsi akibat ketidaktahuan akan ketidaktahuan.
Dengan bahasa yang lebih sederhana manusia hidup dalam realita yang ditentukan oleh seperangkat aturan (baca: program pikiran) yang ada dalam pikirannya. Kita tidak melihat segala sesuatu apa adanya. Kita melihat sesuatu apa kita-nya.
Sang Buddha pernah berkata, “Pikiran itu sungguh sukar diawasi. Ia amat halus dan senang mengembara sesuka hati. Karena itu hendaklah orang bijaksana selalu menjaganya. Pikiran yang dijaga dengan baik akan membawa kebahagian. Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap, sulit dijaga dan sulit dikuasai; namun orang bijaksana akan meluruskannya, bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak panah”
Benar, kita bisa mencapai kebahagian atau sukses di bidang apa saja dengan menggunakan pikiran secara benar. Namun bila kita tidak hati-hati seringkali kita dipedayai oleh pikiran kita.
Ambil contoh ”kebencian” dan ”kebahagiaan”. Jika dilihat sekilas maka kita tahu bahwa ”kebencian” adalah suatu emosi yang negatif sedangkan ”kebahagiaan” adalah emosi positif. Benarkah demikian? Ternyata ”kebahagiaan” justru bisa menjadi sumber masalah. Pikiran yang terlalu melekat, atau selalu menginginkan, atau berusaha mempertahankan ”kebahagiaan” justru akan menimbulkan efek negatif. Dan bahkan keinginan untuk bahagia bisa mengobarkan api ”kebencian”. Untuk lebih jelas mengenai hal ini anda bisa membaca artikel saya yang berjudul ”Bahaya Kebencian Dan Kebahagiaan”.
Untuk bisa keluar dari perangkap pikiran maka kita perlu mengerti cara kerja pikiran. Dengan memahami cara kerja pikiran kita bisa mengerti permainan yang sedang pikiran mainkan di suatu saat. Sehingga kita, bukannya larut dalam permainan itu atau didikte dengan suatu aturan main yang pikiran tetapkan sendiri, dapat menetapkan rule of game yang menguntungkan diri kita.
Untuk itu mari kita amati proses belajar setiap manusia. Kita melewati empat tahap belajar yaitu:
1. Unconscious Incompetence
2. Conscious Incompetence
3. Conscious Competence
4. Unconscious Competence
Pada tahap pertama, Unconscious Incompetence, kita tidak tahu kalau kita tidak tahu. Misalnya, sewaktu kita masih kecil, kita tidak tahu bahwa kita, saat itu, belum bisa jalan. Melalui interaksi dengan orang dewasa atau lingkungan kita, yang masih kecil, akhirnya tahu (Conscious Incompetence) bahwa kita belum bisa jalan. Mengapa? Karena kita melihat orang di sekeliling kita berjalan tegak.
Selanjutnya kita mulai belajar berjalan dan akhirnya bisa berjalan dengan sempurna (Conscious Competence). Sekarang, kita bahkan tidak sadar lagi bahwa kita bisa jalan dengan sempurna (Unconscious Competence). Kemampuan berjalan, yang dulunya kita pelajari dengan begitu susah payah, mengalami jatuh bangun, bahkan ada yang sampai kepalanya benjol karena jatuh, kini telah menjadi kecakapan yang bekerja secara otomatis.
Nah, saat suatu skill telah masuk ke tahap Unconscious Competence maka sejak saat itu, bila tidak dilakukan intervensi secara sadar, skill ini akan bekerja dengan prinsip automatic pilot.
Hal yang sama berlaku juga dengan kecakapan berpikir, yang note bene adalah keahlian pikiran itu sendiri.
Automatic pilot berfungsi untuk memudahkan hidup kita. Yang akan dijalankan oleh sistem automatic pilot adalah program/kebiasaan yang paling kuat. Baru-baru ini, saat sedang mengendarai mobil, saya larut dalam pemikiran yang cukup intens mengenai sesuatu. Saat itu pikiran (bawah sadar) saya secara otomatis mengambil alih kendali. Tanpa saya sadari, saat bertemu jalan yang bercabang dua, secara otomatis mobil saya belokkan ke kanan. Padahal rute yang seharusnya saya lewati adalah belok ke kiri. Jalan ke arah kanan adalah rute yang setiap hari saya lalui untuk ke kantor.
Nah, apa sih yang membuat kita terperangkap di dalam penjara pikiran?
Salah satu kebutuhan dasar manusia yang sangat menonjol adalah kebutuhan akan konsistensi. Saat pikiran telah memutuskan untuk menerima sesuatu sebagai ”kebenaran” maka ia akan konsisten dengan ”kebenaran” itu. ”Kebenaran” ini belum tentu sejalan dengan ”kebenaran” yang kita setujui kebenarannya. ”Kebenaran” menurut pikiran sejalan dengan pemikiran pikiran itu sendiri yang didukung dengan berbagai pengalaman yang pernah kita alami.
”Kebenaran” ini dikenal dengan istilah belief. Jadi, setelah pikiran mengadopsi suatu belief maka selanjutnya belief ini yang mengendalikan pikiran. Tanpa intervensi yang dilakukan secara sadar maka hidup kita sepenuhnya dikendalikan oleh berbagai belief yang telah kita adopsi dan yakini kebenarannya.
Saat kita percaya/belief akan kebenaran sesuatu maka kita tidak akan lagi mempertanyakan keabsahan data atau landasan pijak berpikir yang digunakan sebagai dasar penerimaan suatu belief. Belief kita selalu benar menurut kita. Yang benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain. Kita akan mati-matian mempertahankan belief kita karena kita yang memutuskan bahwa ”sesuatu” itu adalah hal yang benar. Masa kita meragukan kebenaran yang telah kita putuskan ”kebenarannya” ?
Lalu, bagaimana caranya untuk bisa keluar dari perangkap penjara pikiran? Sesuai dengan judul artikel ini maka jalan kebebasan adalah melalui pintu kesadaran.
Nah, anda mungkin akan bertanya, ”Mengapa harus melalui pintu kesadaran?”
Hanya melalui pintu kesadaran kita bisa menyadari bahwa kita bukanlah pikiran kita, kita bukanlah perasaan kita, kita bukanlah kebiasaan kita, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa kita bukanlah belief kita. Kesadaran membuat kita mampu untuk melakukan disosiasi atau pemisahan yang jelas.
Dengan kesadaran kita mampu melakukan metakognisi atau berpikir mengenai pikiran. Dengan berpikir dan mengamati pikiran maka kita akhirnya mengenal ”sosok” pikiran kita. Kita akan tahu pola atau kebiasaan yang pikiran lakukan. Dengan kesadaran kita dapat memahami bahwa pikiran, walaupun merupakan piranti yang sangat luar biasa, tetap hanyalah sebagian kecil dari kesadaran itu sendiri.
Lalu, bagaimana cara untuk bisa mengamati pikiran?
Oh, caranya mudah sekali. Yang perlu kita lakukan adalah belajar untuk menjadi hening. Kita perlu membiasakan diri ”berjalan” di keheningan. Hanya dengan hening kita baru mampu mengamati pikiran kita dengan jelas.
Pikiran ibarat segelas air yang keruh karena berisi kotoran atau partikel kecil (baca: buah pikir). Dalam kondisi keruh kita tidak akan bisa melihat melampaui gelas air itu. Kita tidak akan mampu melihat dan mengamati berbagai komponen yang membuat air (baca: pikiran) menjadi keruh.
Lalu, bagaimana caranya untuk bisa melihat partikel kecil yang mengotori air? Bagaimana cara untuk bisa melihat melampaui gelas yang keruh?
Sekali lagi, caranya sangat mudah. Letakkan gelas yang berisi air keruh dan biarkan selama beberapa saat. Jangan digerak atau diaduk-aduk. Biarkan saja.
Selang beberapa saat kotoran-kotoran itu akan mulai mengendap dengan sendirinya, tanpa harus kita upayakan. Setelah semuanya mengendap air di gelas menjadi sangat jernih. Kotoran itu akan turun ke dasar gelas dan menjadi sangat mudah diamati. Kita juga akan dapat melihat melampaui gelas. Mudah, kan?
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya menjadi hening?
Setiap hari, selama sekitar 30 menit sampai 60 menit, lakukan meditasi. Duduklah dengan tenang dan mulailah mengamati pikiran anda. Bagi pemula anda bisa melatih diri dengan melakukan meditasi 15 menit di pagi hari dan malam hari.
Pengamatan terhadap pikiran akan membawa kita pada pengenalan dan pemahaman mendalam yang kita namakan kebijaksanaan. Nah, kebijaksanaan inilah sebenarnya kunci pembuka pintu kebebasan kita.
Bill Gould, mentor saya, selalu berpesan pada saya, “Adi, if you want to keep growing, you have to challenge everything. Even your own thinking and beliefs
Bersahabat Dengan Masalah
If a problem doesn’t kill you, it will make you stronger
Seorang kawan mengeluh, ”Pak, saya kok sering kena masalah ya? Padahal saya ini sudah rajin berdoa, selalu positive thinking, tidak pernah bikin susah orang lain, suka menolong orang lain, jujur dalam bekerja, dan nggak neko-neko. Kenapa ya Pak? Apa masalah saya? Saya sudah bosan kena masalah terus.”
”Wah, selamat ya”, balas saya.
”Lho, bagaimana sih Pak Adi ini. Saya punya banyak masalah kok malah diberi selamat. Senang ya Pak kalo lihat orang susah?”, kawan saya balik bertanya dan agak jengkel.
“Sabar...sabar... bukan begitu maksud saya. Jangan tersinggung dong”, jawab saya cepat sambil berusaha menenangkan kawan saya ini.
Nah, pembaca, apa yang saya tulis di artikel ini merupakan hasil obrolan saya dan kawan saya.
Masalah. Setiap orang pasti punya masalah. Setiap hari kita pasti berhadapan dengan masalah. Kita berusan dengan masalah. Kita mendapat masalah. Kita membuat masalah. Kita bahkan bisa jadi sumber masalah. Masalah terbesar adalah kalau kita tidak tahu bahwa masalah kita adalah kita merasa tidak punya masalah.
Pembaca, waktu anda mengalami masalah, bagaimana reaksi anda?
Apakah anda marah? Jengkel? Sakit hati? Frustrasi? Takut? Menyalahkan diri sendiri? Atau anda cenderung untuk menyalahkan orang lain?
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa saya menggunakan judul ” Bersahabat Dengan Masalah”. Apa nggak salah, nih? Kita kok diminta bersahabat dengan masalah?
Benar. ”Masalah” sebenarnya adalah hal yang sangat positif. Mari kita bahas terlebih dahulu makna di balik kata ”masalah”. Masalah, yang dalam bahasa Inggris adalah ”problem”, ternyata mempunyai akar kata yang maknanya sangat berbeda dengan yang kita pahami selama ini.
Akar kata ”problem” berasal dari bahasa Yunani, proballein, yang bila ditelusuri lebih jauh mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw . Jadi, problem berarti bergerak maju. Problem berarti kesempatan untuk maju dan berkembang.
Sewaktu pertama kali mengetahui bahwa akar kata problem, proballein, artinya bergerak maju, saya sempat terhenyak dengan perasaan kaget dan takjub. Sungguh luar biasa dan sungguh benar. Coba kita renungkan bersama. Masalah sebenarnya adalah suatu simtom yang menunjukkan adanya suatu penyebab atau akar masalah. Justru dengan seringnya seseorang mendapat “masalah”, bila orang ini cukup bijak dan jujur pada dirinya sendiri, ia akan berkembang dan bisa lebih maju.
Lha, kok bisa begini?
Pernahkah anda, atau mungkin orang yang anda kenal, mendapat atau mengalami masalah?
Jawabannya, “Sudah tentu pernah.”
Pertanyaan saya selanjutnya, “Apakah masalah yang dialami anda mirip dengan masalah sebelumnya?
Jika kita mau bersikap jujur dan jeli dalam mengamati maka seringkali masalah yang kita alami sifatnya “mengulang” masalah sebelumnya. Ada kemiripan atau kesamaan. Bentuk masalahnya bisa berbeda namun polanya sama.
Satu contoh. Ada seorang wanita yang putus dengan pacarnya. Ia marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan bersumpah akan mencari pasangan yang jauh lebih baik. Namun kenyataannya? Ia mendapatkan pacar baru yang mempunyai karakter yang serupa dengan mantan pacarnya.
Ada lagi seorang pengusaha besar, kawan saya, berulang kali kena tipu. Sekali kena tipu jumlahnya nggak main-main. Bukan puluhan juta tapi ratusan juta. Dan ini terjadi berulang kali.
Seorang kawan yang lain seringkali ribut dengan istrinya hanya karena hal-hal sepele. Misalnya hanya karena si istri memencet pasta gigi tidak dari bawah, tetapi dari tengah, ia marah besar. Sebaliknya si istri walaupun telah diberitahu suaminya tetap mengulangi pola perilaku yang sama.
Masalah yang kita hadapi sebenarnya menunjukkan ”level” kita. Siapa diri kita sebanding dengan masalah yang kita hadapi. Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita untuk mengatasinya? Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya?
Masalah atau problem sebenarnya guru sejati yang seringkali kita abaikan. Kebanyakan orang mengalami masalah yang serupa atau berulang karena mereka tidak belajar dari masalah yang pernah mereka alami.
Ibarat anak sekolah bila kita tidak naik kelas, karena nilai ujian kita jelek, maka kita akan mengulang di level atau kelas yang sama. Tidak mungkin guru akan menaikkan kita ke kelas berikutnya. Mengapa? Lha, soal ujian di level ini saja kita nggak lulus apalagi kalau diberi soal ujian level di atasnya.
Kita harus mengulang, tidak naik kelas, dengan harapan kita akan belajar, meningkatkan diri, dan akhirnya mampu mengerjakan soal ujian dengan benar. Dengan demikian kita ”lulus” ke kelas berikutnya.
Saat tidak naik kelas, bukannya belajar dari ”masalah” ini, banyak yang malah membuat masalah baru dengan menjadi marah, frustrasi, dan menyalahkan guru atau sekolah. Anda pernah bertemu dengan orang seperti ini?
”Ah, itu kan anak sekolah. Memang harusnya begitu”, ujar kawan saya.
Lho, kita ini kan juga anak sekolah. Kita sekolah di Sekolah Kehidupan. Kehidupan adalah tempat kita belajar. Untuk maju kita harus menjadi pembelajar seumur hidup atau life long learner.
Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya kurang setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya pengalaman adalah guru terbaik bila itu pengalaman orang lain. Jadi, kita belajar dan mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan dengan menelaah dan mempelajari pengalaman orang lain dan kita terapkan untuk kemajuan hidup kita.
Lha, lebih baik mana, anda kena tipu Rp. 1 Miliar atau anda belajar dari pengalaman orang lain yang tertipu Rp. 1 Miliar dan anda gunakan pengetahuan ini untuk melindungi diri anda agar tidak mengalami masalah yang sama?
Pengalaman adalah guru yang terbaik bila kita dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang kita alami. Kebanyakan orang mengalami ”pengalaman” hanya sekedar mengalami. Mereka tidak memetik pelajaran atau manfaat apapun dari pengalaman (baca: masalah) mereka.
OK. Sekarang sudah jelas bahwa kita bisa belajar dari masalah. Tapi bagaimana caranya?
Ada 4 langkah mujarab untuk mengatasi setiap masalah dalam hidup:
1.Mengakui adanya masalah
2.Setiap masalah pasti ada sumber atau akar masalahnya
3.Bila akar masalah ditemukan maka masalah dapat dipecahkan
4.Jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
Contoh konkritnya?
Mari kita analisis kasus yang dialami kawan saya. Itu lho, yang bolak-balik kena tipu ratusan juta rupiah.
Langkah pertama adalah mengakui atau menerima bahwa ia punya masalah. Ia harus berani mengakui dan memutuskan untuk mengubah hal ini. Masalahnya adalah ia berkali-kali kena tipu. Banyak orang yang bila mendapat masalah, hanya bisa berdoa, pasrah, nerimo, dan berkata bahwa masalah mereka adalah bentuk cobaan dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa masalah yang mereka alami, karena merupakan cobaan dari Tuhan, maka Tuhan-lah yang harus mengubah keadaan ini. Saya tidak setuju dengan pandangan ini. Bukankah ada tertulis bahwa Allah tidak akan membantu mengubah nasib umatNya apabila umatNya tidak bersedia mengubah nasib mereka sendiri.
Langkah kedua adalah memahami bahwa masalah (simtom) yang ia alami pasti ada sumber atau akar masalah. Dan akar masalahnya bukan terletak di luar dirinya, misalnya ia tertipu karena ke-lihay-an si penipu dalam meyakinkan dirinya sehingga mau meminjami uang, tapi akar masalahnya terletak di dalam dirinya.
Langkah ketiga, bila akar masalah yang ada di dalam dirinya berhasil ditemukan, maka ia dapat mengatasi masalahnya.
Langkah keempat adalah memilih solusi terbaik yang akan digunakan dalam mengatasi masalah. Setelah sukses melakukan empat langkah di atas maka ia dapat memetik hikmah dari apa yang ia alami.
Sekarang akan saya uraikan langkah demi langkah yang dilakukan kawan saya.
Langkah 1. Masalah : Saya tertipu ratusan juta berkali kali.
Langkah 2. Saya menyadari bahwa akar masalah terletak di dalam diri saya
Langkah 3. Akar masalah saya adalah belief yang menyatakan bahwa saya adalah kasirnya Tuhan.
Langkah 4. Saya mengubah belief saya, dari kasirnya Tuhan menjadi Fund Manager uangnya Tuhan. Saya akan mengelola uang yang dipercayakan kepada saya dengan hati-hati karena saya harus mempertanggungjawabkan uang ini setiap akhir tahun buku.
Hikmah yang didapat dari masalah ini adalah bahwa apa yang ia alami dipengaruhi oleh belief-nya. Setiap belief mengakibatkan konsekuensi tertentu. Cara paling tepat untuk mengevaluasi apakah suatu belief bermanfaat atau justru merugikan diri kita bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh belief-belief itu terhadap hidup kita.
Selama seseorang masih tetap memegang belief yang sama maka ia akan mendapat hasil yang sama. Tidak mungkin terjadi seseorang mendapat hasil yang berbeda dengan belief yang sama. Einstein menjelaskan dengan sangat tepat saat ia berkata, ”Insanity is doing the same thing over and over but expecting different result”.
The Law of Attraction (1)
The vibrations of mental forces are the finest and
consequently the most powerful in existence
~Charles Haanel
Banyak orang yang bingung saat saya menjelaskan prinsip sukses yang kami ajarkan di Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet. Berbeda dengan kebanyakan prinsip sukses yang telah mereka ketahui di SC kami mengajarkan 5 langkah sukses yang menjadi intisari dari teknik untuk menggunakan The Law of Attraction (LOA) dengan mudah dan optimal.
Ada seorang pembaca buku dari Jakarta yang menelpon saya dan bersikeras mengatakan bahwa keberhasilan yang dialami oleh rekan-rekan yang mempraktikkan apa yang kami bagikan di SC hanyalah kebetulan. Pembaca ini merasa bahwa sukses itu nggak mudah. Sukses hanya bisa diraih dengan perjuangan keras dan kalau perlu sampai “berdarah-darah”.
Melalui percakapan yang cukup intens selama hampir setengah jam saya menjelaskan prinsip kerja LOA. Salah satu hal yang saya sampaikan padanya adalah, “Do you want to be successful through the hard way or easy way?” Keberhasilan akan sangat sulit dicapai, atau membutuhkan upaya yang sangat keras (massive action), bila kita bekerja tidak sejalan dengan LOA.
Banyak orang yang kurang atau tidak mengerti mengenai cara kerja LOA. Akibatnya mereka menggunakan LOA secara tidak sadar (by default) dan membuat hidup mereka menderita. Ada juga orang yang walaupun tidak menyadari adanya LOA namun mereka dapat menggunakannya untuk kemajuan hidup mereka.
Melalui artikel ini saya ingin menjelaskan lebih detil mengenai LOA dan bagaimana kita, dengan pemahaman yang benar mengenai LOA, akan dapat menggunakan LOA untuk kemajuan kita di berbagai aspek kehidupan.
Untuk bisa mengerti cara kerja LOA kita perlu mengetahui cara kerja pikiran. Pikiran mempunyai vibrasi. Dan apapun yang kita pikirkan akan dikirim ke semesta alam dalam bentuk sinyal yang akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan vibrasi pikiran kita. Likes attract likes. Dengan memahami hal ini maka apapun yang terjadi dalam hidup kita baik yang positif dan negatif adalah akibat dari hasil kerja LOA yang diaktifkan dan diarahkan oleh pikiran kita.
Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah sifat LOA yang selalu ”on”. ”Selalu” artinya tiap detik selama kita hidup dan pikiran masih bekerja maka LOA akan aktif.
Untuk mudahnya saya berikan ilustrasi berikut. Bayangkan anda bekerja, sebagai seorang manajer, di stasiun televisi. Tugas anda menentukan materi siaran yang akan ditayangkan secara live. Anda bebas menentukan apa jenis materinya. Setiap materi yang akan disiarkan akan ditampilkan di layar monitor dan setelah itu akan di-broadcast dengan satelit ke seluruh dunia. Anda mendapat materi siaran dari dua tim yang berbeda. Ada tim A dan tim B. Apapun usulan materi siaran yang mereka ajukan, andalah yang berhak menentukan pilihannya.
Apa yang saya jelaskan di atas sama dengan cara kerja pikiran. Anda, pada ilustrasi di atas adalah kesadaran diri. Tim A adalah pikiran sadar dan Tim B adalah pikiran bawah sadar. Layar monitor adalah layar mental/pikiran anda. Dan karena sifat siarannya adalah live maka apapun yang muncul di layar monitor akan langsung disiarkan tanpa sensor sama sekali.
