Oleh : Cucu Lisnawati
Perilaku serta budi pekerti dari para pelajar atau remaja saat ini sangatlah memprihatinkan, tingkah laku dari seorang siswa kini sudah jarang mencerminkan sebagai seorang pelajar. Diantara mereka cenderung bertutur kata yang kurang baik, terkadang mereka bertingkah laku tidak sopan dan tidak lagi patuh terhadap orang tua maupun terhadap gurunya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kondusif tidaknya pendidikan budi pekerti yang mereka dapatkan, baik dari lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Keluarga sebagai lingkungan pertama tentu saja memiliki factor yang penting dalam membentuk pola perilaku seorang anak. Dalam hal ini diantaranya melalui perhatian, kasih sayang serta penerapan budi pekerti yang baik dari orang tua terhadap anaknya. Terlepas dari itu peran sekolah sebagai wahana dalam penyampaian pengajaran dan pendidikan turut mempengaruhi pula tingkat perkembangan budi pekerti seorang anak.
Namun pengajaran budi pekerti di sekolah-sekolah pada saat ini belum diberikan secara mandiri, dalam arti masih terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Mata pelajaran yang dimaksud adalah Pendidikan Agama ataupun Pendidikan Pancasila, namun pada umumnya para pendidik jarang sekali menyentuh mengenai pendidikan budi pekertinya, karena pendidikan budi pekerti dianggap sebagai pemberian ceramah-ceramah saja. Hal ini menggambarkan ada kesalahfahaman dalam memahami konsep budi pekerti.
Peranan Guru sebagai pentransfer ilmu sangatlah penting, seorang guru tidak hanya memberikan pendidikan itu dalam bentuk materi-materi saja, tetapi lebih dari itu harus dapat menyentuh sisi tauladannya. Sebab perilaku seorang gurulah yang pertama-tama dilihat siswanya. Seorang guru selain memberikan pendidikan yang bersifat materi pelajaran juga harus memberikan contoh yang baik dalam sosialisasi kehidupan. Bagaimana murid akan berperilaku sesuai dengan yang diajarkan oleh gurunya, jika gurunya sendiri tidak pernah memberikan contoh yang baik terhadap anak didiknya.
Melihat pada pola atau sistem pengajaran budi pekerti tersebut di atas, maka pemahaman siswa mengenai konsep budi pekerti itu sangatlah sedikit, karena pengetahuan yang mereka terima mengenai pendidikan budi pekerti ini sangatlah terbatas. Tidak dapat dielakan lagi terhadap maraknya kasus tawuran antara pelajar,penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan bebas, ugal-ugalan dan tindak kriminal lainnya yang makin meningkat. Keadaan ini sangatlah memprihatinkan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang beragama, beradab dan bebudaya. Jika ditinjau lebih luas lagi yaitu merebaknya kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di berbagai lembaga, baik lembga pemerintah maupun swasta, krisis kepercayaan dan sebagainya. Hal ini membuktikan tentang rendahnya moralitas masyarakat yang menunjukan kurang terserapnya pendidikan budi pekerti.
Sekolah sebagai lembaga formal diharapkan mampu mentransfer berbagai disiplin ilmu, budi pekerti dan keahlian. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat diharapkan selain dapat menciptakan manusia yang menguasai iptek juga manusia yang memiliki imtak, yaitu manusia yang unggul secara intelektualitas, sosialitas dan keimanan.
