Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Dharma Pendidikan Kompasiana MSN Indonesia Bisnis Indonesia Kompas Republika Tempo Detiknews Media Indonesia Jawa Pos Okezone Yahoo News New York Times Times Forbes
Google Yahoo MSN
Bank Indonesia Bank Mandiri BNI BCA BRI Cimb Niaga BII
Hariyono.org Education Zone Teknologi Informasi Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Perekonomian Indonesia KTI-PTK Akuntansi Komputer Media Pend.Askeb Media Bidan Pendidik Materi Umum Kampus # # #
mandikdasmen Depdiknas Kemdiknas BSNP Kamus Bhs Indonesia BSNP # # # # #
Affiliate Marketing Info Biz # # # # # # # # #
Bisnis Online Affilite Blogs Affiliate Program Affiliate Marketing # # # # # # # # #

28 September 2010 | 8:20 AM | 0 Comments

PEMBELAJARAN METAKOGNITIF

PEMBELAJARAN METAKOGNITIF DALAM SRATEGI KOOPERATIF THINK-PAIR-SHARE DAN THINK-PAIR-SHARE+METAKOGNITIF TERHADAP KEMAMPUAN METAKOGNITIF SISWA PADA BIOLOGI DI SMA NEGERI PALANGKARAYA

Oleh:
Yula Miranda

Universitas Palangkaraya, FKIP. Jurusan pendidikan MIPA. Prodi Biologi,
Jl. Yos Sudarso Tanjung Nyahu. Palangkaraya

Abstract:
The experimental research to know the influence of learning strategy TPS and TPS+M to metacognitive ability and to know the influence of student’s upper and lower academic ability to metacog-nitive ability. The purposes of the research which uses quasi-experiment design and the Nonequivalent Control Group Design 2×2 factorial version with each factor consists of 2 levels, to know the influence of independent variable (learning strategy) and secondary independent variable (academic ability) to dependent variable (metacognitive ability). The research population is all of the X grade students of SMAN who learn biology in Palangkaraya. The research sample is determined using Cluster Random Sampling technique. The research subjects are the X grade students of SMAN 2 Pahandut in Palangkaraya City of Central Kalimantan Province. The data of research is collected using the inventory strategies metacognitive. The inventory strategies metacognitive consist of 60 statements including students’ self- planning, self-monitoring, and self-evaluation in learning biology to measure the students metacognitive ability which is completed by learning journal, Students Work Sheet (LKS), metacognitive awareness sheet, and metacognitive activities. The learning equipments prepared and developed in this research such as syllabi, RPP, students’ work sheet, biology handbook, and learn journal. The research findings show that the TPS+M learning strategy is more potential to increase students’ metacognitive ability compare TPS learning strategy. The difference upper academic ability and lower academic ability didn’t give influence significantly to metacognitive ability. It can be concluded that the TPS+M strategy is more effective to be used in Palangkaraya students’ learning to improve the metacognitive ability than TPS strategy.

Kata Kunci: Pembelajaran metakognitif, strategi kooperatif think-pair-share, strategi TPS+M, kemampuan metakognitif.

image Proses pembelajaran yang dilaksanakan berhubungan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dan disertai pembelajaran metakognitif akan memungkinkan peningkatan kesadaran siswa terhadap apa yang telah dipelajari. Hasil belajar siswa dapat dikatakan berkualitas apabila siswa secara sadar mampu mengontrol proses kognitifnya secara berkesinambungan dan berdampak pada peningkatan kemampuan metakognitif.