Namun jangan khawatir. Walaupun apa yang ada di pikiran akan selalu disiarkan hal ini tidak berarti kita akan langsung bisa mendapatkan atau menarik hal-hal yang ada di pikiran kita ke dalam realita fisik kita. Dengan bahasa yang lebih sederhana ada waktu jeda/time-delay antara saat kita mem-broadcast materi pikiran dan saat kita mendapatkan apa yang kita broadcast.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa ada lebih banyak orang yang hidupnya susah dibandingkan dengan orang yang bahagia? Mengapa lebih banyak orang yang gagal dibandingkan dengan yang sukses?
Dengan memahami cara kerja LOA maka akan sangat mudah menjawab pertanyaan ini. Orang gagal/susah adalah orang yang menggunakan LOA untuk menarik hal-hal yang justru tidak mereka inginkan. Sedangkan orang sukses/bahagia adalah orang yang, baik secara sadar atau tidak, menggunakan LOA untuk menarik hal-hal yang mereka inginkan.
Anda bisa membantah saya dengan berkata, “Lha, Pak, siapa yang mau hidup susah. Hanya orang edan saja yang mau hidup susah. Bukankah orang yang gagal atau hidup susah itu juga telah berusaha keras untuk bisa sukses/bahagia?”
Anda benar sekali dan juga keliru. Anda benar bahwa tidak ada orang yang mau gagal. Namun anda keliru jika hanya menilai seseorang berdasar tindakan atau ucapannya. Mengapa bisa begitu? Karena LOA tidak memberikan respon pada tindakan atau ucapan. LOA hanya memberikan respon pada (vibrasi) pikiran yang mendasari tindakan atau ucapan. Anda jelas sekarang? Yang paling penting adalah pikiran di balik setiap tindakan atau ucapan kita.
Pikiran mempunyai dua outlet yaitu ucapan dan tindakan. Jadi, apapun yang kita ucapkan dan lakukan selalu diawali dengan pikiran. Untuk bisa menggunakan LOA demi kemajuan kita maka yang perlu kita benahi dan tingkatkan adalah kualitas berpikir kita. Bukan ucapan atau tindakan kita.
Anda mungkin ingat cerita mengenai seorang wanita yang sangat membenci ibunya. Sejak kecil wanita ini memutuskan bahwa kelak saat dewasa ia tidak ingin menjadi seperti ibunya. Keinginan untuk tidak menjadi seperti ibunya begitu kuat tertanam di pikiran si wanita ini. Setelah dewasa apa yang terjadi? Wanita ini menjadi serupa dengan ibunya. Lha, kok bisa? Ini adalah salah satu bentuk dari hasil kerja LOA. Dengan tidak ingin menjadi seperti ibunya maka yang muncul di layar mentalnya adalah si ibu. Wanita ini secara tidak sadar telah memberikan perhatian, fokus, dan energi dalam bentuk emosi kepada buah pikirnya. Sehingga ia mendapatkan hasil yang seakan-akan bertentangan dengan keinginannya.
Dari umpan balik yang saya terima dari para alumnus SC, sudah ada 3 (tiga) orang yang mendapatkan mobil gratis. Dua alumnus mendapat hadiah dari kawan mereka padahal mereka sama sekali tidak meminta. Sedangkan yang satunya mendapatkannya dari sebuah bank. Yang lebih istimewa dari kawan kami yang dapat mobil dari bank yaitu saldonya hanya sebesar Rp. 300.000 saja.
Anda mungkin bingung dan bertanya, ”Ah, yang benar saja. Masa semudah ini?”. Pertanyaan ini juga yang sering muncul di pikiran saya dan kawan-kawan yang ”beruntung”. Kita mengalami LOA namun kita tetap masih begitu terkagum-kagum.
Di SC kami mengajarkan 5 langkah sukses yang menjadi intisari apa yang kami tulis di buku Becoming a Money Magnet yaitu 1) Tahu apa yang diinginkan/Dream, 2) Yakin, 3) Syukur, 4) Pasrah, dan 5) Doa.
Sederhana, bukan?
Apakah dengan mengetahui dream berarti kita bisa langsung mendapatkan apa yang kita inginkan dengan bantuan LOA? Belum bisa. Ada syarat lain yang harus dipenuhi. Apa itu ? Buah pikir (thought) bila hanya dipikirkan ”apa adanya” akan mempunyai efek tarikan yang kecil. Untuk bisa memperbesar efek tarikannya, dengan demikian mempercepat realisasi pikiran-menjadi-realita fisik, dibutuhkan bantuan emosi sebagai booster. Emosi yang dimaksud bisa berupa emosi positif maupun yang negatif.
Sekarang coba kita lihat hidup kebanyakan orang yang ”biasa-biasa”. Mereka biasanya salah menggunakan pikiran mereka. Apa maksudnya?
Pikiran tidak mengenal garis waktu yang membagi waktu menjadi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Yang ada hanya satu waktu saja yaitu saat ini, the moment. Kebanyakan orang hidup di masa lalu mereka. Yang mereka ingat sering kali adalah pengalaman buruk, kegagalan, dan atau kejadian traumatik yang pernah mereka alami. Kalaupun mereka ”melihat” ke masa depan maka yang dilihat adalah juga sesuatu yang suram dan tidak menyenangkan.
Sekali lagi, pikiran hanya mengenal ”saat ini”. Saat kita memikirkan kejadian di masa lalu maupun sesuatu yang kita antisipasi di masa depan maka semua bentuk pikiran ini langsung muncul di layar monitor kita. Apa yang terjadi setelah itu? Benar sekali. Apa yang ada di layar monitor (pikiran) langsung disiarkan. Selanjutnya apa yang terjadi? Dengan ”bantuan” LOA kita akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan vibrasi buah pikir kita.
Oh ya satu hal yang perlu saya tekankan adalah bila saya berbicara mengenai pikiran maka saya selalu mengacu pada kedua pikiran yaitu pikiran sadar dan bawah sadar. Pengalaman klinis membuktikan bahwa yang mendominasi pikiran kita adalah pikiran bawah sadar yang kekuatannya sembilan kali lebih kuat dari pikiran sadar.
Jika kita ingin membuat LOA bekerja maksimal maka kita perlu membereskan berbagai mental block yang ada di pikiran bawah sadar. Seringkali apa yang kita pikirkan secara sadar, misalnya ingin sukses, ternyata bertentangan dengan buah pikir yang ada di pikiran bawah sadar.
Yang terjadi selanjutnya adalah kita mem-broadcast dua macam vibrasi pikiran. Yang satu ingin kita sukses dan yang satu lagi tidak ingin kita sukses. Mana yang lebih kuat efeknya? Sudah tentu vibrasi dari pikiran bawah sadar. Mengapa? Karena buah pikir dari pikiran bawah sadar telah di-charge dengan emosi.
Nah, setelah mengetahui hubungan antara pikiran dan LOA lalu apa yang bisa kita lakukan untuk memanfaatkan LOA untuk kemajuan kita? Kuncinya satu yaitu kesadaran diri. Kita harus berusaha selalu sadar untuk mengarahkan pikiran kita untuk hanya memikirkan hal-hal yang kita inginkan.
Pada artikel selanjutnya saya akan membahas lebih dalam lagi mengenai The Law of Attraction.
The Law of Attraction (2)
Your thoughts and your feelings create your life.
It will always be that way. Guaranteed!
~Lisa Nichols
Pada akhir artikel sebelumnya saya mengatakan bahwa kunci untuk memanfaatkan LOA demi kemajuan kita adalah dengan kesadaran diri. Kita harus selalu sadar untuk senantiasa mengarahkan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang kita inginkan.
Apakah ini mudah? Oh, sudah tentu tidak mudah. Deepak Chopra pernah berkata bahwa dalam satu hari kita melakukan self-talk sebanyak 55.000 – 65.000 kali. Nah, self-talk ini termasuk bentuk pikiran. Pertanyaannya sekarang, ”Bagaimana caranya kita bisa menggunakan kesadaran untuk mengendalikan buah pikir sebanyak ini?” Jawabannya, ”Tidak mungkin bisa”.
Jawaban ini berlaku bagi orang awam. Ada segelintir orang yang mampu mengendalikan pikiran mereka sepenuhnya. Namun untuk bisa mencapai kemampuan ini dibutuhkan latihan dengan disiplin diri yang tinggi selama bertahun-tahun.
Sekarang kita hidup di jaman serba instan. Saya yakin tidak ada satupun di antara kita yang mau melakukan latihan mental semacam itu. Apakah ada cara yang lebih mudah dan nggak usah kerja keras? Ada. Mau tahu? Gunakan perasaan atau emosi sebagai Guiding System.
Beberapa waktu lalu saya sempat menulis artikel dengan judul ”Emosi: Kunci Rahasia Kebijaksanaan”. Saya sangat menyarankan anda untuk membaca artikel ini agar bisa lebih memahami apa yang saya uraikan di artikel ini.
Kembali ke laptop... eh salah... ke perasaan. Karena kita tidak mungkin mengawasi satu per satu pikiran yang muncul maka cara paling mudah adalah dengan selalu mengawasi perasaan kita. Bagaimana caranya? Mudah saja. Jika kita merasa senang, bahagia, gembira, atau gampangnya merasa ”enak” maka ini artinya baik. Jika perasaan yang kita rasakan bersifat negatif (tidak ”enak”) maka ini sebenarnya merupakan warning signal dari Guiding System kita bahwa ada bagian, di pikiran bawah sadar, yang kerjanya tidak in-line.
Saat emosi kita muncul terhadap sesuatu objek, objek apapun termasuk objek pikiran, maka pada saat itu kita mengaktifkan dan memberikan ”perintah” pada LOA untuk mulai bekerja dan menarik hal-hal yang membuat munculnya perasaan kita.
Contohnya begini. Ada seorang wanita yang baru putus cinta. Hatinya sakit bak disayat sembilu. Emosinya bergejolak. Saat itu ia memutuskan bahwa ia ingin mendapat pasangan yang jauh lebih baik daripada mantan kekasihnya yang brengsek, kurang ajar, nggak tahu diri, dan egois. Selang beberapa bulan apa yang terjadi?
Benar. Wanita ini mendapatkan pasangan yang kurang lebih sama dengan mantan kekasihnya. Lha, kok bisa begitu? Bukankah ia ingin mendapatkan pasangan yang lebih baik? Bukankah ia ingin bahagia?
Sekali lagi, anda benar. Namun wanita ini secara tidak sadar telah mengaktifkan LOA untuk menarik pria yang justru tidak ia inginkan. Mengapa bisa terjadi? Saat ia memutuskan bahwa ia ingin mendapatkan pasangan yang ”tidak seperti” mantan kekasihnya maka yang muncul di layar mentalnya justru gambar mantan kekasihnya. Begitu gambarnya muncul maka semua emosi yang berhubungan dengan pengalaman negatifnya juga ikut muncul. Akibatnya? LOA bekerja mewujudkan apa yang menjadi fokus perhatian dengan muatan emosi terkuat.
Beberapa waktu lalu saya mendapat telpon dari seorang pembaca buku Becoming a Money Magnet (BMM). Ibu ini, sebut saja Yuni, tinggal di Surabaya dan kebetulan seorang dokter. Ibu Yuni bercerita mengenai anaknya yang berusia 2 tahun yang sangat susah makan. Sudah sangat banyak cara ia coba agar bisa membuat anaknya mau makan. Namun selalu gagal.
Nah, setelah Ibu Yuni membaca buku BMM ia mencoba melakukan pendekatan yang berbeda. Selama ini yang ada dipikiran Ibu Yuni adalah, ”Anak saya susah makan”. Dan sesuai dengan prinsip kerja LOA itulah yang ia dapatkan.
Perubahan terjadi saat Ibu Yuni, di pagi hari, mengubah pola pikirnya. Pagi ini Ibu Yuni mulai berpikir bahwa, “Anak saya suka makan dan pintar makan”. Dengan mindset seperti ini Ibu Yuni mulai menyiapkan sarapan pagi putranya. Hasilnya? Ibu Yuni bingung dan bengong. Anaknya, padahal nggak di-apa-apain, pagi itu langsung makan sarapannya dengan lahap.
Satu contoh lagi. Mengapa orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin? Orang miskin, pada umumnya, hanya memikirkan needs (kebutuhan). Orang kaya memikirkan wants (keinginan). Ada perbedaan yang signifikan antara needs dan wants.
Needs mencerminkan kondisi kita saat ini, what-it-is. Sedangkan wants mewakili kondisi what-it-shall-be. Karena dasar pikirannya berbeda maka bisa anda bayangkan bagaimana gambar yang muncul di monitor pikiran? Yang selalu di-broadcast oleh pikiran orang miskin adalah kondisi mereka yang serba minim, kekurangan, dan menderita. Dengan demikian gambar mental ini mengaktifkan emosi negatif yang semakin memperkuat kerja LOA. Mereka dapatkan apa yang mereka ”minta”
Berbeda dengan orang kaya. Yang mereka pikirkan adalah apa yang mereka inginkan (wants). Emosi yang muncul adalah emosi positif. Akibatnya? Mereka menjadi semakin kaya.
Anda mungkin berkata, ”Lho, Pak, saya kenal ada orang miskin yang juga senantiasa memikirkan wants, lho. Tapi kenapa hidupnya kok ya tetap susah?”
Ingat, LOA memberikan respon pada vibrasi pikiran yang mendasari setiap ucapan dan tindakan. Bisa saja orang miskin ini memikirkan wants. Tapi dasar pemikiran mereka bukan demi kebahagiaan namun lebih agar mereka bisa ”terbebas” dari himpitan kemiskinan. Nah, yang dominan sebenarnya apakah wants atau needs? Yang ada di pikiran orang miskin ini adalah scarcity (kekurangan) bukan abundance (keberlimpahan).
Lalu bagaimana dengan nasib sial yang beruntun? Wah, kalau ini jawabannya agak susah. Bagi yang sering mengalami sial atau ketidakberuntungan, misalnya musibah, sakit, masalah, dan yang lainnya, maka saran saya adalah anda harus segera cari orang pintar untuk di-ciswak atau di-ruwat. He..he...kalau yang ini jangan ditanggapi serius. Ini hanya bercanda.
Nah, kembali ke masalah nasib sial yang beruntun. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebelum saya jelaskan, saya akan berikan contoh kasus nyata yang pernah saya tangani.
Seorang pengusaha besar, Pak Agung, datang ke tempat saya, diantar oleh rekannya yang kebetulan juga kawan saya. Pak Agung mengeluh bahwa sudah dua tahun lebih ia mengalami depresi. Usahanya merosot hanya tinggal 30% dari biasanya. Orang terbaiknya keluar dan ia mendapatkan banyak hambatan/musibah dalam usahanya.
Melalui in-depth interview saya akhirnya menemukan akar masalahnya. Ceritanya begini. Dua tahun lalu Pak Agung pergi ke salon di sebuah hotel bintang lima. Pak Agung berniat memotong rambutnya. Saat itu ada beberapa orang yang juga sedang dipotong rambutnya. Tiba-tiba salah satu dari tamu itu terbatuk-batuk, gemetar, napasnya sesak, dan jatuh dari kursi. Semua yang ada di salon itu panik dan tidak ada yang berani mendekat. Pak Agung duduk persis di samping tamu ini.
Dengan terpaksa Pak Agung berusaha membantu tamu yang sakit ini. Lima belas menit kemudian tamu ini tubuhnya membiru dan meninggal. Ternyata ia kena serangan jantung. Nah, celakanya Pak Agung mempunyai belief bahwa bila ia berada di samping orang yang meninggal maka ini merupakan pertanda sangat buruk. Ini benar-benar apes yang sangat berat. Ia meyakini hal ini. Emosinya bergejolak.
Sejak saat itu Pak Agung mulai mengalami banyak ”kesialan” dalam hidupnya. Dan ”kesialan” ini semakin lama semakin banyak dan beruntun. Seakan-akan seperti sebuah downward spiral yang semakin lama semakin cepat menarik Pak Agung turun.
Apa yang saya lakukan untuk membantu Pak Agung. Sederhana saja. Saya tidak menggunakan hipnosis/hipnoterapi karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena Pak Agung belum bersedia diterapi dengan hipnoterapi. Salah dua adalah karena Pak Agung masih minum obat penenang sehingga kesadarannya tidak bekerja optimal.
Saya hanya menyarankan Pak Agung untuk mulai memikirkan hal-hal yang ia inginkan. Bukan hal-hal yang justru tidak ia inginkan. Tujuannya untuk menghentikan suplai energi ke pikiran ”sial” dan mulai mengarahkan energi pikirannya ke ”keberuntungan”.
Pak Agung mengakui bahwa sulit baginya untuk melakukan hal ini. Saya bisa menyadari kesulitannya karena daya kerja LOA telah begitu kuat mencengkram pikirannya. Selanjutnya yang bisa saya sarankan adalah untuk mengalihkan pikirannya ke hal-hal yang, bila ia lakukan, akan menimbulkan perasaan senang, tenang, damai, atau bahagia. Pokoknya hal-hal apa saja yang bisa membuatnya feel good. Teknik ini dikenal dengan nama distraction.
Apa itu? Misalnya karaoke, bermain dengan anak, memelihara ikan, merawat bunga/tanaman, liburan, nonton film, jalan ke mall, berdoa, meditasi, atau apa saja.
Setelah membaca uraian di atas saya yakin anda kini pasti mengerti mengapa ”nasib” seseorang bisa berubah setelah di-ciswak atau diruwat. Prosesi ciswak atau ruwatan ini sebenarnya hanyalah tool untuk meyakinkan pikiran seseorang sehingga fokusnya berubah dari yang sebelumnya berpikiran negatif ke pikiran yang positif. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip kerja LOA, orang ini mulai menarik hal-hal positif ke dalam hidupnya. Dengan demikian nasibnya berubah.
Misalnya anda pengusaha dan anda merasa nasib anda sial terus. Lalu anda memutuskan menjalani ruwatan. Eh... ternyata usaha anda masih rugi , katakanlah, Rp. 1 miliar. Pikiran anda akan berkata, ”Untung sudah diruwat. Coba kalau nggak. Wah saya bisa rugi Rp. 10 miliar. Karena sudah mengalami kerugian maka sialnya sudah lewat. Setelah ini pasti yang datang hanyalah keberuntungan”. Dengan mindset seperti ini sudah tentu anda akan mengalami keberuntungan.
Sebagai penutup saya ingin berbagi cerita mengenai kawan saya. Sebut saja namanya Pak Hari. Pak Hari adalah kepala kantor wilayah salah satu bank plat merah terbesar di Indonesia. Beliau mencapai posisi ini dengan mudah dan lancar. Bahkan beliau adalah kakanwil termuda dalam sejarah bank ini. Pak Hari ini memang sangat luar biasa kepribadiannya. Low profile tapi high profit.
Karena penasaran mendengar perjalanan karirnya saya lalu bertanya hal apa saja yang ia lakukan untuk bisa mencapai posisinya sekarang. Beliau memang tipe orang yang suka kerja keras. Namun ada satu hal yang berbeda yang akhirnya saya temukan. Apa itu? Beliau adalah seorang muslim yang taat. Selalu melakukan sholat lima waktu. Yang istimewanya, setiap selesai menyelesaikan sholat, beliau selalu memanjatkan doa, yang saya simpulkan sebagai afirmasi yang sangat dahsyat yang membuat LOA bekerja mendukung dirinya.
Apa doanya? Sederhana dan singkat. Beliau tidak minta macam-macam. Doa atau afirmasi yang selalu beliau panjatkan kepada Sang Hidup adalah, ”Ya, Allah, saya mohon agar dimudahkan jalanku”.
Pada artikel berikutnya saya akan menjelaskan cara untuk mendapatkan hasil spektakular tanpa harus mengubah belief.
The Law of Attraction (3)
Giving thought, on the one hand, and expecting or believing, on the other hand, is the balance that brings to you that which you receive
Pada artikel pertama mengenai LOA saya telah menyinggung sekilas mengenai prinsip sukses yang saya tulis di buku Becoming a Money Magnet (BMM) dan yang menjadi intisari dari materi yang diajarkan di Supercamp (SC) Becoming a Money Magnet. Pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit lebih mendalam mengenai prinsip sukses BMM, mengapa kami menyusunnya sedemikian rupa, dan hubungannya dengan LOA.
Rumus sukses yang kami ajarkan adalah 1) Tahu apa yang diinginkan/dream, 2) Yakin, 3) Syukur, 4) Pasrah, dan 5) Doa.
Langkah pertama “Tahu apa yang diinginkan”, atau mudahnya kita sebut saja dream, merupakan kunci untuk bisa merealisasikan hal-hal yang ingin dicapai dalam hidup. Bagaimana kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan kalau kita tidak jelas apa yang kita inginkan? Kejelasan (clarity) merupakan kunci dan tidak bisa ditawar. Dream merupakan buah pikir (thought) yang akan tampil di layar mental dan selanjutnya di-broadcast. Apakah hanya dream saja cukup? Tentu tidak. Dream yang kami maksudkan adalah dream yang mempunyai muatan emosi positif yang tinggi. Semakin tinggi akan semakin kuat efeknya.
Mengapa perlu dream? Alasan lainnya adalah dream merupakan wants bukan needs. Jika kita ditanya apa impian kita maka kita pasti akan menjawab sesuatu yang sangat kita inginkan di masa depan. Jika kita sudah punya mobil Kijang Inova maka dream kita bisa jadi Toyota Fortuner. Pasti sesuatu yang lebih tinggi. Nah, dengan pemahaman ini maka sudah jelas dream sangat penting.
Langkah kedua adalah yakin. Nah, ini yang susah. Yakin atau belief adalah urusan pikiran bawah sadar. Tidak mudah untuk bisa mengubah belief atau keyakinan kita. Itulah sebabnya mengapa banyak orang tahu apa yang mereka inginkan namun sangat sulit untuk mendapatkan impian mereka. Syarat pertama sudah terpenuhi. Mereka tahu apa yang mereka inginkan. Namun mereka tidak yakin. Terjadi konflik antara pikiran sadar dan bawah sadar. Pikiran sadar mau tapi pikiran sadar nggak yakin. Dan yang selalu menang adalah pikiran bawah sadar.