Konsep mengenai budi pekerti itu sendiri sangatlah mendalam, dimana budi pekerti dari tiap-tiap orang itu selain menunjukan pengaruh-pengaruh dasar pembawaannya juga sebagian besar dipengaruhi oleh berbagai pengalaman. Dimulai dari pengalaman yang didapat dari dalam lingkungan keluarga maupun pengalaman-pengalaman yang didapat dari lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Ki Hajar Dewantara mencontohkan di dalam bukunya yang berjudul Pendidikan (1977:487) “Bahwa pendidikan budi pekerti bagi anak-anak kecil,bisa dicontohkan oleh seorang pendidik atau guru dengan cara menganjur-anjurkan atau memerintahkan anak-anak untuk duduk yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu anak yang lain,bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak, menolong orang lain yang perlu pertolongan dan sebagainya. Untuk anak yang sudah akhil baligh atau sudah dapat berfikir, yaitu dengan memberi kesadaran tentang berbagai kebaikan dan keburukan namun selalu atas dasar pengetahuan, kenyataan dan kebenaran. Anak-anak yang mulai dewasa dilatih untuk melaksanakan berbagai kebaikan , seperti melatih mereka untuk berpuasa, menahan hawa nafsu. Untuk yang sudah dewasa, mereka diusahakan supaya jangan bersikap kosong atau ragu-ragu, mungkin kadang-kadang terombang-ambing oleh keadaan –keadaan yang tidak mereka alami sebelumnya. Mereka harus sudah mengerti akan adanya hubungan antara tata tertib lahir dan kedamaian bathin, dan harus sudah cukup berlatih dan terbiasa untuk mengusai dirinya.”
Pelajaran mengenai pendidikan budi pekerti sebenarnya pernah diberikan disekolah-sekolah hingga tahun 1970-an. Selanjutnya pelajaran itu dihilangkan dan disisipkan dengan mata pelajaran lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Dedi Supriadi (2004:168) “Bahwa pendidikan budi pekerti baik sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun digandengkan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama dapat dikatakan telah ditinggalkan sejak diterapkannya kurikulum 1968. Selama kurun waktu tersebut, pendidikan budi pekerti masih sempat disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, PMP dan PPKn. Karena namanya juga disisipkan, maka materi budi pekerti tidak menjadi primadona dalam kurikulum pendidikan.”
Pendidikan budi pekerti pertama kali diperkenalkan dalam kurikulum 1947 sebagai salah satu dari 16 mata pelajaran SD yang berdiri sendiri dan terpisah dari Pendidikan Agama. Pada tingkat SLTP, pendidikan budi pekerti telah muncul dalam kurikulum 1962 dengan nama “Budi Pekerti” yang sekaligus merupakan salah satu dari 9 kelompok mata pelajaran yang terpisah dari mata pelajaran Agama. Namun materi pendidikan budi pekerti tidak diperlakukan sebagai suatu mata pelajaran khusus melainkan disisipkan dalam semua mata pelajaran SMP dan kegiatan sekolah. Sedangkan tingkat SLTA, pendidikan budi pekerti tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk diajarkan. Hal ini tampak dari tidak pernah tercantumnya budi pekerti dalam kurikulum SLTA, dengan asumsi bahwa ditingkat SLTA muatan pendidikan lebih banyak diarahkan pada pengembangan kemampuan akademik untuk bekal studi lanjut atau keterampilan produktif untuk hidup ditengah masyarakat.( Dedi Supriadi, 2004:162-168)
Tujuan dari pendidikan budi pekerti itu sendiri ialah membina dan membangun kejiwaan serta keadaan seorang anak, sehingga anak tidak akan terpengaruh oleh lingkungan atau pergaulan yang merugikan dan kalaupun mereka masih juga salah pilih, maka setidak-tidaknya mereka sudah dapat berfikir secara bertanggung jawab dan di dalam diri mereka sudah terbentuk suatu pundamen moral yang baik sebagaimana yang diharapkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka saya merasa tertarik untuk meneliti mengenai “ Persepsi Masyarakat Tentang Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah-sekolah”.
A. Rumusan dan Pembatasan Masalah.
Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan sebagai berikut “Bagaimana Persepsi Masyarakat Tentang Pendidikan Budi Pekerti Di Sekolah-sekolah ?“.