Pemerintah selalu memperbaharui kurikulum dengan tujuan untuk mem-perbaiki kualitas pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Pembaharuan yang telah dilakukan, di antaranya penyempurnaan Kurikulum Sekolah Menengah Atas Tahun 2004 (Depdiknas, 2003). Kurikulum 2004 disempurnakan untuk mengem-bangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam Kurikulum operasi-onal tingkat satuan pendidikan, disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan disingkat KTSP (Mulyasa, 2006:24). Pemerintah daerah di Propinsi Kalimantan Tengah juga telah berusaha untuk memperbaiki kemampuan siswa yang berhu-bungan dengan ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor serta mengembangkan kreativitas. Perbaikan kemampuan siswa dilakukan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas guru, penyiapan bahan ajar, dan mengembangkan peman-faatan lembar kerja siswa. Namun, masalah pembelajaran yang memberdayakan kemampuan metakognitif belum banyak terungkap. Proses pembelajaran dan pendidikan yang berkualitas terkait dengan kemampuan berpikir. Pembelajaran selama ini belum membelajarkan siswa memiliki kemampuan berpikir untuk menyadari apa yang telah dipelajari, memberdayakan siswa berpikir kreatif dan antusias serta termotivasi untuk mengetahui objek belajarnya melalui pelibatan aktif belajar, baik memecahkan masalah nyata dalam kehidupannya, maupun merangsang siswa untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang ada di ling-kungan sekitarnya (Winarno, Susilo, dan Soebagio, 2000). Peningkatan kemam-puan metakognitif secara signifikan merupakan efek yang dihasilkan dari pem-belajaran, baik pada diri siswa, lembaga maupun masyarakat, karena itu perlu dipertimbangkan strategi pembelajaran yang berpotensi untuk mengungkap kemampuan metakognitif.
Menurut Costa (1985) dalam proses pembelajaran ada 3 pengajaran berpi-kir, yakni teaching of thinking, teaching for thinking, dan teaching about thinking. Pada teaching of thinking. Pada kenyataan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak mungkin melepaskan 3 aspek itu, antara teaching of thinking, teaching for think-ing, dan teaching about thinking terkait sangat erat, bahkan tak dapat dipisahkan (Sanjaya, 2006:106). Jika ketiga aspek itu dilaksanakan dalam pembelajaran di sekolah, maka dapat memfasilitasi kemampuan berpikir siswa, di antaranya untuk mempelajari biologi. Kemampuan berpikir yang diperlukan pada era globalisasi adalah terkait kemampuan berpikir tentang proses berpikir yang melibatkan berpi-kir tingkat tinggi dan dikenal dengan metakognisi (Phillips, Tanpa tahun). Eggen dan Kauchak (1996: 54) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi termasuk ber-pikir kreatif dan berpikir kritis, yang mencakup kombinasi antara pemahaman mendalam terhadap topik-topik khusus, kecakapan menggunakan proses kognitif dasar secara efektif, pemahaman dan kontrol terhadap proses kognitif dasar (metakognisi), maupun sikap dan pembawaan.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diberdayakan dengan member-dayakan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait strategi maupun pelatihan metakognitif dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif (Green, Mc Donald, O’Donnell, dan Dansereau, 1992). Pada pembela-jaran kooperatif dapat dikembangkan keterampilan metakognitif karena pada pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi, di antara anggota kelompok (Abdur-rahman, 1999:178). Komunikasi di antara anggota kelompok kooperatif terjadi dengan baik karena adanya keterampilan mental, adanya aturan kelompok, adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Pentingnya belajar biologi, selain mengkaji pengetahuan tentang makhluk hidup, juga usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap, keterampilan berpikir, serta meningkatkan keterampilan untuk menjalankan metode penyelidik-an ilmiah dalam bidang biologi melalui langkah-langkah metode ilmiah. Biologi dapat diterapkan dalam berbagai bidang (Sujadi dan Laila, 2004: 60). Pentingnya biologi dibelajarkan kepada siswa, karena biologi merupakan sarana untuk membantu menjawab berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan alam kehidupan dan memberikan bekal bagi perkembangan hidup seseorang. Biologi adalah dasar bagi bidang kedokteran, pertanian, dan upaya memelihara kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan karakteristik biologi dan fenomena-fenomena pembelajaran di sekolah selama ini, ada banyak penyebab masalah proses dan hasil belajar siswa dalam belajar biologi yang dirasa kurang optimal; salah satunya diduga berkaitan erat dengan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir yang penting bagi siswa adalah kemampuan metakognitif, karena siswa mengetahui belajar secara sadar. Sebaliknya, apabila siswa belajar dengan terpaksa agar dapat lulus ujian dengan baik, hal ini berbeda maknanya bagi siswa. Siswa dapat mencapai kondisi belajar secara sadar, menurut Vygotsky ditekankan pada sosiokultural dalam pembelajaran, yakni interaksi sosial melalui dialog dan komunikasi verbal. Pembelajaran yang menekankan pada sosiokultural adalah pembelajaran koope-ratif. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa (Smith,1984 dalam Corebima, 2006b: 20).