Saya mendapat banyak sekali respon positif dari para alumnus SC yang mengatakan bahwa, ”Miracle happens in my life” , ”Mengapa sekarang sukses kok sangat mudah dicapai?”, ”Saya bingung melihat perkembangan bisnis saya yang sedemikian pesat?”, ”Dulu saya susah payah mencari order, sekarang saya kepayahan dikejar-kejar order”. Dan masih banyak lagi komentar positif senada yang dikirim baik via sms maupun email ke saya.
Di SC di Trawas baru-baru ini kami melihat begitu banyak peserta yang mengalami transformasi diri. Kami menangis tangis bahagia bersama-sama. Sungguh satu kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata saat melihat para naga bangun dari mimpi yang selama ini membuat mereka bertindak hanya seperti layaknya cacing atau ular.
Apa yang kami lakukan di SC sebenarnya sederhana. Kami membantu para peserta untuk bisa keluar dari penjara mental yang telah sekian tahun membatasi mereka. Hanya itu. Setelah terbebas dari penjara mental (limiting belief) maka mereka bisa yakin. Dengan demikian dua langkah pertama telah berhasil dicapai.
Sebenarnya hanya dengan dua langkah ini saja, dream dan yakin, kita sudah bisa berhasil. Dua langkah ini sudah memenuhi syarat untuk bisa membuat LOA bekerja keras untuk kita.
Sebelum melanjutkan saya ingin membahas sedikit lebih dalam mengenai dream dan yakin/belief.
Dalam kondisi normal perkembangan diri kita bersifat gradual, perlahan-lahan, step by step. Demikian juga dengan belief. Itulah sebabnya goal setting ... eh.. salah... outcome setting harus dilakukan dengan hati-hati. Idealnya kita menset outcome paling tinggi 20% lebih tinggi dari pencapaian sebelumnya. Mengapa demikian? Karena ini adalah lompatan yang masih dianggap wajar/masuk akal oleh pikiran kita. Dengan demikian tidak akan ditolak.
Dalam kondisi normal, bila kita ingin mencapai hasil yang spektakuler, jauh di atas pencapaian yang selama ini kita capai, suatu quantum leap, maka yang perlu diotak-atik bukan belief kita. Mengapa? Karena dalam kondisi normal belief kita tidak bisa berubah drastis.
Nah, karena belief tidak bisa berubah drastis maka yang direkayasa adalah ”keinginan” kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Bingung? Ini saya beri satu contoh.
Anda mungkin pernah mendengar cerita mengenai seorang wanita yang mampu mengangkat mobil demi membebaskan anaknya yang terjepit di bawah mobil itu? Secara logika atau belief wanita ini tidak mungkin ia mampu mengangkat mobil yang berat. Namun ia sangat ingin menyelamatkan nyawa anaknya. Satu-satunya cara adalah dengan mengangkat mobil dan membebaskan si anak dari himpitan mobil. Hasilnya? Ia sukses mengangkat mobil itu. Jika ia diminta mengulangi lagi, apakah bisa? Tidak bisa.
Dengan kata lain, bila ”keinginan” benar-benar kuat maka pengaruh belief dapat di-by-pass sehingga kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.
Di SC kita mengajarkan peserta untuk berani menetapkan outcome 2 X lipat (200%) dari pencapaian sebelumnya. Edukasi ini dilakukan langsung ke pikiran bawah sadar.
Mengapa kami melakukan hal ini? Jawabannya sederhana. Untuk bisa mencapai hasil yang spekatuler atau quantum leap maka kita harus melepas belief lama dan mengadopsi belief baru yang mendukung pencapaian tujuan. Hanya ini caranya. Tidak ada cara lain. Ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan rekonstruksi atau restrukturisasi berbagai program pikiran yang ada di pikiran bawah sadar.
Nah, setelah langkah pertama, dream, dan langkah kedua, yakin/belief, saya jelaskan maka kini saya akan menjelaskan langkah ketiga yaitu syukur.
Pertanyaannya, ”Mengapa syukur? Mengapa bukan yang lain?”
Syukur mempuyai makna: 1) rasa terima kasih kepada Tuhan, dan 2) pernyataan lega, senang, dan sebagainya.
Setelah melewati langkah pertama dan kedua sebenarnya kemampuan peserta SC untuk menarik hal-hal yang mereka inginkan sudah sangat kuat. Kemampuan ini semakin diperkuat dengan level energi yang sangat tinggi dari perasaan syukur. Jika kita punya dream dan kita yakin bahwa kita pasti akan mendapatkan apa yang kita inginkan, atas ijin Tuhan, maka yang perlu kita lakukan tinggal bersyukur dan bersyukur. Bersyukur berarti kita senantiasa berterima kasih atas kemurahan Tuhan. Bersyukur berarti kita merasa lega, senang, gembira, bahagia, dan damai karena kita tahu bahwa kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Level energinya sangat tinggi, bisa mencapai 600. Bagi pembaca yang bingung mengenai level energi, anda bisa membaca artikel saya yang terdahulu yang berjudul ”Energi Psikis Sebagai Akselerator Keberhasilan”.
Setelah bersyukur maka selanjutnya kita pasrah. Kapan kita mendapatkan apa yang kita inginkan ini sepenuhnya bergantung pada Yang Kuasa, melalui kerja LOA. Dengan pasrah, kita justru semakin memperkuat kerja LOA.
Langkah terakhir adalah doa. Mengapa saya tidak menempatkan doa sebagai langkah awal? Karena sudah terlalu banyak orang yang berdoa namun tidak mendapatkan jawaban untuk doa mereka. Mungkin anda juga pernah mengalaminya. Mengapa bisa begitu? Karena kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka inginkan (dream). Kalaupun mereka tahu, mereka tidak yakin bisa mendapatkan dream mereka. Akibatnya mereka tidak bisa bersyukur karena tidak pernah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan selanjutnya mereka juga nggak pasrah. Banyak orang yang mengaku pasrah namun sebenarnya tidak. Hal ini tercermin dari sikap mereka yang cenderung negatif dan suka mengeluh.
Dengan menempatkan doa pada bagian akhir justru saya ingin mengatakan bahwa doa inilah yang paling penting. Mengapa? Karena definisi doa yang saya tawarkan berbeda. Ini menurut saya pribadi lho. Anda boleh setuju boleh juga tidak. Doa kita kepada Sang Hidup sebenarnya berupa pola pikir, ucapan, tindakan, sikap, perilaku, harapan, dan hidup keseharian kita.
Setelah membaca sejauh ini pasti anda bingung dan bertanya, “Lho, Pak Adi kok sama sekali tidak bicara mengenai action atau kerja?”.
He..he... sudah tentu kita perlu kerja. Namun jika telah menggunakan bantuan LOA untuk mencapai keberhasilan hidup maka kerjanya kita bisa sangat minim. Nggak usahlah melakukan massive action. Capek ah.. kalau terus-terusan massive action. Cukup action-action seperlunya saja lah. Inilah yang saya jelaskan panjang lebar di buku BMM. Anda akan mengalami berbagai kebetulan yang tidak kebetulan yang kebetulan mempermudah pencapaian tujuan anda dengan cara yang sangat kebetulan.
Lha, kalau bisa dibuat mudah mengapa harus dipersulit? Gitu aja kok repot?
Oh ya... mengakhiri seri tulisan ini, The Law of Attraction, saya sangat menyarankan anda untuk bisa segera membeli dan membaca buku The Secret yang ditulis oleh Rhonda Byrne. Buku ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Selain itu anda juga perlu menonton video The Secret yang merupakan satu video sangat dahsyat yang akan membuka wawasan berpikir anda mengenai LOA.
Quitters Can Win
Pembaca, saya yakin anda pasti pernah mendengar ungkapan, “Winners never quit and quitters never win”, yang jika diterjemahkan menjadi, “Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah menang (karena berhenti mencoba)”.
Tahukah anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih sepakbola Amerika yang mashyur.
Mungkin anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat perang dunia kedua, Sir Winston Churchill berkata, “Never, never, never quit”.
Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, “Apakah anda yakin dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh ini?”
Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan pernyataan, “Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses mencapai sukses” dan “Tidak penting berapa kali anda jatuh, yang penting adalah berapa kali anda bangkit kembali setelah anda jatuh”.
Lengkaplah sudah keyakinan saya ini. Berbekal keyakinan ini saya membuat keputusan untuk terus maju tak gentar membela yang benar… eh salah.. tak gentar menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses menuju sukses yang saya idamkan.
Setiap kali saya ingin berhenti, selalu tidak bisa. Mengapa? Ya itu tadi. Katanya, “Winners never quit and quitters never win”. Jika saya berhenti maka saya menjadi seorang pecundang. Wah… siapa yang mau jadi pecundang? Karena tidak mau dikatakan sebagai pecundang inilah yang membuat saya terus maju tak gentar, selama tujuh tahun, mengejar impian tanpa melakukan analisis kritis terhadap situasi dan kondisi kehidupan pribadi saya. Saya menggunakan jurus “pokoke”. Pokoke maju terus.
Semua ini diperparah lagi dengan kepercayaan “Tidak ada orang gagal. Semua orang pada dasarnya orang sukses. Mereka gagal karena mereka berhenti terlalu cepat”. Ck.. ck.. ck… betapa berbahayanya kepercayaan ini.
Nah, pembaca, setelah mendengar sekilas kisah saya, dan melihat judul artikel ini saya yakin anda pasti tahu ke mana arah pembahasan yang akan saya lakukan. Sebelum saya teruskan saya ingin bertanya kepada anda. Anda jawab jujur ya. Apakah anda juga pernah atau sedang mengalami hal yang sama seperti yang saya alami? Bersyukurlah bila anda belum. Bersyukurlah juga bila ternyata anda telah mengalaminya seperti saya. He..he..anda tidak sendirian.
Pertanyaan kritis yang seharusnya kita ajukan adalah, “Benarkah winners never quit and quitters never win?” Bagaimana kalau pernyataan Vince Lombardi di atas kita plesetkan sedikit menjadi “Quitters can win if they know the right reasons, the right way,and the right time to quit ”.
Saya mendapat banyak email dan sms dari pembaca buku saya. Saya melihat satu pola yang sama yaitu umumnya mereka berkeluh kesah mengenai hidup mereka. Ada juga yang mengeluh mengenai bisnis yang sedang mereka jalankan. Bisnis ini telah dijalani selama beberapa tahun tapi belum membuahkan hasil seperti yang mereka inginkan. Mereka sangat ingin berhenti tapi nggak bisa. Alasannya nanggung nih… sudah dijalankan beberapa tahun. Kan sayang kalau berhenti di tengah jalan. Waktu saya kejar lebih jauh ternyata mereka meyakini apa yang telah saya uraikan di atas. Intinya, jika berhenti mereka akan menjadi pecundang. Benarkah seperti itu?
Keengganan berhenti atau quit juga terjadi di aspek kehidupan lain. Ada seorang rekan yang telah menjalin hubungan dengan seseorang pria selama hampir sepuluh tahun, dan dia tahu hubungan ini tidak akan ke mana-mana, dan dia tahu pacarnya ini bukan tipe pria yang bertanggung jawab, namun ia tidak berani quit atau memutuskan untuk putus. Waktu saya tanya apa alasannya kok nggak berani putus dan cari pasangan lain yang lebih cocok, jawaban yang saya terima sungguh mengejutkan saya, “Lha, saya kan sudah pacaran hampir sepuluh tahun. Kalau harus memulai dari awal lagi rasanya berat bagi saya. Selain itu usia saya sekarang juga sudah hampir 30 tahun. Sulit mencari pasangan dengan usia saya sekarang ini. Rugi dong kalo saya berhenti sekarang”.
Wah… ini jawaban yang kurang pas. Menikah kan untuk seterusnya. Lha, kalau ternyata waktu pacaran saja sudah begini modelnya trus.. mau jadi apa nanti waktu sudah menikah? Saya hanya bisa geleng-geleng kepala saja karena bingung. Kalau dilihat sepintas rekan saya ini tampaknya nggak mau rugi. Mungkin masa pacaran yang sudah sepuluh tahun ini dianggap sebagai masa investasi. Dengan demikian ia telah menghitung ROI (return on investment) dan berapa potential loss yang mungkin terjadi jika ia quit.
Pembaca, apakah kita boleh quit?
Tentu boleh. Siapa yang berhak melarang? Kan ini hidupnya kita sendiri. Kita mau quit atau terus itu urusan kita. Orang lain nggak boleh ikut campur. Satu hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh yaitu saat kita quit, kita harus quit dengan alasan yang tepat. Tidak asal quit.
Untuk yang ini saya serahkan sepenuhnya pada anda. Kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah kita quit karena kita memang malas, tidak termotivasi, tidak tahan menderita, kurang ulet, ataukah kita quit karena kita, setelah bekerja sangat keras dan berusaha dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, melakukan whatever it takes, massive action dengan burning desire, sampai pada satu kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan ternyata tidak sejalan dengan value atau nilai-nilai hidup kita.
Quit di sini jangan diartikan hanya untuk orang yang belum berhasil mencapai sesuatu. Quit yang saya uraikan di sini juga berlaku bagi mereka yang sebenarnya telah berhasil mencapai kesuksesan pada level tertentu namun merasa hambar dengan hidup mereka.
Saya pernah membaca kisah seorang financial consultant, di Jakarta, yang sangat sukses dengan karirnya, pada usia 40 tahun, memutuskan untuk quit dan banting setir menjadi seorang pelukis. Benar, anda tidak salah baca, menjadi seorang pelukis.
Tentu tidak mudah melakukan hal ini. Banyak kawannya yang berkata bahwa ia gila karena meninggalkan karir yang begitu cemerlang, karir yang telah memberikan hasil yang begitu besar, khususnya di aspek finansial. Namun apa jawaban si financial consultant ini? “Saya merasa jauh lebih tenang, damai, dan bahagia dengan menjadi seorang pelukis. Ini adalah impian yang saya kubur sekian lama. Sekarang saya telah menjadi orang yang bebas mengekspresikan diri saya sendiri” jawabnya lugas.
Nah, pembaca, pada contoh di atas, yang terjadi adalah seringkali seseorang mendaki tangga kesuksesan, dan setelah mencapai puncak tangga, ia baru sadar ternyata tangganya bersandar di tembok yang salah. Nah, kalau begitu apa yang harus dilakukan? Ya banting setir seperti si financial consultant ini.
Mengapa sampai bisa terjadi tangga bersandar di tembok yang salah dan kita tidak tahu atau menyadarinya? Jawabannya sangat sederhana.
Apa itu?
Kebanyakan kita tidak merancang hidup dengan hati-hati dan saksama. Manusia pada umumnya menjalani hidup asal-asalan. Mereka tidak punya peta kehidupan yang akan mereka jalani. Bagaimana caranya agar bisa punya peta kehidupan? Ya, kita rancang sendiri, dong.
Bagaimana cara merancang peta kehidupan?
Di berbagai buku pengembangan diri, seminar motivasi, seminar sukses, dan berbagai program video yang saya pernah pelajari, umumnya kita diminta untuk membuat daftar impian tertulis. Impian ini harus lengkap meliputi berbagai aspek kehidupan. Ada aspek spiritual, finansial, bisnis-karir, materi, sosial, keluarga, kesehatan fisik dan mental. Sayapun dulunya melakuan hal yang sama dengan yang dianjurkan.
Namun seiring dengan berkembangnya kesadaran diri melalui proses pembelajaran dan perjalanan hidup, saya akhirnya menyadari satu hal yang selama ini luput dari perhatian saya. Ternyata untuk menyusun impian tidak asal susun. Pemahaman yang saya dapatkan, dan ini yang sekarang saya bagikan kepada para peserta seminar, workshop, dan kepada khalayak ramai melakui buku-buku yang saya tulis, yaitu menyusun impian yang benar hanya bisa dilakukan dengan satu syarat. Dan syarat inilah yang selama ini tidak diperhatikan kebanyakan orang.
Apa itu?
Langkah awal menyusun impian adalah dengan mencari tahu, menetapkan, dan menyusun nilai-nilai hidup (value).
Lho, mengapa value? Kok bukan berdasar pendidikan yang kita jalani?
Value adalah apa yang kita yakini sebagai hal yang penting bagi hidup kita. Value berperan sebagai kompas yang mengarahkan perahu kehidupan kita. Jika dihubungkan dengan cerita mengenai “tembok yang salah” maka yang dimaksudkan dengan “tembok” sebenarnya value.
Dengan value sebagai fondasi maka impian yang disusun tidak akan menyimpang dari tujuan hidup kita. Dengan demikian saat kita mencapai puncak kesuksesan kita justru akan semakin semangat dan bahagia. Untuk mengukur pencapaian seseorang sebenarnya bisa dilihat dari seberapa bahagia kita saat kita mencapai impian.
Mengapa bukan berdasar pendidikan formal kita?
Karena ada begitu banyak orang yang salah jurusan, saat kuliah di perguruan tinggi. Saya pernah memberikan konseling pada seorang wanita, dokter umum usia 29 tahun, yang sedang mengambil spesialisasi menjadi dokter tulang (orthopedist). Wanita ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan jurusan yang saat ini ia tempuh. Ia merasa letih sekali. Padahal ini baru di tahun pertamanya.
Waktu saya tanya, mengapa kok diteruskan, kok nggak berhenti saja?
Jawabannya, sama seperti jawaban yang biasa saya terima, “Sudah kepalang basah, Pak. Kalo berhenti sekarang, trus… ngapain saya kuliah di kedokteran umum?”
“Lho, dulu kok bisa milih masuk kedokteran?” tanya saya lagi.
“Ya, soalnya katanya Om saya, kalo jadi dokter, hidupnya enak” jawabnya.
“Trus… kenapa kok pilih tulang, kok bukan spesialis yang lain?” kejar saya.
“Sebenarnya saya lebih suka jadi spesialis anak. Tapi jurusan ini sangat sulit dimasuki. Saya sudah coba tapi nggak bisa. Saya hanya dapat kesempatan spesialisasi tulang. Daripada nggak bisa kuliah lagi, ya saya masuki saja”, jawabnya enteng.
Kisah ini sangat berbeda dengan kisah kawan saya, Lan Fang, di Surabaya. Lan Fang dulunya adalah seorang agen asuransi yang sangat berhasil. Namun hatinya selalu gelisah. Ia merasa asuransi bukan dunia yang sesuai dengan panggilan hatinya. Lan Fang senang menulis. Sambil menjadi agen asuransi ia telah menulis beberapa novel yang ternyata sangat berhasil.
Cukup lama Lan Fang bimbang. Ia dipersimpangan jalan. Namun setelah menimbang-nimbang, setelah melakukan perenungan mendalam, Lan Fang akhirnya memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, menjadi seorang penulis buku, full time.
Banyak yang menyayangkan Lan Fang berhenti sebagai agen asuransi mengingat potensinya yang sangat luar biasa. Namun Lan Fang memutuskan quit dengan alasan yang tepat, di saat yang tepat, dan dengan exit strategy yang tersusun dengan baik dan matang.
Sampai saat ini Lan Fang telah menulis delapan novel. Diantaranya Reinkarnasi, Laki-laki Yang Salah, Perempuan Kembang Jepun, dan Kota Tanpa Kelamin.
So… siapa bilang quitters never win? Seringkali the real winner adalah mereka yang berani quit. Dan the real loser justru mereka yang bersikeras berkata, “Never, never, never quit”. Anda perlu hati-hati agar tidak menjadi winner di antara para loser karena anda adalah yang paling tidak mau quit.
Lima Kekuatan Untuk Optimalisasi Pengembangan Potensi Diri
Merdeka!! Tepat di hari Minggu, 17 Agustus 2008, hari kemerdekaan RI ke 63, saya diundang talkshow di Malang bersama Y.M. Uttamo Mahathera. Topik talkshow kali ini mengenai pengembangan potensi diri. Nah, ide menulis artikel ini muncul di tengah serunya acara tanya jawab yang dihadiri lebih dari 600 peserta.
Judul artikel ini mengatakan bahwa ada lima kekuatan yang bisa digunakan untuk mengembangkan potensi diri. Apakah lima kekuatan itu? Ini yang akan saya jelaskan secara urut di artikel ini.
Pertama, yaitu Kekuatan Keyakinan atau The Power of Belief. Mengapa harus dimulai dengan Kekuatan Keyakinan? Keyakinan adalah fondasi untuk melakukan apa saja. Kita baru akan bertindak bila kita merasa yakin mampu melakukan sesuatu. Jika tidak yakin maka upaya yang kita lakukan akan dikerjakan dengan setengah hati. Dan kita tahu, apapun yang dilakukan dengan setengah hati, tanpa kesungguhan, maka hasilnya pasti tidak akan pernah maksimal. Seringkali upaya kita, jika diawali dengan perasaan tidak yakin, akan berakhir dengan kegagalan.
Yakin pun ada syaratnya, tidak asal yakin. Yakin yang saya maksudkan di sini adalah yakin yang berlandaskan kebijaksanaan dan akal sehat. Tidak asal “yakin” dan “ngotot”.
Mengapa harus dilandasi kebijaksanaan?
Ya, karena yakin ini sebenarnya ada tiga macam. Pertama, yakin yang hanya bermain di level kognisi atau pikiran sadar. Kedua, yakin yang bermain pada level afeksi atau pikiran bawah sadar. Ada lagi yakin yang tipe ketiga yaitu yakin yang “ngaco” alias “ngawur”. Yakin tipe ini adalah yakin yang berlebihan atau overconfident tapi tidak ekologis.
Yakin tipe ketiga ini sangat berbahaya. Ini ada satu cerita nyata. Kawan saya pernah bercerita bahwa ada seorang kawannya, sebut saja Bu Yuni, yang setelah mengikuti suatu pelatihan motivasi, menjadi begitu semangat dan menjadi sangat-sangat yakin bahwa ia akan bisa sukses dalam waktu yang sangat singkat dan mudah.
Sepulang dari pelatihan itu Bu Yuni dengan “haqul yaqin” (sangat yakin) memutuskan bahwa ia dalam waktu maksimal 3 (tiga) bulan akan menjadi orang kaya dan akan berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp. 3 Miliar. Benar, anda tidak salah baca, 3 bulan untuk Rp. 3 miliar. Ck.. ck… ck… sungguh dahsyat sekali.
