Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Dharma Pendidikan Kompasiana MSN Indonesia Bisnis Indonesia Kompas Republika Tempo Detiknews Media Indonesia Jawa Pos Okezone Yahoo News New York Times Times Forbes
Google Yahoo MSN
Bank Indonesia Bank Mandiri BNI BCA BRI Cimb Niaga BII
Hariyono.org Education Zone Teknologi Informasi Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Perekonomian Indonesia KTI-PTK Akuntansi Komputer Media Pend.Askeb Media Bidan Pendidik Materi Umum Kampus # # #
mandikdasmen Depdiknas Kemdiknas BSNP Kamus Bhs Indonesia BSNP # # # # #
Affiliate Marketing Info Biz # # # # # # # # #
Bisnis Online Affilite Blogs Affiliate Program Affiliate Marketing # # # # # # # # #

03 April 2011 | 11:29 PM | 0 Comments

PENDIDIKAN UNTUK ANAK AUTIS

images 2

A.        PENDAHULUAN

Semakin banyaknya gejala gangguan autis pada anak, menimbulkan keprihatinan bagi orang tua, bidang kesehatan dan juga pendidikan. Segala upaya telah dicoba oleh berbagai pihak untuk membantu anak penyandang gangguan autis. Salah satu upaya yang telah banyak dilakukan adalah dengan mendirikan pusat-pusat terapi autis dan sekolah-sekolah untuk anak berkebutuhan khusus ini. Tujuannya adalah untuk membentuk perilaku positif dan mengembangkan kemampuan lain yang terhambat, misalnya bicara, kemampuan motorik dan daya konsentrasi.

Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang ditandai dengan 3 ciri pokok, yaitu terganggunya perkembangan interaksi sosial, bahasa dan wicara, serta munculnya perilaku yang bersifat repetitif, restriktif, stereotipik dan obsesif. Walaupun sampai saat ini belum ditemukan adanya proses atau penyebab tunggal timbulnya autisme, namun beberapa bagian otak seperti amigdala, hipokampus, sistema limbik, serebelum dan korteks serebri mengalami gangguan perkembangan histokimia sampai anatomik. Belum ada obat atau cara apapun untuk menyembuhkan autisme. Namun demikian “performance” anak bisa dtingkatkan dengan mengembangkan potensi dasar yang telah dimilikinya.(1)

B.         PENYEBAB AUTIS

images 1

Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang berat dan luas. Terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupannya. Namun masalah ini bisa mulai sejak janin enam bulan dalam kandungan. Penyandang autisme bisa terus berlanjut selama masa hidupnya, jika tidak segera dilakukan intervensi secara dini. (2)

Salah satu penelitian terbaru mengenai autisme menemukan para penderita autis memiliki gen umum dengan variasi yang berbeda. Temuan gen tersebut nantinya bisa memudahkan diagnosis dan mengembangkan terapi serta pencegahan terjadinya autisme pada anak.

Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Journal Nature ini membandingkan gen dari ribuan penderita autisme dengan ribuan orang normal. Hasil dari penelitian menunjukkan, sebagian besar penderita autisme memiliki variasi genetik dari DNA mereka yang berpengaruh pada hubungan antarsel otak.

Para peneliti juga mengungkapkan adanya hubungan antara autisme dengan ‘kesalahan kecil’ pada segmen DNA yang terdapat sel komunikasi di dalamnya.(3)

C.         AUTIS DI INDONESIA

Jumlah penyandang autisme semakin hari makin banyak. Sebelum tahun 1990, diperkirakan hanya dua hingga lima penyandang untuk tiap 10 ribu kelahiran. Tahun 1990 an meningkat menjadi hingga empat kali lipat. Data terakhir dua tahun lalu dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menunjukkan angka lebih besar. Sekitar 60 penderita dalam 10 ribu kelahiran. Di wilayah Amerika, angkanya lebih mengkhawatirkan. Saat ini dari 100 kelahiran, seorang diantaranya mengalami autisme. Sehingga di Amerika autisme dikatakan sebagai national alarming. (2)

Penderita autis di Indonesia setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari dalam pembukaan rangkaian Expo Peduli Autisme 2008 lalu mengatakan, jumlah penderita autis di Indonesia di tahun 2004 tercatat sebanyak 475 ribu penderita dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir, menderita autisme.

Walaupun Autis telah ditemukan sejak tahun 1943, namun penyebab pasti akan gangguan yang diderita oleh kurang lebih 35 juta orang di seluruh dunia ini masih belum diketahui. Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI) dr. Melly Budhiman mengatakan, di antara penyebabnya adalah faktor gaya hidup, polusi udara, narkotika, makanan yang tercemar limbah, misalnya ikan laut, dan sayuran yang masih mengandung pestisida.

Sebuah penelitian terbaru menitikberatkan pada kelainan biologis dan neurologis di otak, termasuk ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan kekebalan.(4)

Dr Rudy Sutadi dari Perhimpunan Autisme Indonesia mengatakan, data statistik kelainan ini, anak laki-laki lebih besar kecenderungan terkena autisme di banding perempuan. “Sekitar empat dibanding satu,” katanya. Sebab pastinya memang belum bisa diketahui. Tetapi ada teori, anak perempuan hormon esterogen lebih banyak dibandingkan anak laki-laki. Hormon itu sendiri dalam perkembangannya melindungi otak dari berbagai hal yang bisa meracuninya.(2)

D. CIRI-CIRI ANAK AUTIS

images 5

Penyandang autisme memiliki gangguan pada komunikasi, interaksi sosial, serta aktivitas yang terbatas dan berulang-ulang. Mungkin juga terdapat masalah pada sensasi (hiper/hiposensitif pada panca indera), fungsi adaptif. Gangguan ini akan terus terakumulasi hingga dewasa. Tidak heran jika penyandang autisme perkembangannya tertinggal jauh dibanding anak normal sebaya.

