Di sela-sela pemilihan dosen berprestasi di fakultasnya, Dekan Fakultas Sastra Unpad, Prof.Dr. Dadang Suganda menyisihkan waktunya buat bercerita tentang metode belajar Student Centered Learning (SCL). Metode yang sesungguhnya tak baru ini kini mulai disosialisasikan di fakultas ini. Menurut Dadang, metode SCL relevan diterapkan setelah visi dan misi Fakultas Sastra sedikit berubah.
“Sekarang kami mewajibkan semua jurusan untuk mengubah paradigma kurikulum yang dulunya berorientasi kepada rumpun ilmu murni, sekarang dicoba dikombi-nasikan. Saya katakan, dengan 60% saja rumpun keilmuan murni sebagai identitas keilmuannya sudah cukup, dan yang 40% lagi diisi dengan kemampuan-kemampuan yang sifatnya pragmatis dengan metode pembelajaran SCL,“ katanya.
Kini semua jurusan di Fakultas Sastra sudah menerapkan prosentase itu dengan metode pembelajaran SCL. Di Jurusan Sejarah, Jurusan Jepang, dan Jurusan Indonesia sudah ada team teaching dengan sistem pembela-jaran SCL. Sekalipun demikian, di beberapa Jurusan lainnya memang tampaknya masih dalam masa transisi.
“Ini berkaitan dengan SDM, sumber daya manusia. Selama ini teman-teman (dosen-dosen – Red.) di Fakultas Sastra ini, karena terlalu lama pada metodologi yang lama, untuk mengubah ke model yang baru agak sedikit gegar budaya atau menemukan hambatan-hambatan dalam implementasi. Apa pun metode pembelajarannya, substansi-nya kembali ke roh-roh lama juga sebetulnya. Tapi lambat laun mereka akan mengadaptasikan diri,” ujar dosen Jurusan Sastra Indonesia itu.
Fakultas Sastra menyediakan anggaran sebesar Rp 2,5 juta tiap bulan untuk setiap jurusan yang ingin mengadakan seminar. Seminar yang dimaksud harus berkaitan dengan keilmuan, kurikulum, metode belajar, dan aspek-aspek lain yang dibutuhkan untuk pengembangan jurusan masing-masing.
“Setelah seminar, mereka diminta membuat laporan dan kemudian dievaluasi. Ini ajang mengem-bangkan kompetensi para dosen,” tutur Dadang.
Untuk mendukung penerapan metode belajar SCL, Fakultas Sastra juga melakukan pengembangan atau peningkatan kemampuan para dosen, merekrut dosen-dosen dari luar rumpun ilmu bahasa, dan meningkatkan infra-strustur fakultas. Infrastruktur yang telah direncanakan, membuat museum naskah, gedung pertunjukan yang representatif, dan membuat pusat inkubator bisnis.
Dalam pelaksanaan metode balajar SCL, Dadang melihat ada semacam resistensi dari mahasiswa. Namun dia tetap optimis akan metode belajar yang meningkatkan kreativitas mahasiswa ini. Pendapat serupa dikemukakan oleh Pembantu Dekan I Fakultas Sastra, Reiza D. Dienaputra, M.Hum. Menurutnya, mahasiswa tampak lebih senang kalau terlibat dalam proses belajar.
Menurut dosen senior Jurusan Sejarah itu, SCL bukan lantas menjadi legalisasi bagi dosen untuk tidak hadir mengajar. Dia menyindir sikap ini dengan CBSA (Curuk Budak Sina Anteng). Kehadiran dosen dalam metode belajar SCL mutlak. Harapannya, melalui metode belajar ini dosen hadir sebagai fasilitator di dalam kelas.
Akan tetapi apa kata mahasiswa? Nelly Siswaty, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Unpad rupanya lebih menyukai metode belajar TCL (Teacher Centered Learning) daripada SCL.
“TCL menyenangkan karena kita bisa ‘mengorek’ dosen-dosen yang pintar, jadi aku ikut pintar juga, daripada harus menggali sendiri. Aku tidak suka mencari sendiri. Kalau berpusat pada dosen, aku dapat menangkap apa yang dia katakan, tapi kalau belajar sendiri, yang kutahu hanya yang aku bisa,” ujar Nelly argumentatif.
Temannya satu jurusan, Taruli, mengungkap-kan, metode belajar di fakultasnya masih cenderung berpusat pada dosen.
“Dosennya satu arah. Kebanyakan dosennya mengajar, memberi ceramah. Nilai saya memang meningkat dengan metode TCL karena tinggal nyatet dari dosen dan waktu mau ujian dipelajari. Tapi kalau untuk minat belajar ‘ga memengaruhi, karena tinggal mendengar dosen, dan kita jadi malas,” ungkapnya.
Lalu apa pula kata dosen? Nenden Indrayati Anggraeni, M.S., dosen Jurusan Kimia, FMIPA Unpad, ternyata menggunakan kedua metode itu (TCL dan SCL). Di FK Unpad dia pernah mengikuti pelatihan metode belajar yang diterapkan di sana yang berpusat pada mahasiswa. Di PTBS (Program Terpadu Basic Science) metode belajar yang dipakai berpusat pada dosen dengan metode satu arah, namun ada tutorial.
“Metode yang manapun sebenarnya tidak ada kendala. Namun kalau memang mahasiswa sudah tidak suka dengan suatu mata kuliah, maka akan tidak lancar. Tetapi kalau mahasiswanya senang, maka akan lancar,” ujar Nenden.
Menurutnya, metode belajar yang berpusat pada mahasiswa lebih dapat memicu mahasiswa aktif dalam belajar, sedangkan metode belajar yang satu arah cenderung membuat mahasiswa mengantuk.
“Semuanya bergantung kepada kontrak belajar yang kita sepakati di awal perkuliahan,” katanya.
Putri Ianne Barus, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad mengungakpan, di jurusannya tidak ada dosen yang sepenuhnya memakai satu metode belajar.
“Jurnalistik tidak lepas dari banyak tugas. Jadi kalau dosen menerangkan sesuatu, pasti juga akan ada tugas yang diberikan. Selalu ada kesempatan mahasiswa untuk menggali lagi. Dosen di Jurnalistik tidak ada yang mengajar TCL banget,” katanya. Putri sendiri lebih menyukai metode belajar yang berpusat pada dosen.
“Tapi mahasiswa juga sebenarnya ‘ngga boleh pasif banget. Jadi, ya, dari dosen ‘kan kita tahu banyak hal, tapi jangan inggih-inggih wae. Jadi kita harus skeptis, kalau dosen ngomong apa, sebaiknya mahasiswa memastikan itu benar atau salah. Kalau salah ‘kan jadi ada bahan diskusi di kelas. Jadi bisa nanya lagi ke dosen itu,” jelasnya.
Menurut mahasiswa angkatan 2005 ini, bila betul FK dan FKG telah menerapkan metode belajar SCL dan PBL, dan ternyata berhasil, itu karena kedua fakultas itu berada dalam ranah ilmu pasti (eksakta). Jadi, segala sesuatunya memang sudah pasti, sedangkan di fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora belum tentu bisa demikian. Dalam ilmu sosial dan humaniora, aneka pendapat banyak orang penting dan mesti didengarkan. Jadi, mahasiswa tetap sangat membutuhkan arahan dalam porsi yang besar dari para dosen, katanya.
sumber : http://www.lppm.unpad.ac.id