Kekuatan kedua untuk mengembangkan potensi diri adalah dengan Kekuatan Semangat atau The Power of Enthusiasm. Yang menjadi komponen atau bagian dari Kekuatan Semangat adalah konsistensi, persistensi, kegigihan, atau whatever it takes.
Tindakan yang dilandasi dengan suatu keyakinan yang teguh, bahwa kita pasti bisa berhasil, pasti akan dilakukan dengan penuh semangat. Semangat ini sebenarnya adalah motivasi intrinsik atau dorongan bertindak yang berasal dari dalam diri kita. Kekuatan Semangat ini yang membuat seseorang akan terus mencoba walaupun telah gagal berkali-kali. Kekuatan Semangat ini yang mendasari peribahasa “Tidak ada yang namanya kegagalan. Yang ada hanyalah hasil yang tidak seperti yang kita inginkan”, “Winners never quit. Quitters never win”, “Tidak penting berapa kali anda jatuh, yang penting adalah berapa kali anda bangkit setelah anda jatuh.”
Kekuatan Semangat ini yang menjadi pendorong Thomas Edison untuk terus mencoba walaupun ia telah berkali-kali “belum berhasil” menemukan bahan yang sesuai untuk membuat bola lampu listrik. Kekuatan Semangat ini pula yang mendorong Harland Sanders untuk terus menawarkan resep ayam gorengnya yang istimewa Kentucky Fried Chicken, walaupun ia telah ditolak berkali-kali.
Nah, bagaimana dengan kisah Bu Yuni? Saya lanjutkan ya ceritanya.
Bu Yuni, dengan bekal keyakinan yang “pasti” dan “kuat” memutuskan untuk menjalankan suatu usaha yang akan menjadi kendaraannya untuk mengumpulkan Rp. 3 miliar dalam waktu 3 bulan. Bu Yuni bekerja dengan sungguh serius.
Kekuatan ketiga adalah Kekuatan Fokus atau The Power of Focus. Fokus berarti kita hanya melakukan hal-hal yang memang berhubungan dengan target yang ingin kita capai. Pikiran kita menjadi sangat tajam, terpusat, seperti sinar laser yang siap untuk menembus berbagai penghalang. Kita tidak akan membiarkan berbagai cobaan atau distraksi membuat pikiran atau kegiatan kita menyimpang dari tujuan semula.
Saat Kekuatan Fokus bekerja kita akan sangat memperhatikan hal-hal detil dalam upaya mencapai keberhasilan. Kekuatan Fokus ini yang mendorong kita untuk menghasilkan master piece.
Sekarang saya lanjut lagi cerita tentang Bu Yuni. Apakah Bu Yuni fokus? Oh, sangat fokus. Begitu fokusnya sehingga ia bisa melihat banyak sekali peluang di sekitar dirinya. Bu Yuni mengajak kawannya kerjasama. Ia bahkan bersedia menanamkan modal yang cukup besar untuk mengembangkan bisnis kawannya karena ia yakin bisnis ini bisa memberikan sangat banyak uang dalam waktu yang singkat. Bahkan saat kawannya, yang selama ini telah menggeluti bisnis itu, mengatakan bahwa tidak mungkin bisa secepat itu perkembangan bisnisnya, walaupun mendapat suntikan dana besar, Bu Yuni tetap yakin, semangat, dan fokus berkata, “Ah, yang penting yakin. Kalau yakin maka segala sesuatu mungkin terjadi.”
Kekuatan keempat adalah Kekuatan Kedamaian Pikiran atau The Power of Peace of Mind. Kekuatan keempat ini sangat penting diperhatikan karena ini merupakan barometer untuk menentukan apakah keyakinan kita terhadap sesuatu itu ekologis atau tidak.
Saat kita yakin, semangat, dan fokus melakukan sesuatu maka kita perlu memeriksa apakah kita merasakan ketenangan baik di pikiran maupun di hati. Jika jawabannya “Tidak” maka kita perlu memeriksa ulang keyakinan kita.
Kita perlu memeriksa apakah keyakinan kita itu sudah benar-benar yakin ataukah lebih karena dorong emosi tertentu, misalnya emosi takut atau keserakahan.
Pada kasus Bu Yuni, ternyata ia sama sekali tidak merasakan kedamaian. Hal ini tampak dalam kehidupannya. Bu Yuni, dalam upaya mencapai targetnya, ternyata tidak mendapat dukungan dari suaminya. Bu Yuni tetap memaksakan kehendaknya. Ia bersikeras bahwa dengan keyakinannya yang pasti ia akan dapat mencapai apapun yang ia inginkan.
Apa yang terjadi? Bu Yuni sering ribut dengan suaminya dan selalu tampak murung dan stress.
Bila keyakinan kita bersifat ekologis, didasari dengan pikiran yang benar dan kebijaksanaan, maka saat kita bekerja keras dan giat untuk mencapai impian-impian kita, pikiran dan hati kita akan tetap merasa tenang, damai, dan bahagia. Ini adalah satu aspek penting yang jarang sekali diperhatikan oleh kebanyakan orang.
Perasaan tenang, damai, dan bahagia merupakan indikasi bahwa apa yang kita lakukan benar-benar kita yakini akan berhasil. Kita hanya tinggal melakukan kerjanya saja dan sukses sudah pasti akan kita dapatkan. Sukses hanyalah efek samping yang pasti akan terjadi.
Kekuatan kelima adalah Kekuatan Kebijaksanaan atau The Power of Wisdom. Kekuatan ini sangat penting karena digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap apa yang telah kita lakukan pada empat langkah pertama.
Dengan menggunakan kebijaksanaan kita dapat melakukan evaluasi dengan baik, benar,akurat, dan tanpa melibatkan emosi. Jika hasil yang dicapai belum seperti yang kita inginkan maka dengan menggunakan kebijaksanaan kita dapat mengetahui permasalahannya dan dapat meningkatkan diri kita.
Jika hasilnya sudah seperti yang kita inginkan maka, dengan menggunakan kebijaksanaan, kita dapat mempertahankan dan meningkatkan pencapaian itu.
Kebijaksanaan juga digunakan untuk memeriksa keyakinan atau kepercayaan yang menjadi langkah awal tindakan untuk mencapai goal. Dengan bijaksana kita dapat memeriksa keabsahan keyakinan kita. Apakah kita sudah benar-benar yakin secara benar ataukah kita sebenarnya tidak yakin tapi memaksa diri yakin karena kita takut?
Bu Yuni ternyata tidak menggunakan Kekuatan Keyakinan dalam mengejar impiannya. Setelah mendengar penjelasan kawan saya secara cukup detil saya akhirnya menyimpulkan bahwa Bu Yuni ini sebenarnya tidak yakin namun ia memaksakan kehendak, tanpa mempertimbangkan kondisi riil yang sedang ia alami, untuk bisa sukses.
Ternyata emosi yang mendorong Bu Yuni untuk “Yakin” adalah ketakutannya akan masa depan. Ia, setelah menghadiri seminar motivasi, menjadi “sangat yakin” dengan apa yang diajarkan oleh si pembicara dan akhirnya menjadi “buta” oleh emosinya sendiri.
Hal ini diperkuat lagi saat Bu Yuni mendapat peneguhan dari mentornya, pembicara tadi, yang mengatakan, “Pokoknya, kalo kamu yakin, maka kamu bisa mencapai apapun yang anda inginkan.”
Pembaca, belief seperti ini, yang menggunakan kata-kata “pokoknya”, yang saya kategorikan sebagai “belief” yang perlu diwaspadai. Belief ini seringkali tidak membumi dan menyesatkan.
Bila kita menggunakan lima kekuatan yang telah saya jelaskan dalam artikel ini maka dengan bekal yakin, semangat, fokus, damai, dan bijaksana niscaya kita akan dapat mengembangkan potensi diri secara optimal.
Rumah Tangga Berantakan Karena PLR
Artikel ini saya tulis dengan keprihatinan mendalam terhadap kasus hipnoterapi yang menurut hemat saya masuk dalam kategori malpraktik yang berakibat sangat buruk terhadap klien. Besar harapan saya setelah membaca artikel ini kita semua bisa lebih hati-hati dan arif dalam bertindak, baik sebagai klien maupun hipnoterapis, agar kasus seperti ini tidak terulang lagi.
Beberapa bulan lalu saya mendapat cerita dari salah satu murid saya yang menangani seorang pria yang depresi akibat ditinggal oleh istrinya setelah sang istri, sebut saja Ani, menjalani sesi “hipnoterapi” dengan seorang hipnoterapis terkenal di Jakarta.
Minggu lalu saya mendapat cerita dari murid saya yang lain yang mengatakan bahwa seorang suami, sebut saja sebagai Anto, meninggalkan istrinya juga setelah menjalani sesi “hipnoterapi”. Setelah bertanya lebih dalam akhirnya diketahui bahwa hipnoterapis yang menangani kedua kasus ini adalah hipnoterapis yang sama dan menggunakan teknik terapi yang sama.
Saya sungguh prihatin dengan apa yang dilakukan hipnoterapis ini karena menurut hemat saya ini sudah masuk kategori malpraktik yang sangat fatal.
Cerita lengkapnya begini. Pada kasus pertama, Ani bertemu dengan hipnoterapis ini untuk menjalani Past Life Regression (PLR). Alasan Ani adalah ia ingin mengetahui siapa soulmate-nya di kehidupan lampau. Tanpa bertanya lebih mendalam, menggali lebih detil alasan dan tujuan klien meminta PLR, hipnoterapis ini langsung melakukannya.
Singkat cerita soulmate Ani di “kehidupan lampau” ternyata bukan suaminya yang sekarang, di kehidupan ini. Soulmate-nya adalah pria lain, yang kebetulan ia kenal. Setelah mengetahui siapa soulmate-nya akhirnya Ani memutuskan meninggalkan suaminya dan memilih “melanjutkan” hubungan asmaranya dengan soulmate-nya. Ck.. ck… ck.. ini sungguh tidak masuk akal dan merusak kehidupan rumah tangga. Suami Ani shock dan kaget karena tiba-tiba ditinggal istrinya akhirnya mengalami depresi.
Pada kasus kedua, ceritanya lebih seru lagi. Setelah menikahi seorang gadis di kota kecil, Anto memilih untuk merantau ke Jakarta untuk bekerja dan mengadu nasib. Baru beberapa bulan di Jakarta ternyata Anto tertarik pada wanita lain. Semakin lama Anto semakin erat hubungannya dengan WILnya dan mulai tidak lagi menghiraukan istrinya.
Selanjutnya Anto bersama dengan WILnya menemui hipnoterapis ini dan meminta untuk dilakukan PLR. Saat ditanya oleh si hipnoterapis apa tujuan dilakukan PLR mereka menjawab untuk mengetahui apakah di kehidupan lampau mereka punya hubungan khusus atau tidak.
Informasi apa yang didapat setelah dilakukan PLR pada Anto dan WILnya?
Luar biasa. Ternyata “benar”, Anto dan WILnya di kehidupan lampau adalah soulmate. Berdasar temuan yang sangat meyakinkan ini Anto selanjutnya menelpon istrinya dan menyampaikan bahwa ia tidak bisa putus hubungan dengan WILnya karena wanita yang menjadi WILnya adalah seseorang yang istimewa, soulmatenya dari kehidupan lampau. Dan sejak saat ini pula Anto tidak lagi pernah menghubungi istrinya.
Sampai saat ini status hubungan Anto dan istrinya tidak jelas. Apakah masih akan terus ataukah pisah.
Pembaca, apa yang dilakukan oleh hipnoterapis ini sungguh suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sangat merusak keutuhan keluarga dan rumah tangga.
Mari kita bahas satu per satu. Pada kasus pertama, dari mana si hipnoterapis tahu bahwa benar pria yang dijumpai Ani di “kehidupan lampaunya” benar-benar adalah soulmatenya. Bisa jadi rumah tangga Ani kurang harmonis, ada masalah, dan ini adalah alasan bagi Ani untuk meninggalkan suaminya.
Apakah si hipnoterapis benar-benar bisa menjamin apa yang Ani alami adalah benar-benar pengalaman PLR ataukah sekedar hasil rekayasa atau ciptaan pikiran sadar Ani? Bisa jadi Ani memang berniat meninggalkan suaminya, sudah punya PIL.
Kasus kedua lebih parah lagi. Dalam hal ini hipnoterapis tidak cermat, tidak hati-hati, tidak profesional, dan hanya bekerja berdasarkan orderan. Logika berpikirnya sederhana. Kalau dua orang lagi jatuh cinta maka emosi cinta ini akan mempengaruhi baik pikiran sadar maupun bawah sadarnya. Jika lagi jatuh cinta maka tanpa PLR pun mereka bisa yakin 1.000% kalau mereka ini adalah soulmate. Lalu, buat apa lagi dilakukan PLR?
PLR yang dilakukan oleh si hipoterapis ini justru digunakan oleh Anto dan WILnya untuk membenarkan perbuatan mereka dan dijadikan alasan yang kuat dan masuk akal bagi Anto untuk meninggalkan istrinya.
Murid saya pernah bertanya, “Pak Adi, jika misalnya Bapak yang menangani kasus seorang wanita yang bertemu soulmatenya di kehidupan lampau dan ternyata soulmate-nya ini bukan suaminya di kehidupan sekarang, apa yang akan Bapak lakukan?”
Yang pertama, saya harus menegaskan ulang bahwa saya dan semua alumni QHI tidak diperkenankan melakukan PLR berdasarkan pesanan. PLR yang terjadi, kalaupun ada, adalah yang terjadi secara spontan. Dan dari pengalaman profesional saya sebagai hipnoterapis, dari lebih dari 1.000 kasus terapi personal yang saya tangani, yang mengalami PLR spontan tidak lebih dari 12 (dua belas) kasus saja.
Nah, sekarang kembali ke pertanyaan murid saya. Apa yang akan saya lakukan?
Jawaban saya selalu sebagai berikut: Saya akan menaikkan perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya setingg-tingginya, dan setelah itu saya akan melakukan Ctrl-A, Ctrl-C, dan Ctrl-X perasaan cinta dan sayang klien pada soulmate-nya ini dan saya pindahkan semuanya ke suaminya yang sekarang. Sehingga klien akan menjadi sangat cinta dan sayang pada suaminya, yang sekarang, dan menjadi hambar dengan soulmate-nya. Case closed.
Mengapa tindakan ini yang pasti saya lakukan? Prinsip hidup saya menyatakan bahwa keutuhan rumah tangga harus dipertahankan dan ditingkatkan. Dengan demikian bila suatu rumah tangga ada masalah maka kita, hipnoterapis, dengan semua pengetahuan, pengalaman hidup, kebijaksanaan, dan teknik yang kita kuasai, harus membantu memulihkan kembali keutuhan rumah tangga ini. Tentu kami tidak bisa memaksa jika tidak ada komitmen dari kedua pihak, suami dan istri. Perpisahan orangtua selalu menimbulkan luka batin dalam diri anak-anaknya dan ini perlu dicegah.
Menurut hemat saya cerita tentang soulmate dari kehidupan lampau adalah alasan yang dicari-cari agar seseorang bisa melepas tanggung jawab untuk komit membina rumah tangga dan membahagiakan pasangannya.
Apakah benar kita bisa melakukan “transfer” perasaan? Bisa dan mudah. Semua hanya permainan pikiran. Tinggal teknik apa yang kita gunakan dan bagaimana caranya kita melakukannya.
Dari hasil diskusi dengan rekan sejawat saya, para hipnoterapis QHI, kami memutuskan untuk lebih berhati-hati menangani kasus rumah tangga atau perselingkuhan. Bila ada klien yang meminta kami untuk menghilangkan perasaan sayang, kasihan, atau cinta pada PIL atau WIL-nya, karena klien sekarang sadar dan sudah mau kembali ke pasangannya yang sah, maka kami pasti akan meminta klien untuk menunjukkan KTP, Surat Nikah, dan KSK.
Mengapa demikian? Bisa jadi klien berbohong. Yang ia katakan PIL atau WIL bisa jadi adalah pasangannya yang sah. Klien ingin menghilangkan perasaan cinta atau sayang terhadap pasangannya karena ia ingin hidup bersama selingkuhannya. Kalau ini yang terjadi maka kita hipnoterapis juga ikut andil dalam rusaknya rumah tangga klien.
Dengan teknik tertentu kami bisa menetralisir atau memunculkan perasaan tertentu, baik yang positif maupun yang negatif, dalam diri klien.
Kembali pada dua kasus di atas. Saran dan himbauan saya pada para pembaca semua agar lebih berhati-hati saat memilih hipnoterapis.
Pastikan hipnoterapisnya adalah yang kompeten, bertanggung jawab, berpengalaman, dan yang terutama melakukan hipnoterapi dengan kesadaran dan integritas yang tinggi yang ditujukan untuk kebaikan klien.
Selain itu, jangan ke hipnoterapis dan meminta untuk dilakukan PLR. Mengapa? Karena PLR yang anda alami belum tentu PLR yang sesungguhnya. PLR yang dilakukan oleh hipnoterapis umumnya bersifat leading, mengarahkan pikiran anda dengan memberikan perintah atau sugesti tertentu. Jadi, anda bukannya sungguh-sungguh mundur ke kehidupan lampau anda, bila benar ada past life, tapi anda mencipta kehidupan lampau di pikiran anda berdasar ekspektasi anda dan bimbingan hipnoterapis. Dengan demikian anda mengalami false memory. Ini sangat berbahaya dan merugikan diri anda sendiri.
Uji Sugestibilitas: Perlukah?
Salah satu peserta Indonesia Hypnosis Summit (IHS) 2010 mengirimi saya email dan bertanya, “....saat Bapak menjelaskan mengenai induksi, Bapak tidak bicara tentang uji sugestibilitas. Kita tahu bahwa sangat penting untuk bisa mengetahui tipe sugestibilitas klien agar dapat melakukan teknik induksi yang sesuai sehingga dapat membawa klien masuk ke kondisi deep trance sebelum melakukan terapi. Kemarin itu apakah memang tidak sempat dijelaskan ataukah Pak Adi merasa uji sugestibilitas tidak penting?”
Wah, peserta ini cukup jeli. Saya memang tidak menjelaskan mengenai uji sugestibilitas. Saya menjelaskan enam teknik dasar induksi dan pengelompokkan teknik induksi. Enam teknik dasar induksi adalah Eye Fixation, Relaxation of Nervous System, Mental Confusion, Mental Misdirection, Loss of Equilibrium, dan Shock to Nervous System.
Dari enam teknik dasar ini dikembangkan menjadi sangat banyak teknik induksi. Walaupun saat ini ada begitu banyak teknik induksi namun bila dicermati dengan sungguh-sungguh maka teknik induksi yang ada dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: Progressive Relaxation (yang biasanya membutuhkan waktu 30 – 45 menit), Rapid Induction ( sekitar 4 menit), Instant Indcution (beberapa detik), dan Emotionally Induced Induction (induksi karena emosi yang dialami klien).
Nah, kembali ke pertanyaan yang menjadi judul artikel ini, “Uji Sugestibilitas : Perlukah?”
Jawabannya bergantung kebutuhan. Bila untuk melakukan stage hypnosis maka uji sugestibilitas harus dilakukan untuk bisa memilih atau menemukan subjek hipnosis yang mudah. Bisa anda bayangkan apa yang terjadi jika stage hypnotist tidak melakukan uji sugestibilitas dan langsung memilih subjek dari penonton. Akibatnya akan fatal karena subjek tidak akan bisa dihipnosis dengan cepat dan tidak akan ada pertunjukkan yang menarik.
Bagaimana dengan hipnoterapi? Apa perlu uji sugestibilitas?
Di tahun-tahun awal saya sebagai hipnoterapis saya memang sangat menekankan pentingnya uji sugestibilitas. Hal ini bertujuan agar saya dapat melakukan induksi dengan tepat sehingga klien bisa masuk ke kondisi deep trance.
Bila mengacu pada SHSS (Stanford Hypnotic Suceptibility Scale) yang dikembangkan oleh Ernest Hilgard maka manusia terbagi menjadi 85% yang moderat, 10% mudah, dan 5% sulit dihipnosis. SHSS ini banyak digunakan sebagai acuan oleh hipnoterapis hingga saat ini.
Dr. Kappas mengembangkan teori sugestibilitas yang menyatakan bahwa manusia terbagai menjadi dua kategori besar yaitu physical suggestibility (sugestibilitas yang bersifat fisik) dan emotional suggestibility (sugestibilitas yang bersifat emosi). Dari penelitian ditemukan bahwa 60% populasi bersifat emotionally suggestible dan 40% physically suggestible. Kelompok emotionally suggestible mempunyai sub kategori yang dinamakan intellectual suggestibility yang mewakili sekitar 5% populasi.
Pakar lain, Herbert Spiegel, mengembangkan teknik uji sugestibilitas, dengan menggunakan gerakan bola mata dan empat indikator lainnya, yang dikenal dengan Hypnotic Induction Profile (HIP). Selanjutnya Spiegel juga mengembangkan Spectrum of Hypnotizability and Personality Style dan mengelompokkan subjek ke dalam tipe Apollonian, Odyssean, dan Dionysian.
Ada pengalaman menarik saat seorang rekan menceritakan pengalamannya saat diinduksi oleh seorang hipnoterapis. Rekan ini, di depan kelas pelatihan, diinduksi berkali-kali dengan menggunakan bermacam teknik, tetap tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Akhirnya hipnoterapis ini berkata, “Anda tidak bisa trance karena anda masuk kategori orang yang tidak bisa dihiposis.”
Saat mendengar cerita ini ada dua hal yang muncul di pikiran saya. Pertama, hipnoterapis ini mengacu pada HIP Spiegel, Regular Zero Profile, yang menyatakan bahwa orang dalam kategori ini tidak bisa dihiposis. Kedua, hipnoterapis ini mungkin gemas pada rekan saya ini karena telah dicoba dihipnosis berulang kali tapi tetap tidak berhasil sehingga untuk mudahnya ia mengatakan bahwa rekan saya ini masuk kategori orang yang tidak bisa dihipnosis.
Benarkah ada kategori orang yang tidak bisa dihipnosis?