Menurut Power (1989), karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku serta emosi dan pola bermain, gangguan sensoris, dan perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Secara lebih jelas dapat dituliskan sifat-sifat yang kerap ditemukan pada anak autis. Diantaranya adalah sulit bergabung dengan anak-anak yang lain, tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata atau hanya sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan terhadap nyeri, lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidka membentuk hubungan pribadi yang terbuka, memutar benda, terpaku pada benda tertentu, sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, memiliki fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif, dan sebagainya.

Hubungan dengan orang

a)      Tidak responsif

b)      Tidak ada senyum sosial

c)      Tidak berkomunikasi dengan mata

d)     Kontak mata terbatas

e)      Tampak asyik bila dibiarkan sendirian

f)       Tidak melakukan permainan giliran

g)      Menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat untuk melakukan sesuatu

Bahasa dan Komunikasi

a)      Ekspresi Wajah datar

b)      Tidak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh

c)      Jarang memulai komunikasi

d)     Tidak meniru aksi dan suara

e)      Bicara sedikit atau tidak ada

f)       Mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat secara berulang-ulang

Hubungan dengan lingkungan

a)      Bermain repetitif atau diulang-ulang

b)      Marah dan tidak menghendaki perubahan

c)      Berkembangnya rutinitas yang kaku

d)     Memperlihatkan ketertarikan yang sangat pada sesuatu dan tidak fleksibel

Respon terhadap rangsangan

a)      Panik terhadap suara-suara tertentu

b)      Sangat sensitif terhadap suara

c)      Bermain dengan cahaya dan pantulan

d)     Memainkan jari-jari di depan mata

e)      Menarik diri ketika disentuh

f)       Sangat tidak suka dengan pakaian, makanan, atau hal-hal tertentu

g)      Tertarik pada pola, tekstur, atau bau tertentu

h)      Sangat inaktif atau hiperaktif

i)        Mungkin suka memutar-mutar sesuatu, bermain berputar-putar, membentur-benturkan kepala, atau menggigit pergelangan

j)        Melompat-lompat atau mengepak-ngepakan tangan

k)      Tahan atau berespon aneh terhadap nyeri (5)

E. PENDIDIKAN UNTUK ANAK AUTIS

2785216p

Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual.

Fakta bahwa anak Autis  belajar secara berbeda karena perbedaan neurobiologis bawaan mereka memberikan dampak pada tiga hal:

1.      Belajar menjadi tugas yang lebih berat bagi anak Autis

2.      Anak Autis  harus diajarkan dalam gaya yang ‘khusus’ bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan baik. Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus
3.      Bila intervensi dilakukan lebih dini, maka perjuangan untuk mengajar anaka Autis ini diharapkan akan lebih mudah karena mereka sudah lebih tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku negatif lainnya)(6)

Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

Jumlah terbesar adalah penyandang tuna grahita (keterbatasan intelektual) berat dan ringan sebanyak 38.545 peserta, tuna rungu 19.199 peserta. Diikuti kemudian penyandang tuna netra 3.218 peserta, tuna daksa 1.920 peserta dan autis sebanyak 1.752 peserta.

Di Indonesia, sekolah yang khusus menangani autis berjumlah 1.752 sekolah. Lima besar provinsi yang paling banyak mendirikan sekolah autis adalah Jawa Barat sebanyak 402 sekolah, Jawa Timur 263 sekolah, Daerah Istimewa Yogyakarta 131 sekolah. Kemudian diikuti Sumatera Barat dan DKI Jakarta yang masing-masing memiliki 111 sekolah untuk penyandang autis.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko Sukarso menyatakan, UU Sisdiknas No20 Tahun 2003 mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua masyarakat. “Pemerintah mengakui dan melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagipenyandangautis,” sebutnya.

Semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun begitu, Eko mengatakan, Diknas memberikan kebebasan kepada masing-masing sekolah untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Ini disebabkan setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Awal Psikolog dari sekolah khusus autis “Mandiga” di Jakarta, Dyah Puspita menyatakan, kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak, Dini Yusuf, pendiri homeschooluntuk anak autis “Kubis” di Jakarta mengatakan, bergantung dari assessment(penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian melalui wawancara terhadap kedua orangtuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilaian awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini, menurut Dini,berbeda-beda.”Tetapi, dari sana, kami lalu menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak,” ujarnya. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis.

Kepala Sekolah khusus autis, AGCA Centre Bekasi Ira Christiana, mengatakan, sekolahnya memiliki berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. “Terapi apa yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya,” sebutnya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. “Ini wajib hukumnya karena mereka sudah waktunya untuk sekolah,” ujar Ira.

Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati, menurut Ira, adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok,kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua.(7)

ribbon-medium

REFERENSI

(1)   http://www.mediamedika.net/modules.php?name=Jurnal&file=index&a1=jurnal&a2=329&sort=&recstart=0

(2)   http://forum.detik.com/showthread.php?t=35582

(3)   http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/205-temuan-gen-penyebab-autisme

(4)   http://www.boleh.com/?mn=dtnews&s=hotspot&id=107

(5)   http://autistik.wordpress.com/

(6)   http://www.autisme.or.id/berita/article.php?article_id=52

(7)   http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/05/17/27/110062/kurikulum-khusus-penyandang-autis

sumber : blog.unnes

NB: Jika anda suka artikel ini, silakan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link ini! Terimakasih.
 
Copyright © 2010 - All right reserved by Education Zone | Template design by Herdiansyah Hamzah | Published by h4r1
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome, flock and opera.