Pertanyaan tersebut di atas merupakan masalah yang harus diteliti, sehingga penulis melakukan penelitian yang berkenaan dengan masalah ini. Agar penelitian ini lebih terarah dan menunjukan gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah di atas perlu di batasi, melihat keterbatasan yang dimiliki penulis,baik dalam hal waktu dan pengetahuan maka pada penelitian ini penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Persepsi masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi hanya menyatakan penting atau tidaknya pendidikan budi pekerti diterapkan di sekolah-sekolah. Jika masyarakat menganggap penting, maka budi pekerti perlu atau belum merasa perlu jika diterapkan di sekolah-sekolah.
2. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tergabung dalam Civitas Akademika Universitas langlangbuana
B. Pertanyaan Penelitian.
Untuk memperoleh informasi mengenai permasalahan yang diteliti, maka diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Dari lingkungan mana masyarakat pertama kali mendapatkan pendidikan budi pekerti ?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini ?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat jika pendidikan budi pekerti diberikan hanya dalam lingkungan keluarga saja ?
4. Bagaimana tanggapan masyarakat jika pendidikan budi pekerti diberikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak ?
5. bagaimana tanggapan masyarakat jika pendidikan budi pekerti diberikan di sekolah-sekolah secara formal ?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat jika pendidikan budi pekerti diberikan melalui mata pelajaran tertentu seperti melalui Pendidikan Agama dan Pendidikan pancasila ?
7. Bagaimana tanggapan masyarakat jika pendidikan budi pekerti diberikan secara khusus melalui jam-jam tertentu seperti bidang studi yang lain ?
C. Metodologi dan Sifat Penelitian
Karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pendidikan budi pekerti , maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu metode yang memfokuskan penelitiannya pada masalah yang ada sekarang, seperti yang dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (1994 : 139) Ada sifat-sifat tertentu yang pada umumnya terdapat dalam metode deskriptif sehingga dipandang sebagai ciri, yakni bahwa metode itu :
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan masalah-masalah yang actual.
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (Karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik). Penelitian ini bersifat Kualitatif karena tidak ada pengujian statistika setiap data yang diperoleh melalui angket langsung dianalisis kemudian disimpulkan.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan.
Berangkat dari kajian utama penelitian ini berdasarkan pengolahan data dan analisis data hasil penelitian,juga akan dilengkapi dengan teori-teori yang dianggap relevan dengan permasalahan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengarahkan penulis akan berpatokan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian, sehingga dapat melahirkan kesimpulan hasil penelitian.
Hasil penelitian mengenai tanggapan masyarakat tentang pendidikan budi pekerti, pada umumnya (90,7%) mendapatkan pendidikan budi pekerti pertama kali dari lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Ngalim Purwanto M.P (1987 :148) bahwa “ Lingkungan pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, yang kedua dari lingkungan pendidikan sekolah dan ketiga dari lingkungan pendidikan masyarakat”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas jelaslah bahwa lingkungan keluarga berperan sebagai pusat pendidikan pertama dan yang terpenting dan yang meyediakan kebutuhan biologis dari seorang anak . Dalam hal ini diantaranya melalui perhatian dan kasih saying serta penerapan budi pekerti yang baik. Karena sejak timbulnya adab kemanusiaan hingga kini, lingkungan keluarga akan mempengaruhi tumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap manusia.
Selanjutnya pendidikan akan didapatkan dari lingkungan sekolah, Ki Hajar Dewantara (1977:374) mengemukakan bahwa “Pendidikan sekolah hanya disandarkan pada aturan pengajaran dengan system sekolah, dimana udara yang ada hanya udara intelektualisme, sekolah cenderung memberikan keilmuan yang bersifat rasionalitas saja sehingga tidak dipungkiri terabaikannya moralitas siswa”. Terlepas dari itu masih terdapat guru yang mengutamakan terselesaikannya target kurikulum dalam satu tahun ajaran ketimbang mengedepankan implementasinya dari sikap dan sifat siswa.
Berdasarkan uraian tersebut pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini bisa dikatakan masih kurang. Terbukti bahwa pada umumnya (93,8%) masyarakat menganggap bahwa pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini masih kurang dan belum menunjang terhadap sikap dan perilaku siswa.