Jawabannya bergantung pada teori apa atau pendapat pakar mana yang kita gunakan sebagai acuan. Di sini tidak ada jawaban benar atau salah. Yang ada adalah untuk setiap teori atau pendapat pakar mempunyai konsekuensi yang spesifik terhadap hasil induksi yang kita lakukan.
Dulu waktu saya pertama kali mendalami hipnoterapi saya sempat bingung saat membaca riset para pakar mengenai tipe sugestibilitas dan apa yang harus dilakukan untuk bisa melakukan induksi dengan benar yang bisa membawa klien masuk ke kondisi deep trance.
Di awal karir saya sebagai hipnoterapis saya sangat memperhatikan uji sugestibilitas. Biasanya sebelum menghipnosis klien saya akan meminta klien melakukan The Hand Drop Test, Arm Rising and Falling Test, Postural Sway, dan kadang bisa ditambah dengan The Pendulum Swing Test.
Dari pengalaman saya menemukan bahwa uji sugestibilitas di atas sebenarnya adalah untuk menemukan klien yang masuk kategori Physically Suggestible. Kalau klien sulit menjalankan tes, misalnya Arm Rising and Falling Test, maka saya tahu klien ini masuk kategori emotionally suggestible atau mungkin yang tipe intellectual.
Untuk klien yang “sulit” maka saya perlu menggunakan teknik induksi yang sesuai. Misalnya dengan teknik 7 plus minus 2, auto dual method, teknik hand rolling, dan teknk yang bersifat membingungkan pikiran.
Namun jujur saya merasa tidak nyaman dengan hal ini. Setiap kali mau melakukan terapi saya harus melakukan uji sugestibilitas. Dan yang membuat hal ini menjadi semakin sulit bagi saya adalah ada banyak klien yang telah ke hipnoterapis lain yang juga melakukan hal ini, uji sugestibilitas. Nah, klien datang ke saya karena merasa belum mengalami perubahan signifikan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila saya melakukan, di awal sesi terapi, hal yang sama yang dilakukan terapis sebelumnya. Seringkali sejak awal terapi klien sudah menolak. Mereka berpikir, “Lho, ini kan yang dilakukan terapis sebelumnya. Saya tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Cara ini nggak mungkin berhasil.”
Berangkat dari pengalaman ini saya selanjutnya berpikir, “Apakah ada teknik induksi yang sederhana, yang bisa dilakukan pada semua klien tanpa perlu tahu tipe sugestibilitasnya? Apakah ada teknik yang sederhana, mudah dipelajari, mudah diaplikasikan, mudah diduplikasi, dan yang paling penting telah teruji sangat efektif untuk bisa membawa subjek tipe apapun masuk ke kondisi deep trance dengan cepat dan pasti?”
Saya mencari hampir 3 tahun. Dan akhirnya menemukannya. Teknik ini selanjutnya saya ujicobakan di ruang praktik saya dengan hasil yang sangat memuaskan. Seiring dengan perkembangan pemahaman mengenai cara kerja pikiran saya menyempurnakan teknik induksi ini sehingga menjadi jauh lebih efektif. Dan baru-baru ini, di kelas Quantum Hypnosis Indonesia angkatan 9 saya kembali menyempurnakan teknik ini dan hasilnya sungguh luar biasa.
Yang saya lakukan adalah saya menggabungkan teknik induksi asli dengan pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil riset dengan menggunakan Mind Mirror IV dengan melihat langsung perubahan gelombang otak dan kedalaman trance saat induksi diberikan.
Sebelum penyempurnaan di QHI 9, dari pengalaman, teknik induksi ini terbukti mempunyai tingkat efektivitas antara 90% - 92,17% mampu membawa klien tipe apapun masuk ke kondisi profound somnambulism. Yang “gagal” diinduksi bukan berarti tidak masuk deep trance namun sering kali klien melampaui kondisi profound somnambulism dan masuk ke level Esdaile atau Hypnotic Coma. Untuk yang level ini tidak dihitung.
Penyempurnaan teknik induksi di QHI 9 ini mempunyai tingkat efektivitas yang sangat tinggi. Hasil uji sementara menghasilkan rata-rata 97,34%. Saya masih menunggu laporan lanjutan dari alumni QHI. Semua hipnoterapis QHI, termasuk saya pribadi hanya menggunakan teknik induksi ini di ruang praktik kami.
Jadi, menjawab pertanyaan di atas, uji sugestibilitas apakah perlu dilakukan atau tidak semuanya bergantung pada masing-masing individu. Sekali lagi ini bukan benar atau salah. Namun lebih pada teori yang digunakan.
Untuk saya pribadi dan semua alumni QHI, dalam konteks hipnoterapi, kami sama sekali tidak menggunakan uji sugestibilitas saat akan melakukan induksi.
Terima Kasih Tuhan... Ternyata Anak Saya Normal
Saya menulis artikel ini berdasar pengalaman membantu menangani kasus anak SD kelas 3, sebut saja Ani, dari salah satu sekolah swasta ternama di Surabaya. Cerita lengkapnya sebagai berikut.
Minggu lalu saya mendapat telpon dari seorang ibu, sebut saja Lina, yang dengan nada cemas dan agak frustasi menceritakan kondisi Ani. Ani mengalami beberapa masalah seperti tidak percaya diri, sulit konsentrasi, dan sangat sulit menghapal materi pelajaran. Untuk membantu Ani, Bu Lina telah meminta bantuan guru dari sekolah Ani memberikan les atau pelajaran tambahan pada Ani setiap hari 3 jam. Namun hasilnya Ani tetap mengalami kendala belajar. Bahkan untuk pelajaran Pensos Ani sudah remedi 3 x dan hasilnya selalu jelek. Bu Lina pusing dan stress memikirkan anaknya.
Saat bertemu saya di ruang terapi, penilaian awal saya adalah Ani adalah anak yang pemalu dan memang kurang percaya diri. Namun setelah berinteraksi beberapa saat dengan saya Ani berani bicara dengan lebih leluasa. Menindaklanjuti apa yang disampaikan oleh ibunya saya mulai melakukan serangkaian penggalian data untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Ani.
Menurut Bu Lina guru les Ani telah berulang kali meminta agar Ani menjalani tes IQ. Alasannya adalah karena Ani sulit belajar dan konsentrasi. Namun Bu Lina tidak bersedia melakukan tes IQ pada Ani karena ia yakin anaknya normal dan tidak bermasalah.
Setelah melewati serangkaian tes yang saya lakukan dan kemas melalui permainan saya sampai pada kesimpulan yaitu:
1. Ani anak yang manis, baik, dan normal.
2. Kendala belajar, dalam hal ini menghapal, sebenarnya lebih disebabkan karena adanya mental block pembelajaran.
3. Guru les mengajar Ani dengan cara konvensional, bukan dengan teknik yang sesuai. Dan Ani telah les pada guru ini selama 2 tahun.
4. Ani tidak suka dengan guru lesnya.
5. Sistem pengujian yang dilakukan di sekolahnya mengharuskan Ani untuk bisa menjawab pertanyaan persis sama seperti yang ada di catatan.
6. Rasa kurang percaya diri Ani juga berhubungan dengan kemampuan Matematikanya, dalam hal ini penguasaan tabel perkalian yang masih lemah.
Saya membuktikan kepada Bu Lina mengenai temuan saya di atas. Pertama saya meminta Ani menghapalkan 10 kata yang saling tidak berhubungan. Seperti murid lainnya Ani menghapal dengan membaca kata demi kata secara berulang. Setelah itu saya meminta Ani mengulangi apa saja yang telah ia hapalkan. Ani mengalami kesulitan. Dari 10 kata yang Ani ingat hanya 3 saja.
Selanjutnya saya bertanya, "Tadi waktu Pak Adi minta Ani menghapalkan kata-kata ini, apa yang Ani rasakan?"
"Males, bosan, takut, merasa nggak bisa, nggak suka" jawab Ani dengan agak takut.
Selanjutnya saya menanyakan intensitas emosi yang ia rasakan. Ternyata sangat intens. Dari skala 1 sampai 10 Ani merasakannya di skala 8. Pantas, tadi saat Ani menghapal, walaupun ia telah berusaha keras, tetap saja tidak bisa maksimal.
Saya lalu mendemokan teknik Surrogate Hypno-EFT sambil disaksikan oleh Bu Lina. Hanya dengan kalimat Set Up ambil mengurut sore spot intesitas emosi langsung turun ke 0. Lalu saya lakukan uji hasil terapi ini. Hasilnya... confirmed...emosinya sudah clear semua. Selanjutnya memberikan beberapa sugesti tambahan untuk memperkuat hasil terapi ini. Baru setelah itu saya meminta Ani menghapal 10 kata yang telah saya siapkan namun kali ini saya mengajarkan teknik memori pada Ani.
Hasilnya?
Dahsyat. Ani mampu mengingat 10 kata ini dengan sempurna. Bahkan saya beberapa kali meminta Ani untuk mengulangi menyebutkan 10 kata yang telah ia hapalkan dan hasilnya Ani tetap bisa mengingat semuanya dengan sangat baik.
Saya melihat mata Bu Lina berkaca-kaca. Dan saya katakan bahwa Ani sebenarnya tidak ada masalah. Yang bermasalah justru guru lesnya yang tidak tahu cara mengajari Ani dengan benar. Dan yang lebih menjengkelkan adalah guru les ini dengan entengnya mengatakan bahwa Ani bermasalah, anak yang lamban, dan masalah belajar Ani disebabkan oleh IQ yang rendah. Itu sebabnya guru les ini berulang kali meminta agar Ani menjalani tes IQ. Keprihatinan seperti inilah yang saya tuangkan ke dalam artikel saya sebelumnya yang berjudul "Teaching Disabled vs Learning Disabled".
Sungguh kasihan Ani. Dalam satu hari ia "sekolah" 2 kali. Bayangkan, setiap hari Ani les 3 jam @ 60 menit sama dengan 180 menit. Kalau 1 jam pelajaran di sekolah adalah 35 menit maka ini sama saja Ani "sekolah" lagi di rumahnya, dan yang mengajar adalah guru les yang nota bene adalah guru di sekolahnya juga, selama 5 jam pelajaran.
Kendala kedua yang Ani hadapi adalah sistem sekolah yang kaku yang mengharuskan siswa menjawab sama persis seperti yang di catatan. Lha, kalau begini kondisinya, anak pasti akan mengalami kendala. Apalagi kalau yang ditanyakan adalah definisi. Jangankan muridnya, gurunya saja belum tentu bisa menghapal dan menjawab dengan benar.
Selanjutnya saya melakukan terapi pada beberapa aspek yang berhasil saya gali dari Ani, antara lain perasaan negatif yang muncul akibat ulah temannya dan juga gurunya. Dalam hal ini tidak penting apakah teman atau gurunya memang membuat masalah pada Ani. Yang penting adalah emosi yang tersimpan dalam diri Ani, akibat persepsinya atas kejadian itu, dinetralisir.
Sedangkan mengenai penguasaan tabel perkalian yang masih lemah saya menyarankan Bu Lina untuk segera fokus membantu Ani untuk menguasainya. Hal ini sangat penting karena tabel perkalian ini mutlak dibutuhkan untuk bisa mengerjakan soal yang lebih rumit di kelas atas. Jika tidak menguasai tabel perkalian maka anak akan mengalami kendala belajar yang bisa mempengaruhi konsep dirinya hingga dewasa.
Saya menyarankan Bu Lina untuk membaca buku saya Cara Genius Menguasai Tabel Perkalian dan mengajarkannya pada Ani. Saya juga mendemokan cara menghapal perkalian 9 yang ternyata dalam waktu yang singkat berhasil Ani kuasai.
Saya mengatakan pada Bu Lina bahwa hanya ini yang saya bisa lakukan untuk membantu Ani. Untuk sistem di sekolah Ani, saya tidak bisa apa-apa. Bu Lina bisa memahami hal ini dan benar-benar merasa lega karena akhirnya terbukti bahwa anaknya normal.
Untuk memperkuat efek perubahan yang telah berhasil dicapai saya mengajarkan Bu Lina apa saja yang perlu ia dan suaminya lakukan di rumah untuk mendukung Ani agar bisa berkembang lebih baik lagi di masa depan.
Understanding Ego State
Dalam hipnoterapi ada sangat banyak teknik intervensi klinis yang bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah mereka. Dari sekian banyak teknik, salah satunya yang sangat efektif adalah Ego State Therapy.
Ego State Therapy adalah terapi yang dilakukan pada Ego State. Untuk memahaminya kita perlu memahami Ego State. Apa sih Ego State itu?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas ijinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan pada anda. Pernahkah anda mengalami hal berikut:
1.Sewaktu bangun di pagi hari anda merasa ada dua bagian dari diri anda yang “ribut”. Satu bagian ingin anda segera bangun dan yang satu lagi ingin anda melanjutkan tidur.
2.Saat anda harus memilih atau membuat keputusan anda bingung karena ada beberapa bagian dari diri anda yang saling tidak setuju dengan keputusan anda.
3.Anda merasa tidak nyaman atau ada perasaan bersalah setelah melakukan suatu tindakan. Padahal saat melakukannya anda merasa sangat yakin dengan tindakan anda.
Pembaca, bila anda mengalami salah satu saja dari tiga hal di atas maka sebenarnya ada telah mengalami Ego State. Dengan kata lain, Ego State sebenarnya adalah bagian dari diri kita yang aktif atau mengendalikan diri kita pada suatu saat tertentu.
Ego State, menurut Watkins dan Watkins, adalah sebuah sistem perilaku dan pengalaman yang terorganisir yang elemen-elemennya saling terhubung melalui beberapa prinsip yang sama tetapi saling dipisahkan oleh batas-batas yang dapat ditembus (permeabilitas) hingga derajat kedalaman dan fleksibilitas tertentu.
Ada berapa banyak Ego State dalam diri kita?
Tidak ada satupun pakar yang bisa menentukan secara pasti. Ini juga bergantung pada teori masing-masing pakar itu. Tansactional Analysis (TA) yang dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri kita.
Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian” yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.
Nah, itu sekilas tentang beberapa teori yang mirip dengan Ego State. Sekarang mari kita bahas sejarah dan perkembangan Ego State Therapy.
Orang pertama yang menulis tentang Ego State adalah Paul Federn, rekan sejawat Freud. Menurut teori yang dikembangkannya Federn mengatakan bahwa kepribadian seseorang tersusun atas sekelompok bagian yang ia sebut sebagai Ego State. Ego State yang aktif pada suatu saat tertentu menentukan kepribadian orang itu.
Walaupun Federn (1952) menetapkan dan menyusun teori tentang Ego State, ia tidak mengembangkan teknik terapi menggunakan dasar teori kepribadian ini. Federn melakukan praktik terapi psikoanalisa sejalan dengan orientasi terapi yang populer pada jamannya.
Sementara itu, di tahun 1957, Eloardo Weiss, seorang Italia yang sedang dalam proses menyelesaikan pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis, belajar ke Paul Federn. Federn menceritakan pandangannya tentang kepribadian kepada Weiss.
Selanjutnya John Waktins mendapat pengetahuan ini pada saat belajar di bawah bimbingan Weiss sebagai bagian dari proses pendidikannya untuk menjadi seorang psikoanalis. Dari sinilah Ego State Therapy berkembang.
Dalam praktiknya sebagai psikolog utama di Welsh Convalescent Center membantu tentara yang kembali dari perang dunia kedua Waktins menemukan bahwa tentara yang diterapi dengan menggunakan hipnosis mengalami pertukaran kondisi emosi tertentu. Pada saat itu Watkins belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada tentara yang ia tangani. Barulah pada saat ia belajar ke Weiss dan mendapatkan informasi mengenai Ego State akhirnya Watkins bisa memahami dasar teori dari apa yang ia temukan.
Di pertengahan tahun 1970, Hilgard dan Hilgard menemukan bagian dari diri manusia yang mereka sebut dengan Hidden Observer atau Pengamat Tersembunyi. Mereka menemukan adanya Hidden Observer melalui eksperimen fenomena trance seperti negative auditory hallucination dan anesthesia.
Dalam eksperimen ini subjek penelitian seakan tidak bisa mendengar atau merasakan sakit namun ternyata ada bagian dari diri subjek yang sesungguhnya tetap mendengar dan merasakan semua ini.
John Waktins mengenali Hidden Observer sama dengan Ego State yang dikatakan oleh Federn dan Weiss. Untuk memastikan hal ini, John Watkins dan istrinya, Helen Watkins, mengulang eksperimen Hilgard dan menemukan bukti yang memvalidasi pemikiran mereka.
Sejak awal tahun 1970an John dan Helen Watkins mulai mempublikasikan hasil riset mereka mengenai Ego State di berbagai jurnal dan artikel. Dan pada tahun 1997 mereka menerbitkan buku dengan judul Ego States: Theory and Therapy.
Beberapa pakar yang juga menulis tentang Ego State Therapy dan dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal dan buku: Maggie Phillips, Clare Frederick, Shirley McNeal, Moshe Torem, Waltermade Hartman, Gordon Emmerson, Hunter, George Fraser, dan Michael Gainer. Di tahun 2003 diselenggarakan kongres dunia pertama Ego State Therapy di Bad Orb, satu kota dekat Frankfurt.
Bagaimana Ego State Terbentuk?
Menurut Watkins Ego State terbentuk karena tiga hal. Pertama melalui normal differentiation yaitu anak belajar membedakan satu hal dengan yang lainnya, misalnya makanan yang ia suka dan tidak suka, orang yang baik dan tidak baik terhadap dirinya.
Kedua adalah introjection of significant others yaitu anak menyerap energi positif atau negatif dari orang “penting” di sekitar anak, misalnya orangtua, guru, teman, atau siapa saja yang dianggap penting oleh anak, dan energi ini termanifestasi dalam diri anak dalam bentuk “Bagian Diri” yang dinamakan Introject.
Dengan kata lain introject adalah manifestasi/perwujudan suatu figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang yang diadopsi/tersimpan dan “hidup” di dalam ingatan/mental/pikiran bawah sadar orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain.
Ketiga, Part atau bagian diri yang terbentuk akibat pengalaman traumatik. Saat anak mengalami suatu pengalaman traumatik dan tidak ada Ego State dalam dirinya yang mampu menangani trauma ini maka akan muncul atau tercipta Ego State baru yang khusus berfungsi menangani trauma ini.
Sedangkan menurut teori perkembangan otak, Ego State terbentuk sebagai akibat dari pengalaman atau kejadian yang dialami anak yang bersifat berkesinambungan atau berulang. Misalnya pada masa kecil seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan mendukungnya maka akan muncul Ego State yang mempunyai sifat kasih sayang. Ego
State ini muncul karena anak mengalami pengalaman secara berulang (baca: stimulasi) sehingga di otak anak terjadi pembentukan jalur saraf yang terdiri dari koneksi axon dan dendrite yang mewakili pengalaman ini. Demikan pula bila anak dibesarkan dalam lingkungan yang keras maka akan muncul atau tercipta Ego State dengan sifat yang keras.
Klasifikasi Ego State
Surface dan Underlying Ego State
Dilihat dari seberapa sering suatu Ego State muncul atau aktif maka kita mengenal ada dua jenis Ego State yaitu Surface dan Underlying Ego State. Surface Ego State adalah Ego State yang sering muncul atau digunakan dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan lingkungan. Sedangkan Underlying Ego State adalah Ego State yang jarang muncul atau digunakan.
Saat seseorang mengalami suatu pengalaman hidup dengan menggunakan Ego State tertentu maka Ego State ini disebut sebagai Ego State yang executive atau yang memegang kendali. Secara umum dalam keseharian Surface Ego State yang aktif berkisar antara empat hingga lima.
Seseorang yang sedang mengendarai mobil menuju ke kantor atau tempat kerjanya menggunakan satu Surface Ego State. Sedangkan saat bekerja di kantor ia menggunakan Ego State lain. Saat ia membaca buku atau bermain bisa jadi ia menggunakan Ego State yang lain lagi.
Ego State saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Umumnya yang paling mudah diajak berkomunikasi adalah Surface Ego State karena mereka mudah untuk berbagi informasi. Bisa juga terjadi ada Underlying Ego State yang tidak berkomunikasi dengan Surface Ego State. Bila demikian kondisinya kita tidak bisa mengakses informasi yang ada pada Underlying Ego State ini dengan menggunakan cara biasa.
Ego State dan Alter
Bila dilihat dari jalur komunikasinya maka kita mengenal dua jenis Ego State yaitu normal Ego State dan Alter. Normal Ego State mampu berkomunikasi dengan baik dengan Ego State lainnya. Sedangkan Alter adalah Ego State yang jalinan komunikasinya sangat buruk atau (hampir) terputus dengan Ego State lainnya.
Putusnya komunikasi ini mengakibatkan apabila Alter ini sedang executive maka apa yang ia lakukan tidak diketahui oleh Ego State lainnya. Kondisi ini dikenal dengan nama DID atau Dissociative Identity Disorder atau dulunya lebih terkenal dengan MPD (Multiple Personality Disorder). Alter terjadi karena anak mengalami pengalaman yang sangat traumatik (severe and chronic abuse) sehingga mekanisme pertahanan diri pikiran bawah sadar membuat anak “lupa” pada kejadian itu dengan cara memutus jalur komunikasi antara Alter (Ego State yang mengalami trauma) dan Ego State lainnya yang “sehat”.
Dari beberapa penelitian MPD (Kluft, Greaves, Bliss, Putnam, Lienhart, Schreiber, Loewenstein) yang saya pelajari dan dalami ternyata ada minimal 16 (enam belas) kelompok alter. Penanganan alter menggunakan strategi yang berbeda dengan penanganan Ego State.
Ego State Berdasar Sifat Dan Fungsinya
Ego State yang berfungsi normal, non-patologis, mempunyai peran yang konstruktif demi kemajuan Ego State lain dan juga si individu. Selain Ego State yang bekerja dan berfungsi normal, juga ada yang bersifat patologis yang dikenal dengan Ego State yang bersifat vaded, retro-functioning, conflicting, dan malevolent.