Pembelajaran kooperatif berkontribusi pada hasil belajar dan membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit, serta dapat menerima prestasi me-nonjol dalam tugas pembelajaran akademik. Pembelajaran kooperatif ini ber-manfaat bagi siswa untuk menjadi tutor sebaya bagi siswa lain yang berkemam-puan rendah, untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa yang berkemam-puan tinggi, untuk menumbuhkan kemampuan kerjasama dan kemampuan metakognitif. Kemampuan yang diperoleh siswa sebagai hasil pembelajaran kooperatif akan tumbuh dan berkembang karena adanya kesadaran dan kontrol terhadap aktivitas kognitif. Kesadaran dan kontrol terhadap aktivitas kognitif dikenal sebagai metakognisi, sedangkan cara siswa meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir dan pembelajaran yang berlangsung dikenal sebagai strategi metakognitif.
Hasil penelitian para ahli psikologi kognitif tentang perbedaan antara siswa yang kurang pandai dan lebih pandai menunjukan bahwa kemampuan metakognitif adalah sangat penting (Djiwandono, 2006: 167). Kemampuan meta-kognitif siswa dapat diberdayakan melalui strategi-strategi pembelajaran di sekolah. Kemampuan metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa sendiri dengan menggunakan strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat berkembang. Mengidentifikasi ide-ide penting dengan menggarisbawahi atau menemukan kata kunci pada bahan bacaan, kemudian merangkai menjadi satu kalimat dan menulis kembali pada jurnal belajar, meramalkan hasil, memutuskan bagaimana menggunakan waktu dan mengulang informasi merupakan keterampil-an berpikir tingkat tinggi. Strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif seseorang dan caranya berpikir tentang bagaimana informasi diproses dikenal sebagai strategi metakognitif (Arends, 1998). Strategi metakognitif adalah strategi yang digunakan siswa atau pebelajar dalam kegiatan pembelajarannya (Corebima, 2006a: 10).
Menurut Dirkes (1998) strategi metakognitif dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses berpikir. Arends (1997) mengemukakan pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan sese-orang tentang pembelajaran diri sendiri atau kemampuan untuk menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan benar. Berdasarkan makna strategi metakognitif dasar dan pengetahuan metakognitif (Dirkes, 1998; Arends, 1997), bahwa pembelajaran metakognitif bagi siswa adalah penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, siswa akan terampil dalam strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif akan lebih cepat menjadi anak mandiri (Kompas, 12 Pebruari 2006).
Butler & Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992), Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan kete-rampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat meta-kognisi bagi guru dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa. Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi. Howard (2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komu-nikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a). Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakog-nitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi. Sikap siswa lebih positif terhadap pelajaran sejarah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi metakognitif dan strategi pemecahan masalah secara signifikan dapat meningkatkan prestasi akademik, kesadaran metakognitif, dan pengetahuan metakognitif (Ponnusamy, Tanpa tahun: 133). Menurut Abdurrah-man (1999:179) prestasi akademik banyak terkait dengan kemampuan memori dan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif merupakan pemaham-an proses kognisinya sendiri dan kemampuan memantau strategi yang digunakan saat mempelajari suatu tugas.
Menurut Abdurrahman (1999:174) gaya kognitif berkaitan dengan cara seseorang menghadapi tugas kognitif, terutama dalam pemecahan masalah. Gaya kognitif impulsif-reflektif terkait dengan penggunaan waktu yang digunakan siswa untuk menjawab persoalan dan jumlah kesalahan yang dibuat. Siswa yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi banyak membuat kesalahan, sedangkan siswa reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan. Gaya kognitif siswa yang impulsif menjadi penyebab timbulnya problema yang bukan hanya akademik tetapi juga perilaku. Solusi bagi siswa yang impulsif perlu memperoleh latihan untuk merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang hati-hati.