Masyarakat pada umumnya (89%) menanggapi bahwa pendidikan budi pekerti sebaiknya diberikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (1977:384) bahwa “Seorang anak pada waktu berumur 3,5 tahun sampai 7 tahun belum memiliki budi pekerti yang tertentu, masih berjiwa global yang bertingkat sederhana. Oleh sebab itu dapatlah kesan-kesan dari luar mempengaruhi tabiat kanak-kanak yang menjadi pembawaannya sendiri didalam tumbuhnya jiwa anak untuk seterusnya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa dalam masa kanak-kanak mudah menerima kesan-kesan serta pengaruh-pengaruh dari luar jiwanya, kesan-kesan dan pengaruh-pengaruh tersebut masuk kedalam jiwa kanak-kanak yang sangat mempengaruhi hidup tumbuhnya untuk seterusnya, dengan anggapan bahwa bahwa jika anak tidak baik dasarnya maka pendidikan budi pekerti sangatlah perlu agar bertambah baik budi pekertinya dan kalaupun sudah baik dasarnya, pendidikan budi pekerti masih sangat perlu, karena tidak jarang anak-anak yang baik dasarnya karena pengaruh-pengaruh keadaan lingkungan yang buruk,maka bias menjadi tidak baik.
Masyarakat menanggapi bahwa pendidikan budi pekerti diberikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak, dengan anggapan bahwa masa kanak-kanak adalah masa peka, yaitu suatu masa dimana mudah menerima kesan-kesan yang akan mempengaruhi pembentukan perilaku seterusnya. Masa kanak-kanakharus sudah diberikan pendidikan budi pekerti yaitu melalui kebiasaan-kebiasaan bertingkah laku . Dalam hal ini orang tualah yang pertama-tama melatih kebiasaan-kebiasan anak dalam segala tingkah lakunya berdasarkan baik buruknya keyakinan yang dianut menurut orang tuanya.
Pendidikan budi pekerti yang diajarkan di tingkat sekolah Taman kanak-kanak yaitu hanya melalui contoh-contoh serta pembiasaan-pembiasaan seperti menganjurkan anak-anak untuk duduk yang baik, tidak mengganggu temannya yang lain , membuang sampah pada tempatnya, menolong teman yang perlu ditolong. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan di Sekolah Dasar yaitu selain melalui pembiasaan-pembiasaan,kepada mereka juga diberikan pengertian-pengertian tentang apa itu budi pekerti . Pendidikan budi pekerti di tingkat Sekolah Menengah disamping memberikan pengertian juga melatih mereka terhadap perilaku yang disengaja seperti berpuasa, menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Pengaruh hidup keluarga terus menerus dialami oleh anak-anak terutama pada masa peka atau berusia 3,5 tahun sampai dengan 7 tahun, seperti diketahui bahwa budi pekerti dari tiap-tiap orang itu selain menunjukan pengaruh dari dasar pembawaannya juga sebagian besar tergantung pada pengaruh-pengaruh dari pengalaman-pengalaman pada masa tersebut, sesuai dengan pola hidup masing-masing keluarga.
Dalam hal ini orang tua sangat berperan dalam pembentukan norma-norma serta pemberian kasih sayang melalui perhatian, namun masyarakat masih menganggap bahwa tidak setiap orang tua dapat memberikan kebutuhan akan perhatian yang cukup serta perilaku yang dapat dijadikan contoh oleh seorang anak.
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa pendidikan budi pekerti dari lingkungan keluarga saja tidak cukup. Hal ini terbukti bahwa pada umumnya (87,5%) masyarakat menganggap bahwa pendidikan budi pekerti tidak cukup diberikan di lingkungan keluarga saja, dengan anggapan tidak setiap orang tua mampu memberikan perhatian serta contoh perilaku yang baik terhadap anaknya.