Vaded Ego State adalah Ego State yang tidak bisa lagi menjalankan fungsi mereka yang seharusnya karena mengalami trauma atau pengalaman yang negatif. Saat Ego State jenis ini tampil dan aktif atau executive maka individu akan mengalami kembali emosi negatif yang berhubungan dengan trauma. Kondisi ini yang oleh Freud disebut dengan situational neurosis. Vaded Ego State tidak selalu tampil dan aktif. Untuk bisa membuatnya berfungsi normal kembali maka Ego State ini harus dibuat tampil dan aktif sehingga emosi yang berhubungan dengan trauma yang ia alami dapat diproses tuntas.
Retro-functioning Ego State adalah Ego State yang menjalankan peran lama yang bertentangan dengan Ego State lainnya atau tidak mendukung kemajuan individu. Ego State jenis ini antara lain menampilkan simtom berupa kemarahan yang tidak terkendali, kebiasaan berbohong yang kronis, atau berbagai gejala psikosomatis. Untuk mengatasi hal ini bisa dilakukan negosiasi sehingga Retro-functioning Ego State bersedia menjalankan peran baru yang lebih positif dan konstruktif. Ego State bisa bersifat vaded dan retro-functioning.
Conflicting Ego State mempunyai tujuan yang positif bagi individu namun mengalami konflik kepentingan dan tujuan dengan Ego State lainnya. Contoh seseorang mengalami Conflicting Ego State adalah saat ia ingin melakukan sesuatu tetapi mendapat pertentangan dari dalam dirinya. Misalnya seseorang ingin berhenti merokok namun tidak bisa karena ada bagian dari dirinya yang sangat suka merokok. Dalam hal ini terdapat dua Ego State yang saling bertentangan. Konflik ini juga bisa muncul saat seseorang ingin diet namun tidak bisa menahan keinginan makannya.
Malevolent Ego State adalah Ego State yang bersifat keras, ganas, dan bahkan bisa sangat kejam, baik terhadap Ego State lain, diri individu, maupun orang lain. Ego State jenis ini yang biasanya membuat seseorang memukul atau menyiksa dirinya sendiri, bahkan bisa sampai mengakibat seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Dalam konteks terapi Malevolent Ego State adalah jenis Ego State yang paling sulit untuk bisa diajak berkomunikasi, negosiasi, bekerja sama, atau ditundukkan. Ego State ini jugalah yang selalu menghambat dan menghalangi proses terapi. Teknik terapi konvensional yang hanya mengandalkan pemberian sugesti pada klien tidak akan bisa berhasil selama Ego State ini belum berhasil ditundukkan.
Ego State Menurut Gender dan Usia
Ego State umumnya tercipta saat seseorang masih kecil atau di usia muda. Namun dalam diri klien juga bisa ditemukan Ego State janin, bayi, anak kecil, remaja, dewasa, atau orang tua. Ego State juga mempunyai jenis kelamin pria dan wanita.
Ego State ini bisa ada dalam diri baik klien pria maupun wanita. Dengan kata lain, dalam diri seorang wanita bisa ada Ego State berjenis kelamin baik pria maupun wanita, mulai yang usia muda hingga yang tua. Demikian juga dalam diri seorang pria.
Masing-masing Ego State biasanya mempunyai nama atau panggilan yang digunakan untuk berkomunikasi baik dengan sesama Ego State, dalam bentuk komunikasi internal,maupun dengan pihak luar melalui komunikasi eksternal.
Ego State dan Fisiologi
Setiap Ego State berperan sebagai “manusia” kecil di dalam diri seseorang. Ego State mempunyai karakter, logika berpikir, sikap, sifat, perilaku, memori, emosi, kebutuhan, dan tujuan sendiri.
Pada aspek fisik, saat satu Ego State tampil dan aktif maka individu akan mengalami perubahan fisik yang nyata. Bila Ego State mempunyai sifat percaya diri maka saat ia tampil dan aktif individu juga akan tampil percaya diri, berdiri tegak, berbicara dengan suara yang tegas, dan pandangan mata penuh keyakinan. Bila Ego State mengidap suatu penyakit tertentu maka saat ia tampil dan aktif penyakitnya akan muncul di fisik si individu.
Michael Gainer (1993) melaporkan bahwa seorang wanita yang mengidap penyakit reflex sympathetic dystrophy tidak menunjukkan gejala penyakit ini saat tiga Ego State lainnya tampil dan aktif. Dari temuan ini Grainer selanjutnya menggunakan Ego State Therapy dan berhasil menemukan Ego State, yang mengalami trauma, yang menyebabkan sakit pada wanita ini. Setelah trauma berhasil diselesaikan wanita ini sembuh total dari penyakit yang dideritanya.
Emmerson dan Farmer (1996) melakukan Ego State Therapy terhadap para wanita yang menderita menstrual migraine kronis dan berhasil mengurangi rata-rata jumlah hari migraine per bulan dari 12,2 menjai 2,5. Subjek penelitian juga menunjukkan berkurangnya depresi dan kemarahan secara signifikan.
Lokasi Ego State
Ego State bisa menempati lokasi di luar tubuh atau di dalam tubuh. Di luar tubuh bisa di depan, di atas, di bawah, atau di belakang. Sedangkan kalau di dalam tubuh bisa di satu lokasi tertentu, misalnya di dada, kepala, hati, tangan, punggung, perut, atau kaki, dan bisa juga menempati seluruh tubuh secara merata.
Apa Beda Ego State dan Introject?
Ego State dan Introject walaupun sama-sama disebut sebagai Part atau Bagian Diri namun berbeda menurut sumber terciptanya. Ego State berasal dari dalam diri individu sedangkan Introject berasal dari luar.
Introject adalah persepsi tentang seseorang yang terinternalisasi ke dalam pikiran bawah sadar. Dengan demikian bisa terdapat sangat banyak Introject dalam diri seseorang.
Dalam proses terapi, khususnya saat menggunakan teknik Ego State Therapy, untuk bisa memproses trauma, maka Ego State yang mengalami trauma perlu diaktifkan agar emosi yang tersimpan dalam Ego State ini bisa diproses.
Dalam upaya ini seringkali melibatkan Introject yang ada dalam diri klien. Dialog dengan Introject ini yang seringkali salah dimengerti oleh orang awam. Apalagi bila Introject ini adalah Part yang merupakan internalisasi persepsi terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang tidak mengerti mengira yang diajak bicara adalah roh orang yang telah meninggal.
Lebih jelasnya begini. Saat anak masih kecil muncul Introject, atau biasa sering disebut sebagai figur, Ayah dalam diri anak. Selama anak masih hidup, mulai kecil hingga usia tua, Introject ini akan terus “hidup” di dalam diri anak.
Misalnya setelah anak beranjak dewasa, si ayah meninggal dunia. Yang meninggal adalah si ayah yang sesungguhnya, namun Introject Ayah dalam diri anak tetap hidup atau ada. Sehingga pada saat proses Ego State Therapy dilakukan terhadap Introject Ayah, dalam diri anak, akan terjadi dialog seakan-akan terapis berbicara dengan si Ayah. Tujuan dialog ini untuk memproses emosi negatif yang masih tersisa dalam diri anak terhadap ayahnya atau sebaliknya.
Saya pernah membantu klien wanita, 37 tahun, yang melakukan aborsi hingga lima kali. Aborsi pertama dilakukan saat klien berusia 25 tahun. Saat membantu klien mengatasi berbagai emosi negatif yang berhubungan dengan aborsi yang ia lakukan, salah satu teknik yang saya gunakan adalah memproses emosi yang berhubungan Introject Janin yang ia gugurkan. Saat itu muncul lima Introject Janin yang digugurkan. Dan yang luar biasa lagi Introject dari janin yang pertama digugurkan, yang dipanggil dengan nama Michael, telah tumbuh dan besar, di dalam pikiran klien tentunya, hingga usia 11 tahun. Bila anda perhatikan usia klien saat melakukan aborsi, masa kehamilan sekitar 9 – 10 bulan, dan saat ia bertemu saya untuk terapi maka usia Introject Michael adalah benar 11 tahun.
Kasus menarik lainnya yang pernah ditangani murid saya adalah kasus wanita yang “kerasukan”. Wanita ini, katanya, “dirasuki” oleh “makhluk” halus dan tubuhnya menjadi kaku dan lumpuh.
Oleh murid saya, “makhluk” ini diajak bicara dan ditanya apa maunya. “Makhluk” ini minta diberi nama. Ternyata “makhluk” ini sebenarnya adalah Introject dari janin wanita ini yang keguguran. Setelah “makhluk” ini diberi nama, wanita ini langsung sembuh, bisa bangkit berdiri dan jalan normal.
Fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Yang terjadi adalah Introject janin (baca: anak) wanita ini muncul dan minta nama. Tubuh wanita yang menjadi kaku dan lumpuh sebenarnya adalah indikasi bahwa ia berada dalam kondisi trance sangat dalam yang disebut dengan level Catatonic, dua level di bawah Profound Somnambulism.
Contoh lain lagi, biar lebih jelas mengenai Introject, saya pernah bertukar peran dengan seorang peserta seminar saya. Peserta ini, sebut saja Agung, saya sugestikan menjadi diri saya. Dan langsung Agung mengaku bernama Adi W. Gunawan. “Adi” ini lalu saya minta untuk melanjutkan presentasi saya (Adi yang asli) dan ia melakukannya dengan sangat baik. Yang terjadi adalah Introject Adi di dalam diri Agung tampil dan aktif dan berperan sebagai Adi melalui diri Agung.
Saat saya bertanya pada “Adi”, “Pak Adi, Bapak sudah menulis berapa buku?”
Pak “Adi” menjawab, “Saya sudah menulis delapan buku.”
Dari sini saya tahu kalau data jumlah buku yang telah ditulis pada Introject Adi belum diupdate. Saat itu saya, Adi yang asli, telah menulis 12 buku. Dan pola pikir “Adi” tentunya berbeda dengan saya, Adi yang asli. Pola pikir “Adi” atau Introject Adi adalah pola pikir berdasarkan persepsi Agung terhadap diri saya.
Obat Antidepresan dan Ego State
Klien yang mengalami depresi biasanya diberi obat antidepresan agar bisa tenang. Pemberian obat antidepresan sampai pada taraf tertentu sangat membantu klien untuk bisa stabil dan berinteraksi dengan lingkungannya walaupun masalah yang dialami klien belum diatasi.
Yang sesungguhnya terjadi adalah obat ini memblok atau menekan Ego State yang mengalami depresi sehingga tidak bisa muncul, dari surface menjadi underlying, dan klien merasa tidak ada masalah atau baik-baik saja, selama obatnya terus diminum. Jika klien berhenti minum obat maka kondisinya akan kembali menjadi tidak stabil karena Ego State yang tadinya tertekan kini muncul kembali dan aktif.
Saya pernah menangani klien yang sempat depresi karena pasangannya selingkuh. Klien selama 8 tahun minum obat dan merasa dirinya baik-baik saja. Dalam kondisi sadar normal klien mengatakan bahwa ia telah sembuh. Buktinya, ia sudah tidak lagi marah pada pasangannya. Bahkan saat bertemu dengan selingkuhan pasangannya ia juga biasa-biasa saja. Saya yakin kondisi klien yang tenang dan “sembuh” ini adalah karena pengaruh obat yang masih ia minum.
Selanjutnya saya melakukan pemeriksaan langsung ke pikiran bawah sadarnya, ternyata klien masih menyimpan perasaan terluka, marah, benci, dan dendam kepada pasangannya. Selama Ego State yang menyimpan emosi ini tidak diproses maka klien akan selalu bergantung obat untuk bisa tenang.
Kondisi ideal, bila memungkinkan, sebaiknya sebelum diberi obat klien dibantu dengan Ego State Therapy. Dalam kondisi ini klien dan terapis dapat mengakses Ego State yang mengalami depresi dan memproses emosinya dengan cepat dan tuntas sehingga klien tidak perlu harus minum obat.
Cara Mengakses Ego State
Dalam kondisi normal kita hanya bisa mengakses Surface Ego State. Namun bila kita ingin mengakses Underlying Ego State yang menyimpan trauma tertentu maka dibutuhkan teknik yang spesifik dengan prasyarat khusus.
Ada dua cara untuk mengakses Underlying Ego State. Pertama, dengan menggunakan rileksasi pikiran dan kedua, tanpa rileksasi pikiran. Umumnya buku atau literatur tentang Ego State Therapy mensyaratkan rileksasi pikiran sebagai sarana untuk mengakses Underlying Ego State. Dengan kondisi pikiran yang rileks dan penggunaan teknik yang tepat akan dicapai hasil terapi yang sangat luar biasa dalam waktu yang relatif singkat.
Level kedalaman rileksasi pikiran yang umumnya digunakan untuk bisa mengakses Underlying Ego State adalah profound somnambulism. Bila kurang dalam atau lebih dalam dari profound somnambulism, Ego State Therapy biasanya akan kurang efektif.
Dari eksperimen dan pengalaman praktik saya menemukan bahwa kita bisa mengakses Underlying Ego State tanpa harus merilekskan pikiran sama sekali. Hasil terapi yang dicapai juga sama efektifnya.
Masing-masing cara mengakses Underlying Ego State mempunyai kelebihan masing-masing dan digunakan dalam situasi yang berbeda.
Manfaat Ego State Therapy
Ego State Therapy bila dipelajari dengan mendalam, cermat, dan dikuasai dengan baik akan memberikan manfaat terapeutik yang sungguh sangat luar biasa. Dalam praktik profesional sebagai hipnoterapis, dengan menggunakan Ego State Therapy, saya berhasil membantu klien mengatasi masalah, antara lain:
•phobia
•trauma/luka batin
•tidak percaya diri
•kesulitan diet
•takut sukses
•takut gagal
•insomnia
•migraine
•masalah seks
•kecemasan
•stress
•depresi
•takut berbicara di depan umum
•konflik diri (inner conflict)
•pencapaian prestasi hidup rendah
•perilaku obsessive/compulsive
•perilaku adiktif
•berbagai penyakit psikosomatis
•sabotase diri
•dan masih banyak lagi.
The Science of Gratitude
Albert Schweitzer pernah berkata, “Gratitude is the secret to life. The greatest thing is to give thanks for everything. He who has learned this has penetrated the whole mystery of life – giving thanks for everything” atau “Perasaan syukur adalah kunci rahasia kehidupan. Hal paling agung adalah berterima kasih untuk segala hal. Barang siapa yang telah mempelajari hal ini berarti telah menembus dan menguak semua misteri kehidupan – berterima kasih untuk segala hal.”
Gratitude atau syukur adalah salah satu dari lima komponen prinsip sukses Quantum Life Transformation yang saya tulis di buku dan juga diajarkan di pelatihan yaitu: (1) Impian, (2) Yakin, (3) Syukur, (4) Pasrah, dan (5) Doa.
Akhir minggu lalu saat menyampaikan pentingnya syukur sebagai salah satu komponen meraih keberhasilan hidup yang hakiki, saya mendapat banyak pertanyaan dari para peserta yang ingin lebih memahami makna dan manfaat (perasaan) syukur dalam kehidupan baik di aspek mental, emosi, maupun spiritual.
Penjelasan dalam artikel ini sebagian merupakan jawaban atas pertanyaan peserta pelatihan Quantum Life Transformation dan juga update pengetahuan berdasar riset literatur yang saya lakukan.
Apa sih sebenarnya syukur ?
Syukur memiliki dua makna: makna harafiah dan makna transenden. Secara harafiah, syukur adalah perasaan yang muncul dalam hubungan interpersonal saat seseorang menerima sesuatu yang (dipandang) berharga dari orang lain. Dalam hal ini syukur membantu jalinan keakraban dan memperkuat relasi antarindividu.
Perasaan syukur berasal dari dua tahap pemrosesan informasi: (1) penerimaan atas kebaikan, kemudahan, rejeki, keberlimpahan, atau hal-hal yang baik dalam hidup seseorang, dan (2) pengakuan bahwa sumber kebaikan ini sebagian terletak di luar diri kita.
Makna syukur yang kedua bersifat abadi, spiritual, dan transenden. Ilmu filsafat dan teologi memandang syukur sebagai suatu bentuk hubungan yang intim antara manusia dan Sang Pencipta.
Penjelasan makna syukur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejalan dengan dua makna di atas:
•syukur = rasa terima kasih kepada Tuhan
•bersyukur = berterima kasih
•mensyukuri = berterima kasih kepada Tuhan karena sesuatu hal
Dari definisi di atas tampak jelas bahwa syukur merupakan suatu bentuk komunikasi atau ungkapan hati kita, ungkapan rasa terima kasih yang tulus kepada Sang Pencipta, atas nikmat, berkah, rejeki, atau impian yang akan kita dapatkan.
Kitab suci juga mengingatkan kita betapa pentingnya perasaan syukur:
Dan (ingatlah) di waktu Tuhan kalian memperingatkan. Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat-Ku kepada kalian; dan jika kalian mengingkarinya, maka azab-Ku amat berat sekali. ~QS Ibrahim 7
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. ~Filipi 4:6
Kualitas spiritual dari syukur yang berlaku dalam berbagai tradisi agama dengan sangat apik dijelaskan oleh Streng (1989) dalam kalimat, “ ………dalam sikap ini orang menyadari bahwa mereka saling terhubung satu dengan yang lain melalui cara yang ajaib dan penuh misteri yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi merupakan bagian dari konteks yang lebih luas atau transenden.”
Syukur selain berhubungan dengan spiritualitas ternyata juga telah diteliti secara ilmiah oleh Emmons dan McCullough (2003). Peneliti ini meminta subjek penelitian untuk membuat jurnal syukur, rutin mencatat hal-hal yang mereka syukuri, dan setelah beberapa saat didapatkan hasil sebagai berikut:
1.subjek merasa lebih tenang, nyaman, optimis, dan lebih sedikit gejala sakit fisik.
2.subjek merasa lebih semangat, waspada, antusias, yakin, fokus, dan lebih berenergi.
3.subjek lebih mampu memberikan dukungan emosi dan memecahkan masalah orang lain yang membutuhkan bantuan mereka.
4.subjek tidur lebih lama dengan kualitas tidur yang lebih baik.
Dalam pelatihan Quantum Life Transformation saya menyarankan peserta untuk rutin mengisi Rekening Syukur. Hal ini sangat penting dilakukan karena tiga alasan berikut.
Pertama, saat kita merasakan perasaan syukur, berterima kasih, dan menghargai maka kita juga secara otomatis akan merasa lebih berharga, mencintai, bahagia, dan antusias.
Kedua, menurut riset David R. Hawkins yang berjudul Qualitative and Quantitative Analysis And Calibration Of The Level Of Human Consciousness, saat kita merasakan berbagai emosi positif di atas maka level energi psikis kita naik sangat tinggi.
Ketiga, hal positif yang kita tulis dan emosi positif yang kita rasakan sebelum tidur akan diproses di fase mimpi yang disebut precognitive dream dan akan terintegrasi ke pikiran bawah sadar kita. Hal ini tentunya sangat baik bagi untuk perkembangan dan kemajuan hidup kita.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa orang yang secara rutin merasakan dan mempraktikkan perasaan syukur tampak lebih bahagia, nyaman untuk diajak berkomunikasi, dan memberikan pengaruh positif pada lingkungannya. Orang yang penuh syukur dipandang sebagai orang yang lebih suka membantu sesama, lebih ceria dan bersahabat, lebih optimis, dan lebih bisa dipercaya (McCullough, 2002).
Peran perasaan syukur sebagai salah satu komponen dalam mencapai sukses sungguh sangat penting namun sayangnya jarang mendapat perhatian.
Sarah Breathnach dalam bukunya Simple Abundance Journal of Gratitude mengatakan bahwa apapun yang anda cari – ketenangan pikiran, kemakmuran / kekayaan, kesehatan, cinta – semuanya bisa anda dapatkan hanya jika anda bersedia menerimanya dengan hati yang terbuka dan dipenuhi rasa syukur.
Sedangkan Richelieu (1996) menyatakan bahwa syukur adalah salah satu instrumen kesadaran yang paling dahsyat, bersifat menyembuhkan, dinamis, dan penting untuk menunjukkanpengalaman hidup yang diinginkan.
Untuk bisa merasakan pengaruh positifnya untuk kehidupan maka anda perlu melatih diri untuk secara konsisten melakukan perenungan, menulis, dan merasakan syukur. Bila hanya dilakukan atau dialami sesekali efeknya tidak signifikan.
Nah, pembaca, setelah mendapat penjelasan sejauh ini, kapan anda akan mulai bersyukur untuk apapun yang anda alami dalam hidup anda hingga saat ini?
Jika anda belum bisa bersyukur maka syukuri hal ini sebagai hal yang sangat pantas untuk disyukuri. Katakan pada diri sendiri,”Saya bersyukur karena saat ini saya belum bisa bersyukur.”
Advanced Hypnotic Abreaction Techniques
Abreaction adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setiap hipnoterapis dalam praktik membantu klien mengatasi masalahnya pasti pernah mengalami klien yang meledak emosinya. Nah, ledakan emosi ini yang disebut dengan abreaction atau catharsis.
Saya pernah membahas abreaction di artikel sebelumnya dengan judul “How to Handle Abreaction and Catharsis”. Jika anda belum membacanya saya sarankan untuk mengunjungi http://www.quantum-hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=60.
Materi yang saya tulis di artikel ini adalah materi update, hasil penelitian, pengujian, dan pengembangan yang dilakukan oleh Tim Advanced Research & Development Quantum Hypnosis Indonesia, dan saya ajarkan di kelas 100 jam sertifikasi hipnoterapis melalui pelatihan Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy.
Penggunaan abreaction dalam terapi bukanlah hal baru. Freud juga menggunakan teknik ini dan menemukan bahwa simtom histeria pada klien hilang seketika dan tidak bisa muncul lagi jika klien berhasil secara menyeluruh membangkitkan kembali memori-memori beserta emosi yang menjadi penyebab histeria.
Freud dan kawannya Breuer menyimpulkan bahwa simtom muncul sebagai akibat dari represi memori yang berhubungan pengalaman yang sangat traumatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya blocking energi. Freud menggunakan hipnosis dan sugesti untuk melakukan release terhadap blok energi dan berhasil menyembuhkan kliennya. Temuan ini mereka tulis dalam buku Studien Uber Hysterie di tahun 1895.