Menurut Goleman (2007: 414) sistem pemahaman impulsif yang berpengaruh besar, adalah pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat dari pada pikiran rasional, langsung melompat tanpa mempertimbangkan sekejap pun apa yang dilakukannya. Kecepatan itu, menge-sampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir atau tindakan pikiran rasional. Bagian lain, Goleman (2007: 11) menyatakan bahwa tindakan pikiran rasional dan tindakan pikiran emosional secara fundamental berbeda, tetapi bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati, dan merefleksi. Tetapi, bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman lain yang impulsif dan berpengaruh besar, yakni pikiran emosional. Biasanya, ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberikan masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan-masukan emosi tersebut. Namun, pikiran emosional dan pikiran rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi-mandiri; masing-masing mencer-minkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait, di dalam otak.
Perkembangan kognitif didasarkan pada suatu fungsi, berkenaan dengan organisasi, dan adaptasi (Dahar, 1988: 183-188). Di lain pihak, teori belajar Vy-gotsky menekankan pada integrasi antara aspek internal dan eksternal pada ling-kungan sosial belajar. Interaksi sosial dalam pembelajaran, terutama melalui dialog dan komunikasi verbal. Vygotsky yakin pembelajaran terjadi apabila siswa belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, tetapi terjangkau oleh sis-wa. Siswa mampu memecahkan masalah secara mandiri dan di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama teman sejawat yang lebih mampu (Ratu-manan, 2004: 46). Teori Vygotsky memiliki implikasi menginginkan seting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antarsiswa.
Pembelajaran kerjasama untuk memecahkan masalah dalam belajar siswa, dapat dilakukan dengan strategi kooperatif Think-Pair-Share (TPS). Strategi koo-peratif Think-Pair-Share dapat dijelaskan Think berarti berpikir, Pair berarti berpasangan, dan Share berarti berbagi. Pembelajaran kooperatif dengan TPS mengikuti langkah-langkah berpikir terhadap masalah yang diajukan oleh guru, berpasangan untuk berdiskusi tentang hasil pemikiran terhadap masalah yang diajukan oleh guru, dan berbagi hasil diskusi untuk seluruh siswa di kelas. Hasil diskusi dari pemecahan masalah yang diajukan oleh guru merupakan konsep yang dikonstruksi oleh siswa. Jika konsep yang dikonstruksi oleh siswa dari hasil diskusi kelompok sudah benar, maka akan menjadi milik siswa. Corebima dan Idrus (2006: 497) melaporkan bahwa siswa yang dibelajarkan dengan pola PBMP dalam TPS mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan hasil belajar kognitif siswa SMP. Lie (2002: 56) mengungkapkan pembelajaran dengan strategi kooperatif TPS, sebagai struktur kegiatan pembelajaran gotong royong dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain. Lebih lanjut, Lie (2002: 56) mengungkapkan strategi ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia siswa. Kooperatif TPS memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak dalam berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, Rachmadiarti, Nur, & Ismono, 2000). Hasil penelitian menunjukkan strategi pembelajaran kooperatif TPS mampu meningkat-kan hasil belajar sebesar 34,9% dan lebih baik bila dibandingkan hasil belajar dengan pembelajaran konvensional (Agustini, 2005). Hasil penelitian lainnya, bahwa ada perbedaan signifikan antara hasil pembelajaran yang menggunakan TPS dengan yang tidak menggunakan TPS (Rahayu, 2005). Pemahaman konsep siswa pada strategi pembelajaran PBMP dalam TPS ternyata 27,4% lebih tinggi dibandingkan siswa pada strategi pembelajaran konvensional (Corebima & Idrus, 2006).