Masyarakat menganggap bahwa pendidikan budi pekerti selain diberikan di lingkungan keluarga juga perlu di berikan secara formal di sekolah-sekolah. Hal tersebut terbukti bahwa sebagian besar (78,2%) masyarakat menganggap pendidikan budi pekerti perlu diberikan secara formal di sekolah-sekolah.
Masyarakat Sebagian Besar (75%) menganggap bahwa pendidikan budi pekerti tidak cukup diberikan melalui contoh perilaku saja, dengan anggapan bahwa setiap guru mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menampilkan sosok yang dapat dijadikan contoh tauladan bagi siswanya.Disamping itu pendidikan budi pekerti tidak cukup diberikan melalui mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila, dengan anggapan bahwa pendidikan budi pekerti akan menjadi salah satu sub pokok bahasan saja dari mata pelajaran tersebut sehingga tidak akan efektip dalam membangun kecerdasan moral siswa.
Selanjutnya masyarakat pada umumnya (82,3%) menganggap bahwa pendidikan budi pekerti perlu diberikan secara khusus melalui jam-jam tertentu seperti bidang studi yang lain, dengan begitu nilai yang terkandung dalam pendidikan budi pekerti itu dapat diberikan dengan waktu yang cukup, sehingga siswa lebih banyak kesempatan untuk memperoleh pengajaran mengenai pendidikan budi pekerti.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, berikut ini peneliti mencoba untuk menarik kesimpulan mengenai persepsi masyarakat terhadap pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah. Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut :
a. masyarakat berpersepsi bahwa pendidikan budi pekerti yang ada di sekolah-sekolah saat ini dianggap masih kurang menunjang. Dalam hal ini pendidikan budi pekerti masih terintegrasi dengan mata pelajaran lain.
b. Masyarakat berpersepsi bahwa pendidikan budi pekerti tidak cukup diberikan di lingkungan keluarga saja. Pendidikan budi pekerti perlu diberikan secara formal di sekolah-sekolah. Namun pendidikan budi pekerti tidak cukup hanya melalui contoh-contoh perilaku saja dan tidak cukup diberikan melalui mata pelajaran tertentu saja . Pendidikan budi pekerti perlu diberikan secara khusus melalui jam-jam tertentu seperti bidang studi yang lain.
2. Saran-Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian serta kesimpulan mengenai persepsi masyarakat terhadap pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah, maka dapat ditemukan saran-saran sebagai berikut :
a. Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik bahkan juga para guru. Hal ini bukan hanya formalisme sekolah dan bukan hanya dalam hal administrasi, tetapi juga dalam proses belajar mengajar yang cenderung sangat ketat. Disamping itu karena beban kurikulum yang sangat berat dan hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan kognitif belaka. Akibatnya hampir tidak tersisa lagi ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognitis, afeksi dan psikomotoriknya. Oleh karena itu pemerintah dianjurkan untuk mengadakan evaluasi terhadap kurikulum sekolah yang sedang berlaku saat ini.
b. Pendidikan budi pekerti bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan lingkungan social atau masyarakat. Jadi meski sekolah misalnya menyelenggarakan pendidikan budi pekerti, tetapi lingkungan keluarga atau masyarakat tidak menunjang, maka pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah akan tidak banyak artinya. Oleh karena itu keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama sudah tentu bertanggung jawab dalam perkembangan perilaku anak. Orang tua dalam hal ini harus dapat memberikan kebutuhan akan perhatian serta dapat memberikan contoh perilaku yang dapat dijadikan tauladan bagi anaknya.
F. Daftar Pustaka .
Dedi Supriadi (2004) Membangun Bangsa Melalui Pendidikan . Bandung : Remaja Rosdakarya
Ki Hajar Dewantara (1977) Pendidikan. Yogyakarta : majelis Luhur persatuan taman Siswa.
Ngalim Purwanto M.P (1987) Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis).Bandung Remaja Karya.
Suharsini Arikunto (1992) Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktis.Jakarta Rineka cipta.
Winarno Surakhmad (1994) Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung
Sumber : http://educare.e-fkipunla.net/