Namun dalam perjalanan karirnya Freud menemukan bahwa simtom yang telah berhasil dihilangkan ternyata muncul lagi. Inilah sebabnya mengapa Freud merasa bahwa kemajuan terapi yang dialami klien, bila menggunakan teknik abreaction, hanya bersifat temporer.
Penelitian literatur menghasilkan satu temuan menarik. Freud hanya melakukan single abreaction pada kliennya. Padahal, untuk kasus berat akibat pengalaman yang sangat traumatik, emosi yang tertekan di bawah sadar sangatlah intens. Single abreaction umumnya tidak mampu secara tuntas menguras habis semua emosi ini. Untuk bisa benar-benar mengeluarkan semua emosi klien, untuk kasus yang berat, perlu dilakukan multiple abreactions, dan ini yang tidak dilakukan oleh Freud.
Penelitian manfaat teknik abreaction secara sangat terkontrol dilakukan oleh William Brown (1920) yang melakukan terapi pada ribuan mantan tentara yang mengalami masalah mental setelah pulang dari medan perang. Brown menggunakan abreaction untuk mengeluarkan emosi yang tertekan di bawah sadar dan berhasil membantu klien-kliennya pulih. Brown mengatakan bahwa agar efektif maka abreation harus intens, tuntas, dan diulangi. Baru setelah itu dilakukan rekonstruksi psikologis agar kesembuhan bersifat permanen.
Penelitian pemanfaatan abreaction selanjutnya dilakukan oleh Grinker dan H. Spiegel pada masa perang dunia kedua. Teknik ini selanjutnya disempurnakan oleh John G. Watkins dan berkembang hingga saat ini dengan banyak pendalaman dan penajaman teknik.
Abreaction sebenarnya adalah hal yang normal dan terjadi secara spontan dengan tujuan untuk melepas tekanan (mental atau emosi) atau stimulasi berlebihan yang mengganggu keseimbangan sistem diri manusia. Abreaction adalah bagian dari proses pemeliharaan diri, upaya penyesuaian individu untuk mencapai atau mempertahankan keseimbangan (equilibrium) yang diinginkan.
Untuk lebih memudahkan anda memahami abreaction, bayangkan sebuah tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku ini berisi air dan dalam kondisi normal ada api yang menyala dan membakar dasar tungku.
Bila api ini terus dibiarkan membakar tungku maka temperatur air di dalamnya akan naik dan akhirnya akan mendidih atau menguap. Ini adalah proses alamiah dan normal. Air yang bergolak dan mendidih ini adalah sama dengan abreaction yang terjadi secara alamiah pada diri manusia.
Namun apa yang terjadi bila tungkunya ditutup rapat?
Api yang terus membakar tungku akan membuat isi tungku semakin panas dan tekanan uap semakin tinggi. Bila ini diteruskan maka suatu saat nanti tungku akan meledak dan hancur.
Agar tidak hancur maka perlu dibuat lobang atau retakan kecil di dinding tungku untuk melepas uap yang terperangkap di dalamnya. Uap yang keluar akan muncul dalam bentuk simtom baik berupa perasaan tidak nyaman atau sakit fisik (psikosomatis).
Lebih jelas mengenai Teori Tungku Mental bisa anda baca di http://www.quantum-hypnosis.com/index.php?pid=dtl_artikel&id=48.
Dalam kondisi tertentu, biasanya saat seseorang dalam kondisi deep trance, maka pikiran bawah sadar bisa membuat retakan besar sehingga uap air keluar dengan sangat deras dan banyak. Bila ini terjadi maka klien akan mengalami spontaneous hypnotic abreaction yang hebat.
Kita perlu membedakan antara hypnotic abreaction, abreaction yang terjadi baik secara spontan atau karena disengaja melalui provokasi terencana dan terstruktur saat subjek dalam kondisi deep trance, dan abreaction yang terjadi dalam kondisi kesadaran normal. Beda dua abreaction ini ada pada kondisi kesadaran saat abreaction terjadi, intensitas, dan tujuannya.
Jadi, bila melihat penyebab terjadinya maka abreaction dibagi menjadi dua jenis. Pertama, abreaction yang disengaja. Abreaction jenis ini memang sengaja dilakukan oleh terapis terhadap klien dengan menggunakan tenik tertentu dan telah direncanakan dengan sangat hati-hati dan terstruktur. Terapis benar-benar tahu apa dan mengapa ia melakukan hal yang ia lakukan.
Kedua, abreaction yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Abreaction ini dapat terjadi sewaktu-waktu saat sesi terapi berlangsung. Terapis yang andal akan mampu memfasilitasi dengan baik abreaction yang disengaja maupun yang spontan karena secara teknis penanganannya sebenarnya sama saja.
Abreaction bila ditinjau dari siapa yang mengalaminya terbagi menjadi dua jenis yaitu abreaction yang dialami oleh (total) individu dan yang kedua, abreaction yang hanya dialami oleh Ego State. Dua jenis abreaction ini secara teknis sama namun berbeda pada proses penanganannya. Masing-masing mengikuti aturan main yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama.
Bila ditinjau dari metode untuk mengeluarkan emosi, kami di Quantum Hypnosis Indonesia, mengenal ada enam teknik abreaction. Dua dari total enam teknik abreaction yang diajarkan di kelas QHI adalah fractionated abreaction dan borrowed abreaction. Teknik borrowed abreaction adalah hasil riset dan pengembangan yang dilakukan oleh alumnus QHI Bpk. Sjahsjam Susilo.
Seringkali terjadi klien tidak bisa, lebih tepatnya tidak bersedia, mengeluarkan emosinya karena pertimbangan tertentu dan tidak terjadi abreaction, walaupun ia berada dalam kondisi profound somnambulism. Terapis perlu menggunakan strategi lain untuk membantu klien mengalami abreaction. Dari pengalaman , dua teknik yang saya sebutkan di atas sangat efektif untuk bisa mengatasi resistensi klien dan membuat klien bersedia melepaskan emosinya.
Ditinjau dari jenis emosi yang dikeluarkan, pada satu waktu tertentu, maka abreaction terbagi menjadi 3 (tiga): Mixed Emotion Abreaction, Anger Based Abreaction, dan Hate Based Abreaction. Untuk setiap jenis abreaction ini dibutuhkan teknik yang sangat spesifik agar dicapai hasil yang optimal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Abreaction memang sangat ampuh untuk membantu klien mengeluarkan tekanan emosi yang selama ini tersimpan atau ditekan di bawah sadar. Namun abreaction sendiri tidak bersifat terapeutik. Benar, dengan mengalami abreaction klien akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Namun kelegaan ini hanya bersifat sementara. Tanpa penanganan lanjutan, setelah abreaction, maka klien akan kembali ke kondisi awal. Itu sebabnya ada pakar yang mengatakan, “Revivification is not healing.”
Saat yang paling kritis untuk melakukan abreaction adalah saat terapis memutuskan apakah ia akan melakukan prosedur hypnotic abreaction atau tidak. Pilihannya hanya satu, “Ya atau tidak.” Tidak bisa ragu atau setengah-setengah. Begitu proses abreaction dimulai maka klien dan terapis masuk ke wilayah Point of No Return. Abreaction harus dilakukan hingga benar-benar tuntas.
Bila abreaction terjadi, apalagi abreaction yang bersifat spontan akibat emosi yang terpendam dan selama ini tidak disadari oleh klien, dan tidak dituntaskan penanganannya maka ini akan sangat riskan dan merugikan klien. Klien bisa mengalami goncangan emosi dan bahkan bisa mengakibatkan klien menjadi tidak stabil.
Menangani abreaction sebenarnya mudah. Sehebat apapun abreaction yang dialami klien, bila terapisnya siap secara mental, tanggap, percaya diri, dan telah membekali diri dengan teknik penanganan abreaction yang efektif maka klien tetap bisa dengan mudah dibawa keluar dari kondisi ini.
Kesulitan penanganan abreaction sebenarnya bukan pada diri klien namun lebih pada diri terapis. Terapis yang tidak siap mental akan kaget atau bahkan ketakutan saat melihat kliennya abreaction.
Saat klien berada dalam kondisi deep trance dan mengalami abreaction maka adalah tugas terapis untuk membantu klien melakukan navigasi pikiran dan emosi untuk melewati pengalaman traumatik itu, mengeluarkan emosinya hingga tuntas, dan melakukan pembelajaran ulang baik secara kognitif maupun afektif.
Pada umumnya untuk membawa klien keluar dari kondisi abreaction digunakan teknik “Tempat Kedamaian” atau Peaceful Place. Teknik ini dilakukan dengan cara meminta klien, sebelum proses hypnoanalysis dilakukan, membayangkan dirinya berada di tempat yang tenang, aman, dan nyaman. Klien diminta berada di tempat ini beberapa saat dan diminta untuk berjanji bahwa bila terapis meminta ia kembali ke tempat ini, kapanpun dan apapun situasinya, maka klien langsung kembali ke tempat ini.
Ini adalah emergency exit yang paling banyak digunakan oleh hipnoterapis pada umumnya namun dengan dua kelemahan yang sering tidak disadari.
Pertama, secara statistik diketahui bahwa orang yang modalitas utamanya visual hanya sekitar 27%. Berarti sisanya yang auditori dan kinestetik tidak akan bisa melakukan visualisasi tempat kedamaian.
Kedua, bila energi psikis klien lemah karena telah banyak terkuras dalam proses terapi maka besar kemungkinan klien tidak bisa menjalankan permintaan terapis untuk segera kembali ke tempat kedamaiannya, walaupun ia sangat ingin melakukannya.
Saya pernah mengalami hal ini. Saat seorang klien yang fobia terhadap benda tajam seperti pisau atau pedang, mengalami abreaction, dan saya perintahkan keluar dari situasi yang membuatnya “meledak” , ternyata ia hanya bisa keluar sesaat dan setelah itu “tersedot” masuk kembali ke kejadian traumatiknya. Kembali saya meminta klien keluar dari pengalaman traumatik dan ia kembali “tersedot” masuk. Ini terjadi berulang kali.
Dalam melakukan terapi saya tidak menggunakan teknik “Tempat Kedamaian”. Ada teknik lain yang jauh lebih praktis dan powerful yang selama ini saya gunakan dan selalu berhasil membawa klien keluar dari abreaction, sehebat apapun abreaction yang ia alami, hanya dalam waktu 2 - 3 detik.
Namun pada kasus di atas teknik ini tidak efektif. Hingga akhirnya saya terpaksa menggunakan teknik lain yang lebih advanced untuk membawa klien keluar dan akhirnya berhasil.
Saat saya tanyakan kepada klien, “Mengapa tadi kok tidak bisa berhenti abreactionnya?” Klien menjawab, “Saya sudah mengikuti bimbingan Pak Adi. Sempat keluar sesaat tapi setelah itu tersedot masuk kembali. Beberapa kali seperti itu.”
Abreaction yang efektif dan mampu memberikan hasil terapi yang permanen adalah yang dilakukan pada Initial Sensitizing Event (ISE), bukan pada Subsequent Sensitizing Event (SSE). Bila affect yang dikeluarkan berasal dari SSE maka release tidak bersifat menyeluruh dan cepat atau lambat klien pasti akan relapse. Ibarat memadamkan api, tidak langsung ke sumbernya.
ISE adalah kejadian yang menjadi awal atau akar masalah klien. Sedangkan SSE adalah kejadian lanjutan, yang dialami klien, yang memberikan kontribusi emosi dan memperkuat efek ISE hingga suatu saat muncul sebagai simtom.
Untuk menemukan ISE digunakan hypnoanalysis yang harus dilakukan secara cermat. Bila tidak, seringkali, terapis mengira telah berhasil menemukan ISE padahal masih SSE. Seringkali untuk bisa menemukan ISE harus melewati beberapa SSE. Dari pengalaman biasanya dibutuhkan penelusuran melalui antara satu hingga lima SSE untuk akhirnya bisa menemukan ISE.
ISE adalah memori yang berisi data mengenai kejadian yang dialami klien, plus pemaknaan dan emosi. Dalam melakukan penelusuran untuk mencari ISE bisa dilakukan dengan dua cara.
Cara pertama adalah dengan menggunakan cognitive bridge. Dalam hal ini terapis berusaha menemukan ISE melalui rangkaian pertanyaan yang diajukan pada klien dalam kondisi sadar normal. Prinsip kerja cognitive bridge adalah setiap memori saling terhubung. Dengan mengajukan pertanyaan yang tepat maka penelusuran data atau memori bisa dilakukan secara bertahap dan diharapkan, suatu saat nanti, berhasil mengungkapkan ISE.
Contohnya begini. Misalnya ada 3 data yang saling berhubungan, A, B, dan C. Kita bisa mencapai C, dengan titik awal A, melalui B. Dalam hal ini B adalah cognitive bridge yang menghubungkan A dan C.
Penggalian data menggunakan cognitive bridge bisa mengungkap ISE namun membutuhkan upaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Biasanya kegagalan analytic therapy seperti ini terjadi karena data yang muncul lebih sering berasal dari pikiran sadar yang tidak mengakses perasaan atau emosi.
Dalam hipnoterapi ada cara yang jauh lebih efektif untuk mengungkapkan ISE yaitu dengan menggunakan affect bridge. Affect bridge bekerja berdasar prinsip bahwa semua memori atau kelompok memori yang ada di pikiran bawah sadar saling terhubung dengan emosi tertentu.
Dengan prinsip ini maka emosi yang dirasakan oleh klien saat sekarang, pada suatu kejadian atau situasi tertentu, dapat dilacak sumbernya di masa lalu klien, hingga ditemukan memori paling awal atau ISE. Syarat untuk bisa melakukan affect bridge yang efektif adalah menggunakan bantuan kondisi hipnosis, terutama pada level kedalaman profound somnambulism, dan intensitas emosi yang tinggi.
Apakah affect bridge adalah satu-satunya teknik yang efektif untuk bisa menemukan ISE?
Di pelatihan saya mengajarkan beberapa teknik lain yang sangat efektif untuk menemukan ISE. Affect bridge hanya salah satunya. Ada satu teknik yang sangat efektif yang mampu langsung membawa klien ke ISE, tanpa harus melewati rangkaian SSE. Teknik lain ini akan saya bahas di kesempatan lain karena akan cukup teknis dan panjang.
Nah, pembaca, saya akhiri artikel ini dengan hal penting yang perlu diperhatikan bila hendak melakukan proses abreaction:
1.Ego Strength terapis dan klien (cukup) kuat untuk menjalani proses abreaction.
2.Terapis menguasai dengan baik teknik penanganan abreaction.
3.Klien dibimbing masuk hingga ke kedalaman profound somnambulism.
4.Abreaction paling optimal bila dilakukan dengan klien mengalami kembali pengalaman traumatik (revivification) yang dulunya tidak bisa/berhasil ia hadapi sepenuhnya.
5.Melalui kerjasama dan bantuan terapis, klien mampu menghadapi situasi traumatik, kembali mengalaminya, melepas emosi yang tertekan, dan mengalami pembelajaran ulang baik pada aspek kognitif maupun afektif.
6.Dalam kasus kekerasan yang dilakukan pada anak, klien bersama terapisnya berhadapan dengan pelaku kekerasan, mengatasi, dan membawa anak melewati pengalaman traumatik.
7.Jika dirasa perlu dilakukan proses abreaction maka abreaction dilakukan hingga emosi yang selama ini tertekan di bawah sadar keluar semuanya hingga tuntas.
8.Saat emosi yang tertekan telah berhasil dikeluarkan semuanya, terapis membantu klien melakukan pemaknaan ulang atas kejadian itu.
9.Abreaction melibatkan prinsip counter-conditioning atau systematic desensitization.
Hipnoterapi: Berkat atau Kuasa Kegelapan?
Hari Minggu, 31 Januari 2010, saya berbicara di Gereja Maria Bunda Karmel, Jakarta, membahas materi hipnoterapi dalam seminar sehari “Hipnotrerapi : Berkat atau Kuasa Kegelapan?” yang dimulai pukul 08.15 sampai 15.00.
Pembahasan materi hipnoterapi kali ini sungguh menarik karena hipnosis/hipnoterapi dibahas oleh tiga orang dengan sudut pandang yang berbeda.
Pembicara pertama adalah Ibu Ratih A. Ibrahim, seorang psikolog, pembicara topik psikolog, pendidikan, wanita, dan keluarga. Pembicara kedua, saya sendiri, Adi W. Gunawan, mengulas materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy. Pembicara ketiga adalah Romo DR. BS. Mardiatmadja SJ, rohaniwan, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat DRIYARKARA Jakarta, yang mengulas hipnoterapi menurut pandangan agama Katolik.
Dalam pembahasannya Bu Ratih menjelaskan mengenai apa itu hipnosis, sejarah hipnosis, sugesti, stage hypnosis, beda hipnosis dan gendam, dan aplikasi hipnosis untuk membantu klien mengatasi masalah. Bu Ratih juga menjelaskan bagaimana menggunakan pendulum untuk membantu klien mengendalikan pikiran mereka.
Pembahasan teknik terapi oleh Bu Ratih lebih menekankan penggunaan sugesti positif untuk membantu klien berubah. Level kedalaman hipnosis yang biasa digunakan, oleh Bu Ratih untuk membantu kliennya masih di level light trance. Jika ada kasus yang berat dan membutuhkan kondisi kedalaman hipnosis yang dalam atau sangat dalam maka Bu Ratih akan mengirim klien ke psikiater untuk terapi lanjutan.
Ibu Ratih membawakan materi mulai jam 08.30 sampai 10.00, sudah termasuk tanya jawab yang cukup intens dengan audiens. Banyak pertanyaan menarik seputar hipnosis/hipnoterapi yang sebenarnya menggambarkan kebingungan masyarakat akibat tayangan di televisi yang kurang tepat, bila tidak mau dikatakan salah, tentang hipnosis dan hipnoterapi.
Melalui sesi tanya jawab ini Bu Ratih meluruskan banyak hal dan memberikan wawasan yang benar mengenai hipnosis dan hipnoterapi pada audiens.
Sesi kedua, jam 10.00 sampai 12.30, saya memaparkan materi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy yang sebenarnya adalah intisari dari pelatihan 100 jam yang saya selenggarakan. Sudah tentu materinya sudah saya sederhanakan agar tidak terlalu teknis sehingga mudah dimengerti oleh audiens.
Materi yang saya bahas antara lain:
1.Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy
2.Sejarah hipnosis/hipnoterapi
3.Jenis-jenis hipnosis
4.Manfaat hipnoterapi
5.Teori Tungku Mental
6.Teori Pikiran
7.Prosedur hipnoterapi
8.Berbagai teknik hipnoterapi
Agar terdapat kesamaan persepsi dan pemahaman maka saya menggunakan definisi hipnosis yang menjadi acuan para hipnoterapis dunia yaitu definisi yang dikeluarkan oleh US. Dept. of Education, Human Services Division. Saya juga memberikan definisi hipnosis yang baru menurut Scientific EEG Hypnotherapy.
Dari sini saya melanjutkan pembahasan mengenai manfaat hipnoterapi dalam menangani sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mental atau emosi. Saya juga memaparkan hasil survei mengenai efektivitas hipnoterapi dibandingkan dengan psikoterapi dan behavior therapy. Survei ini dilakukan oleh Psychotherapy Literature dan dimuat di American Health Magazine.
Materi selanjutnya adalah mengenai pandangan yang salah mengenai hipnosis. Masyarakat umumnya meyakini bahwa hipnosis adalah praktik supranatural, menggunakan kekuatan makhluk lain, bisa untuk menguasai pikiran orang seperti yang mereka lihat di televisi. Ini semua tidak benar. Dan saya jelaskan apa sebenarnya hipnosis yang modern dan ilmiah.
Selanjutnya saya menjelaskan bahwa hipnosis/hipnoterapi telah mendapat pengakuan internasional oleh British Medical Association (1955), American Medical Association (1958), dan American Psychological Association (1960).
Gereja Katolik, menurut riset literatur yang saya lakukan, ternyata telah menerima penggunaan hipnosis. Hal ini tampak pada pernyataan Gereja Katolik, pada tahun 1847, pernah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa penggunaan magnetisme hewani (sebutan untuk hipnosis di jaman Mesmer) sebenarnya hanyalah suatu tindakan yang menggunakan media fisik yang secara hukum dibenarkan, dan oleh sebab itu secara moral tidak dilarang, dengan catatan penggunaannya tidak ditujukan untuk sesuatu yang melanggar hukum atau melanggar kemoralan.
Aplikasi hipnosis untuk anestesi, dalam hal ini membantu wanita melahirkan, juga telah diterima. Paus Pius XII, melalui pernyataan yang dipublikasi di tahun 1956 dan 1957, juga dengan sangat hati-hati memberikan persetujuan terhadap penggunaan hipnosis untuk terapi. Sikap Gereja Katolik terhadap hipnosis, hingga saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Hipnosis adalah pengetahuan ilmiah yang serius, dan bukan sesuatu yang dilakukan asal-asalan.
2.Dalam pemanfaatan hipnosis secara ilmiah harus dengan memperhatikan kehati-hatian dan tanggung jawab keilmuan dan kemoralan.
3.Pemanfaatan hipnosis untuk anestesi mengikuti prinsip yang sama yang berlaku untuk anestesi lainnya.
Saya juga menjelaskan bahwa ada dua buku yang sangat bagus yang bisa dibaca oleh audiens. Buku pertama sebenarnya berisi tentang teknik inner child dan ditulis oleh seorang pastor. Buku kedua, bicara tentang kekuatan pikiran bawah sadar, diterbitkan oleh Keuskupan Denpasar.
Seperti biasa, saya pasti menjelaskan mengenai teori dan mekanisme pikiran dengan detil, beda pikiran sadar dan bawah sadar, cara masuk ke pikiran bawah sadar dengan menembus critical factor, teknik dasar induksi, jenis induksi, dan level kedalaman trance/hipnosis.
Saya menjelaskan sangat detil level kedalaman trance beserta demo untuk menunjukkan fenomena yang bisa muncul dalam kedalaman tertentu.