Selain itu, pembelajaran kooperatif mendorong atau memberdayakan perkembangan pembelajaran metakognitif (Green, Tanpa tahun). Scripted Cooperation, suatu pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh O’Donnell dan Dansereau (1992 dalam Corebima, 2006a) juga terbukti berguna pada proses metakognisi. Costa dan O’Leary (1992 dalam Corebima, 2006a: 17) mengidentifi-kasi beberapa kajian yang memperlihatkan bahwa siswa dapat mempelajari keterampilan metakognitif lebih baik, bilamana bekerja dalam kelompok-kelompok kooperatif. Lebih lanjut, dikemukakan mengenai peran pembelajaran kooperatif yang menggunakan pendekatan kontroversi konstruktif dapat men-dorong atau memberdayakan metakognisi siswa. Jika TPS dalam pembelajaran dilaksanakan bersama metakognitif, maka peluang peningkatan proses dan hasil belajar siswa lebih besar, karena disertai perencanaan diri, pemantauan diri, dan evaluasi diri saat proses pembelajaran berlangsung. Namun, siswa harus selalu memperhatikan tujuan belajar yang akan dicapai, waktu penyelesaian tugas, pengetahuan awal yang diperlukan untuk penyelesaian tugas, dan strategi-strategi kognitif yang digunakan dalam mencapai tujuan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena itu unggul untuk dikembangkan dalam proses belajar mengajar di sekolah (Ghiffard, 2008). Hasil penelitian lain, menunjukkan bahwa pemahaman konsep siswa yang mengalami pembelajaran berpola PBMP dalam strategi kooperatif TPS berbeda signifikan atau lebih tinggi dibanding kelas konvensional. Kemampuan berpikir siswa yang mengalami pembelajaran berpola PBMP dalam strategi kooperatif TPS, maupun kemampuan berpikir siswa kelas konvensional tidak berbeda signifikan (Corebima & Idrus, 2006). Berdasarkan karakteristik masing-masing strategi pembelajaran, pembela-jaran dengan strategi kooperatif TPS bersama metakognisi dan strategi kooperatif TPS, berpeluang untuk memberdayakan kemampuan metakognitif. Namun, peneliti terdahulu belum mengungkap strategi-strategi mana yang berpotensi secara efektif mampu memberdayakan kemampuan metakognitif, sehingga berdampak pada kualitas proses dan hasil belajar.

METODE
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh strategi pembelajaran TPS+M dan TPS terhadap kemampuan metakognitif, juga pengaruh kemampuan akademik siswa atas dan bawah terhadap kemampuan metakognitif. Metode penelitian, melalui rancangan penelitian quasi eksperimen menggunakan Nonequivalent Control Group Design versi faktorial 2 X 2 dengan tiap-tiap faktor terdiri atas 2 taraf, yakni untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (strategi pembelajaran) dan variabel bebas sekunder (kemampuan akademik) terhadap variabel terikat (kemampuan metakognitif). Populasi penelitian adalah semua siswa kelas X SMA Negeri Palangkaraya. Setiap kelas rata-rata memiliki 30 siswa. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik Cluster Random Sampling. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMAN 2 Pahandut Kota Palangkaraya Propinsi Kalimantan Tengah.
Data penelitian dikumpulkan dengan inventori strategi metakognitif. Inventori strategi metakognitif terdiri dari 60 butir pernyataan yang meliputi perencanaan diri, pemantauan diri, dan evaluasi diri siswa dalam belajar biologi yang dilengkapi dengan jurnal belajar, LKS, lembar kesadaran metakognitif, dan aktivitas metakognitif. Perangkat pembelajaran yang disediakan dan dikembang-kan dalam penelitian ini berupa silabus, RPP, LKS, materi pelajaran biologi, dan jurnal belajar.

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji anakova pengaruh strategi pembelajaran terhadap kemampuan metakognitif diperoleh F hitung sebesar 3,23 dengan angka signifikan 0,01 karena itu, angka signifikan lebih kecil alpha 0,05 maka Ho tidak diterima. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan diterima yang berarti terdapat pengaruh signifikan strategi pembelajaran kooperatif TPS dan Konvensional terhadap kemampuan metakognitif. Hasil perbandingan rerata terkoreksi antarstrategi pembelajaran terhadap kemampuan metakognitif menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif TPS+M berbeda nyata dengan strategi lainnya. Hal ini berarti bahwa strategi pembelajaran TPS+M lebih berpotensi meningkatkan kemampuan metakognitif bila dibandingkan strategi pembelajaran lainnya. Jika dinyatakan dalam persen, maka kelas dengan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memiliki kemampuan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional.

PEMBAHASAN
Hasil analisis kovarian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran koope-ratif TPS+M secara signifikan memberikan pengaruh yang lebih berpotensi dalam meningkatkan kemampuan metakognitif, dibandingkan dengan strategi pem-belajaran kooperatif TPS dan Konvensional. Temuan ini mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan persoalan dengan berlatih berpikir merencanakan bagaimana masalah itu dapat diselesaikan bersama teman lain, kemudian berpikir apakah persoalan itu sudah dapat diselesaikan dengan baik, selanjutnya berpikir apakah tujuan belajarnya telah tercapai, ternyata berdampak pada tindakan siswa lebih kepada tindakan pikiran rasional ketimbang tindakan pikiran emosional.
Kelas dengan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M memiliki kemam-puan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa strategi TPS+M ada kecocokan dengan karakteristik siswa di Kalimantan Tengah. Faktor-faktor karakteristik siswa ini, meskipun masih memerlukan penelitian lebih cermat, diduga ikut mempengaruhi kesesuaian penerapan strategi TPS+M lebih tinggi daripada strategi lainnya pada siswa di Kalimantan Tengah. Temuan ini tidak sejalan dengan beberapa pendapat guru dalam Lie (2002: 27) bahwa melaksanakan sistem kerjasama di dalam kelas akan terjadi kekacauan di dalam kelas dan siswa tidak belajar jika ditempatkan dalam kelompok, karena ada siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam kelompok. Namun, temuan penelitian ini mendukung pernyataan Narang (2007) bahwa masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan jiwa toleransi yang tinggi serta kooperatif. Demikian pula temuan dalam penlitian ini mendukung pendapat Lie (2002) bahwa hal-hal yang dikuatirkan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar pada kenyataannya tidak terjadi, karena guru yang membelajarkan siswa dengan strartegi TPS+M benar-benar telah menerapkan prosedur pembelajaran kooperatif strategi TPS+M yang telah dirancang dalam RPP dan LKS. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil catatan pengamat selama pembelajaran berlansung dalam satu semester yang mengatakan bahwa tampak ada peningkatan kesadaran dan kontrol diri siswa dalam melakukan proses pembelajaran biologi.
Proses berpikir yang mengutamakan tindakan pikiran rasional telah dilaku-kan siswa dalam strategi TPS+M, baik secara individu maupun dengan pasangan-nya, bahkan pada saat berbagi kepada kelas melalui presentasi hasil tugas belajar dalam LKS, siswa tetap melakukan pemantauan dan penilaian terhadap hasil dis-kusi mereka. Hal ini terjadi, karena siswa menyadari bahwa belajar merupakan kebutuhan bagi mereka dalam mempelajari biologi. Temuan ini didukung oleh penilaian guru terhadap siswa menggunakan Rating Scale Kesadaran Metakognitif terungkap bahwa kesadaran metakognitif siswa yang belajar dengan strategi koo-peratif TPS+M sudah dapat digunakan secara teratur untuk mengatur proses berpikir dan belajarnya sendiri, serta mampu menggunakannya dengan lancar. Selain itu, hasil refleksi guru pada dirinya dalam butir 3 bahwa guru telah mene-kankan pengembangan belajar agar siswa aktif sesuai yang diharapkan dalam langkah strategi kooperatif TPS+M menyadarkan siswa akan metakognitif dengan lebih memusatkan perhatian pada kegiatan pembelajaran selama kegiatan pem-belajaran berlangsung. Temuan dalam penelitian ini juga mendukung teori yang menyatakan kemampuan metakognitif dapat diperbaiki agar siswa lebih berfungsi efektif apabila dibelajarkan dengan strategi pembelajaran yang memberikan siswa kesempatan mengatur dirinya dalam belajar (Blake, Spence, dan Sheila, 1990). Temuan penelitian ini searah dengan hasil penelitian (Corebima & Idrus, 2005; Habibah, 2008: 52) bahwa strategi pembelajaran PBMP+TPS berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan keterampilan metakognitif, yang menunjukkan bahwa keterampilan metakognitif siswa kelas eksperimen lebih tinggi 9,16% daripada siswa kelas kontrol.