Mengacu pada skala Davis Husband, saya membawa seorang peserta, yang bersedia menjadi subjek hipnosis, turun sangat cepat, hanya sekitar 2 menit, hingga ke level 29 dari 30 level kedalaman. Yang terjadi di level 29 adalah negative visual hallucination.
Dalam demo ini saya jelaskan juga apa sebenarnya yang dilakukan oleh stage hypnotist, bagaimana mereka memilih subjek, apa yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, bagaimana seorang stage hypnotist seharusnya bersikap yaitu tetap menghargai harkat dan martabat subjek, tetap menghargai dan tidak boleh mempermalukan subjek, sugesti yang seakan positif namun sebenarnya berbahaya bagi keselamatan subjek, dan masih banyak hal lain lagi.
Audiens melihat saya melakukan demo hanya dengan menggunakan kekuatan kata melalui teknik komunikasi baik verbal dan nonverbal, dan sama sekali tidak menggunakan mantra atau ilmu tertentu. Kalaupun ada ilmu yang gunakan ya ilmu hipnosis atau hipnoterapi.
Untuk lebih membuka wawasan audiens, bahwa hipnoterapi bukan sekedar sugesti seperti yang diyakini kebanyakan orang, saya juga menjelaskan mengenai berbagai teknik yang digunakan dalam hipnoterapi, termasuk beberapa teknik advanced.
Sesi saya akhiri dengan melakukan demo pengukuran gelombang otak salah satu peserta dengan menggunakan DBSA. Melalui pengukuran ini tampak bagaimana perubahan gelombang otak saat seseorang berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi relaksasi pikiran yang dalam atau deep trance.
Setelah sesi saya selesai kita break untuk makan siang selama kurang lebih satu jam.
Sesi selanjutnya diisi oleh Romo Mardi. Beliau mengatakan bahwa hipnosis dan hipnoterapi yang dijelaskan oleh Bu Ratih dan saya, bila digunakan dengan hati-hati, bertanggung jawab, tetap menghargai kehendak bebas (free will) klien, dan digunakan dalam upaya membantu klien mengatasi masalah mental atau emosi maka hal ini dibenarkan dan tidak bertentangan dengan aturan gereja Katolik.
Dalam pandangan Beliau hipnosis atau hipnoterapi hanyalah salah satu cabang dari psikologi dan pemanfaatannya bersifat horizontal, yaitu membantu sesama. Sama seperti ilmu kedokteran yang digunakan membantu pasien mengatasi masalah sakit fisik, hipnoterapi digunakan untuk membantu klien yang mengalami masalah mental. Sama-sama bertujuan meneymbuhkan namun yang disentuh aspeknya berbeda. Yang satu sistem tubuh, yang satu sistem pikiran atau mental.
Masih menurut Romo Mardi, Tuhan berkarya, campur tangan, dalam membantu manusia melalui banyak cara, salah satunya namun tidak selalu atau harus , bisa dengan bantuan kondisi hipnosis. Doa, dalam hal tertentu juga menggunakan kondisi hipnosis yaitu kondisi pikiran yang tenang, terkonsentrasi, dan hati yang damai.
Kesimpulang yang didapat setelah mendengar apa yang disampaikan Romo Mardi yaitu bahwa pemanfaatan hipnosis/hipnoterapi boleh dan tidak melanggar aturan gereja asalkan benar-benar memperhatikan kepentingan klien seutuhnya. Konsultasi atau terapi hanya terbatas untuk mengatasi masalah pikiran atau emosi klien. Bila masalahnya sudah berhubungan dengan keimanan maka ini tidak boleh dilakukan, apapun alasannya, karena ini adalah wilayah yang hanya dimengerti oleh seorang pembimbing spiritual yang seiman dengan klien.
Hypnosis and Memory
Ide untuk menulis artikel ini muncul saat saya sedang berdiskusi (post hypnotic interview) tentang proses dan hasil terapi dengan seorang klien, usai melakukan hipnoterapi. Klien ini bertanya, “Pak Adi, tadi waktu dalam proses terapi, saat Bapak membantu mencari dan menemukan akar masalah yang saya alami, ternyata muncul memori dari masa kecil yang selama ini saya tidak ingat sama sekali. Memori ini apa memang benar seperti itu kejadiannya ataukah hanya fantasi saya saja?”
Pembaca, untuk menjawab pertanyaan di atas saya perlu menceritakan sekilas proses yang terjadi selama sesi hipnoterapi. Klien datang kepada hipnoterapis karena mengalami suatu masalah atau simtom tertentu.
Untuk membantu klien menemukan akar dari masalah atau simtom yang dialami klien, hipnoterapis akan menggunakan uncovering technique, ada major uncovering technique dan minor uncovering technique, yang dipilih untuk diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi klien.
Tebbetts, seorang maestro hipnoterapi, menyatakan bahwa eliminasi simtom dengan menggunakan teknik uncovering meliputi empat hal:
1.Memori yang menjadi dasar munculnya simtom harus ditemukan/diketahui.
2.Perasaan yang terhubung dengan memori harus dialami kembali (revivification).
3.Relasi simtom ke memori harus terjalin.
4.Pembelajaran pada level pikiran bawah sadar atau emosi harus terjadi agar klien dapat membuat keputusan di masa depan tidak terpengaruh oleh materi yang direpres atau belum terselesaikan.
Saat mencari akar masalah, seperti yang dinyatakan oleh Tebbets, klien akan mengalami regresi yang akhirnya membawa ia kembali ke kejadian awal yang menjadi sumber masalahnya. Dalam dunia hipnoterapi, kejadian awal ini disebut I.S.E atau Initial Sensitizing Event.
Pertanyaan yang selalu menggelitik hati adalah, “Apakah I.S.E ini benar-benar kejadian yang dialami klien ataukah hanya sekedar fantasinya?”
Bagi seorang hipnoterapis jawabannya adalah, “Tidak penting dan tidak peduli. Yang penting klien sembuh dari masalahnya.”
Lho, kok begitu?
Saya pribadi tidak pernah memusingkan apakah data yang tergali saat terapi adalah benar-benar data otentik/akurat atau hanya fantasi. Yang penting klien sembuh, titik. Namun tentu saja, bila berbicara mengenai penggalian data dari memori, seperti dalam forensic hypnosis, saya tidak bisa berkata seperti di atas. Untuk forensic hypnosis saya tentu akan lebih hati-hati dan harus didukung dengan riset mengenai hal ini. Namun untuk sesi terapi biasa, tidak jadi masalah apapun data yang muncul. Yang penting klien sembuh.
Nah, kembali ke pertanyaan awal, “Apakah data/memori yang tergali saat proses terapi adalah data yang akurat ataukah hanya fantasi? Kalau akurat, seberapa akuratkah data ini?”
Jawabannya adalah, “Tidak akurat.”
Ceritanya begini ya. Informasi yang berasal dari luar diri kita jumlahnya sangat banyak sekitar 2.000.000 bit informasi pada suatu saat. Karena banyaknya informasi yang harus diproses, agar kita tidak mengalami overload, maka pikiran sadar akan melakukan filter berdasar kriteria berikut:
• Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
• Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah
sadar) atau
• Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori (visual, auditori, atau kinestetik) .
Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.
Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran. Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan thalamus. Thalamus bertugas mengirim “bahan mentah” informasi ke bagian otak yang bertugas memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan lain sebagainya.
Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasi ini telah bertambah sekitar 80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu adanya.
Sekarang anda pasti telah memahami mengapa saya mengatakan bahwa data yang tergali saat sesi terapi adalah “tidak akurat”. Data ini bukannya salah namun sudah terdistorsi oleh persepsi kita, telah kita beri makna, plus disertai dengan emosi tertentu. Jadi, bisa dikatakan data yang ada di memori adalah fakta + pemaknaan + emosi.
Freud pada mulanya juga berkeyakinan bahwa data yang tergali dalam sesi terapi adalah data yang akurat, apa adanya. Namun di kemudian hari Freud menyadari bahwa memori yang tergali dalam proses terapi ternyata mengandung emosi yang kuat, campuran antara perasaan takut, fakta, dan persepsi.
Panel yang dibentuk oleh AMA (American Medical Association) yang terdiri dari delapan pakar, antara lain Martion Orne, Bernard Diamond, Herbert Spiegel, dan David Spiegel, sepakat pada satu hal yaitu bahwa dalam age regression pengalaman subjektif mengalami kembali pengalaman di masa kecil walaupun seakan-akan nyata dan benar demikian adanya – tidak berarti sama persis dengan kejadian sesungguhnya (Council on Scientific Affairs, 1985, p. 1919)
Memori bersifat interaktif dan dinamis, tidak statis. Hasil riset membuktikan bahwa teori yang menyatakan pikiran merekam secara objektif kejadian atau pengalaman ,apa adanya seperti yang terjadi, seperti sebuah kamera video, tidaklah benar.
Informasi yang masuk ke pikiran bawah sadar dan disimpan di memori, mengalami distorsi baik saat pertama kali data diterima dan disimpan, saat telah berada di memori, saat pemanggilan data (retrieval), saat data keluar dari memori dan diungkapkan secara verbal maupun non verbal.
Walaupun data yang tergali adalah data yang subjektif, data yang telah mengalami distorsi, namun bila data ini tergali dalam kondisi profound somnambulism, akurasinya jauh lebih tinggi daripada bila digali dalam kondisi sadar normal.
Akurasi yang dimaksud di sini adalah minimnya distorsi yang terjadi akibat tercampurnya data yang berasal dari pikiran bawah sadar dengan “data” yang berasal dari pikiran sadar, saat proses penggalian di memori.
Kondisi hipnosis, khususnya very deep hypnosis atau profound somnambulism, adalah kondisi yang sangat kondusif untuk menggali data di pikiran bawah sadar. Dalam kondisi ini pikiran sadar, khususnya critical factor, tidak bekerja sehingga data, dari pikiran bawah sadar, bisa dengan sangat mudah naik ke pikiran sadar.
Di pelatihan QHI, Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy, saya menjelaskan mekanisme komunikasi pikiran sadar dan bawah sadar , naiknya data dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar secara real time.
Saat seseorang berada dalam kondisi profound somnambulism pikirannya menjadi sangat terkonsentrasi dan kesadarannya, seperti yang dikatakan oleh Dave Elman, meningkat hingga 2.000%.
Informasi apapun yang tergali saat sesi terapi digunakan sepenuhnya untuk membantu klien mengatasi masalahnya, bukan melakukan pengecekan dan validasi data seperti yang dilakukan dalam forensic hypnosis. Jadi, hipnoterapis dalam hal ini tidak akan mempermasalahkan akurasi data itu. Yang penting klien sembuh.
Saat data tergali dari pikiran bawah sadar klien akan ada dua skenario yang bisa terjadi, bergantung pada level kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai klien. Pertama, klien hanya akan mengingat kejadian itu. Kondisi ini disebut hypermnesia atau pseudo revivification yang akan dialami klien yang berada dalam kondisi medium trance. Kedua, pada kedalaman deep trance, klien mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu sama seperti dulu ia mengalaminya. Kondisi ini disebut dengan revivification.
Hal yang yang juga sangat penting diperhatikan adalah pertanyaan yang diajukan terapis kepada klien, apakah bersifat leading ataukah guiding. Pertanyaan yang bersifat leading akan mengakibatkan terciptanya false memory yang akan sangat merugikan klien dan malah bisa membuat kondisi klien menjadi semakin parah. Sedangkan pertanyaan yang bersifat guiding bersifat netral dan objektif.
Saya pernah diminta membantu menangani satu kasus yang, katanya, akibat dari penggunaan hipnoterapi secara tidak bertanggung jawab. “Korban”, juga menurut informasi yang saya dapatkan, telah menjalani beberapa sesi terapi dengan terapis lain untuk mengatasi masalahnya.
Setelah saya pertimbangkan dengan saksama akhirnya saya putuskan untuk tidak menangani kasus ini. Saya tidak yakin bila saya melakukan forensic hypnosis pada “korban”, untuk menggali informasi mengenai apa yang telah terjadi, akan bisa mendapatkan data yang otentik. Tidak bermaksud meragukan apa yang telah dilakukan terapis lainnya, yang juga telah membantu menangani “korban”, saya tidak tahu teknik apa yang telah digunakan. Selain itu, terapis yang membantu “korban” ternyata datang dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda.
Berikut saya berikan contoh bahaya false memory. Misalnya seorang klien wanita mengaku merasa mengalami pelecehan seksual oleh pamannya, saat ia masih kecil. Terapis yang tidak profesional dan tidak mengerti bahaya pertanyaan leading akan melakukan hal berikut, setelah klien diregresi ke “kejadian” pelecehan itu terjadi:
Terapis : Kamu sekarang berada di mana?
Klien : Di kamar.
Terapis : Berapa usia kamu saat ini?
Klien : Lima tahun.
Terapis : Apakah Om ada di dalam kamar?
Klien : Ya.
Terapis : Apa yang Om lakukan padamu?
Pembaca, ini sangat berbahaya. Saat seseorang berada dalam kondisi deep hypnosis apa yang dikatakan atau ditanyakan oleh terapis akan memunculkan gambaran mental yang seakan-akan merupakan kejadian yang sesungguhnya. Pada contoh di atas yang terjadi sebenarnya adalah belum tentu Om itu ada di dalam kamar. Om menjadi berada di dalam kamar karena sugesti, dalam bentuk pertanyaan, yang diberikan oleh si terapis.
Negara Dengan Kualitas Pendidikan Terbaik di Dunia
Teman-teman semua, berikut ini adalah artikel yang sangat bagus yang ditulis oleh sahabat saya Bapak Satria Dharma, salah satu tokoh pendidikan nasional. Semoga bermanfaat.
Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Finlandia. Negara dengan ibukota Helsinki (tempat ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dengan GAM) ini memang begitu luar biasa. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental.
Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia?
Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya. Finlandia tidaklah menggenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes.
Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu.
Apa gerangan kuncinya?
Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia.
Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK!. Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
Kelompok siswa yang lambat mendapat dukungan intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.
Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
Memahami Penyakit Psikosomatis
Baru-baru in saya mendapat klien, seorang pria, sebut saja Pak Rudi, yang mengeluh sakit kepala sebelah yang sudah berlangsung sekitar 6 bulan. Pak Rudi telah berobat ke dokter, telah melakukan cek darah lengkap, dan bahkan telah menjalani CT Scan dan MRI. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan Pak Rudi sehat, sama sekali tidak ada masalah.
Tidak puas dengan hasil pemeriksaan lab dalam negeri, Pak Rudi memutuskan berobat ke negeri jiran dan kembali menjalani pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya? Sama, Pak Rudi dinyatakan sepenuhnya sehat. Dokter tidak bisa menemukan apa yang menyebabkan sakit kepala Pak Rudi.
Dokter di dalam negeri dan di negeri jiran sama-sama mengatakan bahwa sakit kepala Pak Rudi ini disebabkan karena pikiran, bukan karena masalah fisik. Mereka menyarankan Pak Rudi untuk tidak banyak pikiran, hidup lebih santai, berolahraga, dan kalau perlu mengambil cuti dan berlibur untuk menenangkan pikiran.
Pembaca, apa yang dialami oleh Pak Rudi dikenal sebagai penyakit psikosomatis. Psiko artinya pikiran dan soma artinya tubuh. Jadi, penyakit psikosomatis artinya penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang. Penyakit ini juga disebut dengan penyakit akibat stress. Penyakit psikosomatis sekarang sering disebut dengan penyakit psikofisologis. Namanya saja yang sedikit berbeda namun maknanya sama.
Salah satu hipnoterapis alumnus Quantum Hypnosis Indonesia juga pernah menangani klien, seorang wanita, yang alergi gula atau makanan yang manis. Jika ia makan permen atau minum minuman yang manis maka seluruh tubuhnya akan gatal dan bengkak. Yang aneh adalah bila ia makan nasi atau roti tidak apa-apa. Padahal yang namanya gula itu kan glukosa. Bukankah karbohidrat setelah masuk ke tubuh akan diubah menjadi glukosa? Secara logika, harusnya kalau ia makan nasi atau roti maka reaksi tubuhnya akan sama dengan makan permen atau minum minuman yang manis.
Banyak orang menderit penyakit psikosomatis namun tidak menyadarinya. Mereka biasanya akan terus berusaha sembuh dari sakit yang dideritanya dengan terus berobat namun tidak bisa sembuh. Kalaupun ada perubahan biasanya intensitas penyakitnya saja yang menurun tapi tidak bisa sembuh total. Selang beberapa saat biasanya akan kambuh lagi dan bisa lebih parah dari sebelumnya.
Baik Pak Rudi dan klien wanita ini sembuh hanya dalam satu sesi terapi setelah akar masalah yang mengakibatkan penyakit psikosomatisnya berhasil ditemukan dan dibereskan.
Apa saja sakit yang masuk kategori psikosomatis? Semua sakit fisik yang disebabkan oleh kondisi mental atau emosi penderitanya; mulai sakit kepala, sesak napas, badan lemas lunglai tak bertenaga, jantung berdebar, sulit tidur, sakit maag, mata berkunang-kunang, bahkan lumpuh, dan masih banyak lagi.
Bagaimana Terjadinya?
Untuk memahami terjadinya penyakit psikosomatis kita perlu mencermati hukum pikiran dan pengaruh emosi terhadap tubuh. Ada banyak hukum yang mengatur cara kerja pikiran, salah duanya adalah:
• Setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik.
• Simtom yang muncul dari emosi cederung akan mengakibatkan perubahan pada tubuh fisik bila simtom ini bertahan cukup lama.
Hukum pertama mengatakan setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Bila seseorang berpikir, secara konsisten, dan meyakinkan dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di daerah dada, yang ia yakini sebagai gejala sakit jantung. Bila ide ini terus menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi sangat yakin, menjadi belief, karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung maka, sesuai dengan bunyi hukum yang kedua, ia akan benar-benar sakit jantung.
Biasanya orang tidak akan secara sadar menginginkan mengalami sakit tertentu. Umunya yang mereka rasakan adalah suatu perasaan tidak nyaman, secara emosi. Sayangnya mereka tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini sebenarnya adalah salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar.
Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar. Bisa melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui perasaan atau emosi tertentu. Bila emosi ini tidak ditanggapi atau diperhatikan maka ia akan menaikkan level intensitas pesannya menjadi suatu bentuk gangguan fisik dan terjadilah yang disebut dengan penyakit psikosomatis.
David Cheek M.D., dan Leslie LeCron menulis dalam buku mereka, Clinical Hypotherapy (1968), terdapat 7 hal yang bisa mengakibatkan penyakit psikosomatis:
-Internal Conflict : konflik diri yang melibatkan minimal 2 Part atau Ego State.
-Organ Language : bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengungkapkan perasaannya. Misalnya, “Ia bagaikan duri dalam daging yang membuat tubuh saya sakit sekali.” Bila pernyataan ini sering diulang maka pikiran bawah sadar akan membuat bagian tubuh tertentu menjadi sakit sesuai dengan semantik yang digunakan oleh klien.
-Motivation / Secondary Gain: keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan sakit yang dideritanya, misalnya perhatian dari orangtua, suami, istri, atau lingkungannya, atau menghindar dari beban tanggung jawab tertentu.
-Past Experience : pengalaman di masa lalu yang bersifat traumatik yang mengkibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam diri seseorang.
-Identification : penyakit muncul karena klien mengidentifikasi dengan seseorang atau figur otoritas yang ia kagumi atau hormati. Klien akan mengalami sakit seperti yang dialami oleh figur otoritas itu.
-Self Punishment : pikiran bawah sadar membuat klien sakit karena klien punya perasaan bersalah akibat dari melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai hidup yang klien pegang.
-Imprint : program pikiran yang masuk ke pikiran bawah sadar saat seseorang mengalami emosi yang intens. Salah satu contohnya adalah orangtua menanam program ke pikiran bawah sadar anak dengan berkata, “Jangan sampai kehujanan, nanti bisa flu, pilek, dan demam."
Sedangkan Tebbets, pakar hipnoterapi terkemuka, mengatakan bahwa kebanyakan penyakit bersifat psikosomatik dan dipilih (untuk dimunculkan) pada level pikiran bawah sadar untuk lari dari suatu situasi yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan mental yang berlebihan (overload) yang disebabkan oleh emosi destruktif seperti marah, benci, dendam, takut, dan perasaan bersalah.
Bagaimana Mengatasinya?
Karena yang menjadi sumber masalah sebenarnya adalah emosi maka terapis harus mampu membantu klien memproses emosi terpendam yang menjadi sumber masalah.
Tebbets mengatakan bahwa ada 4 langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi penyakit psikosomatis dan menghilangkan simtomnya melalui teknik uncovering:
1.Memori yang menyebabkan munculnya simtom harus dimunculkan dan dibawa ke level pikiran sadar sehingga diketahui.
2.Perasaan atau emosi yang berhubungan dengan memori ini harus kembali dialami dan dirasakan oleh klien.
3.Menemukan hubungan antara simtom dan memori.
4.Harus terjadi pembelajaran pada secara emosi atau pada level pikiran bawah sadar, sehingga memungkinkan seseorang membuat keputusan, di masa depan, yang mana keputusannya tidak lagi dipengaruhi oleh materi yang ditekan (repressed content) di pikiran bawah sadar.
Mencari tahu apa yang menjadi sumber masalah dilakukan dengan hypnoanalysis mendalam. Ada banyak teknik hipnoterapi yang bisa digunakan untuk melakukan hypnoanalysis. Setelah itu, emosi yang berhubungan dengan memori dialami kembali, dikeluarkan, diproses, dan di-release. Dan yang paling penting adalah kita mengerti pesan yang selama ini berusaha disampaikan oleh pikiran bawah sadar dengan membuat klien mengalami penyakit psikosomatis. Baru setelah itu proses kesembuhan bisa terjadi.
Pada saat alasan untuk terciptanya penyakit psikosomatis telah berhasil dihilangkan maka pikiran bawah sadar tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan penyakit itu atau memunculkannya lagi di masa mendatang.
Saya akhiri artikel ini dengan kalimat bijak yang disampaikan oleh Dr. Raymond Charles Barker, “When there is a problem, there is not something to do. There is something to know.
sumber :
Adi W Gunawan