Menurut Goleman (2007:11), tindakan pikiran rasional dan tindakan pikiran emosional secara fundamental berbeda, tetapi bersifat saling mempe-ngaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah model pemahaman yang lazimnya disadari, lebih menonjol kesadarannya, bijak-sana, mampu bertindak hati-hati, dan merefleksi. Tetapi, bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman yang lain impulsif dan berpengaruh besar, yakni pikiran emosional. Lebih lanjut, dikemukakan ciri utama pikiran emosional, yakni respons yang cepat tetapi ceroboh. Pikiran emosional jauh lebih cepat daripada pikiran rasional. Kecepatan itu, mengesampingkan pikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir (Goleman, 2007: 414). Karena adanya 2 tindakan pikiran berbeda yang saling mempengaruhi kehidupan mental manusia, maka kooperatif TPS+M sebagai salah satu strategi pembelajaran yang lebih berpotensi memfasilitasi siswa untuk lebih memanfaatkan pikiran rasional dalam bertindak.
Temuan ini menunjukkan kelas dengan strategi TPS+M memiliki kemam-puan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS. Hal ini, karena strategi kooperatif TPS+M yang merupakan kombinasi dari TPS dan metakognitif dapat berperan sebagai sarana bagi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kecocokan antara strategi kooperatif TPS+M yang digunakan dalam pembelajaran biologi bagi siswa di Kalimantan Tengah, karena strategi kooperatif TPS+M lebih menekankan pada pembiasaan berpikir secara langsung pada siswa melalui aktivitas belajar dengan berpasangan, baik dalam merencanakan aktivitas yang dilakukan maupun memantau dan mengevaluasi hasil kinerja yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah dan melatih keterampilan sosial melalui presentasi kelas. Selain itu, karakteristik siswa di Kalimantan Tengah cenderung aktif jika ada stimulus yang cocok untuk membangkitkan potensinya dan moti-vasi instrinsik yang telah dimiliki dalam mencapai tujuan belajarnya. Temuan ini, mendukung pernyataan Corebima (2007) bahwa strategi metakognitif adalah strategi yang digunakan siswa atau pebelajar dalam kegiatan pembelajarannya. Selain itu, TPS+M memfasilitasi siswa untuk bekerjasama, yang cocok dengan karakter siswa yang mudah menerima pihak lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini mendukung pernyataan Narang (2007) bahwa masyarakat Dayak Kaliman-tan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan jiwa toleransi yang tinggi serta koo-peratif. Lebih lanjut dikatakan, karakter ini tercermin dalam falsafah ”Huma Be-tang”, dimana dalam sebuah rumah besar adat tinggal bersama sejumlah keluarga dengan segala perbedaannya: status, sosial, ekonomi maupun agama. Karena itu, pembelajaran metakognitif melalui TPS+M sangat cocok untuk Kalimatan Tengah yang memiliki keanekaragaman anak suku. Livingston (1997) mengemukakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pem-belajaran berhasil, dan menegaskan bahwa aktivitas-aktivitas seperti merencana-kan bagaimana mendekati sebuah tugas belajar tertentu, memantau pemahaman, dan menilai perkembangan menuju penyelesaian sebuah tugas memiliki sifat metakognitif. Strategi metakognitif adalah suatu cara dalam pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran dan memberdayakan keterampilan berpikir atas bimbing-an guru melalui proses yang digunakan siswa dalam mengamati belajar diri sendiri, mengontrol aktivitas kognitif, dan untuk memastikan bahwa sebuah tujuan kognitif terpenuhi.
Teori strategi metakognitif dari Flavell dan Brown bahwa ada 3 komponen yang digunakan, yakni perencanaan diri (self-planning), pemantauan diri (self-monitoring), dan penilaian diri (self-evaluation). Siswa yang mampu merencanakan perkiraan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, mengorganisasi materi, dan mengambil langkah yang tepat dalam belajar adalah siswa yang sadar akan kemampuannya. Menurut Rivers (2001), Schraw & Dennison (1994) siswa yang terampil melakukan penilaian terhadap diri sendiri adalah siswa yang sadar akan kemampuannya. Peter (2000) berpendapat bahwa keterampilan metakognisi memungkinkan siswa berkembang sebagai pebelajar mandiri, karena siswa di dorong menjadi penilai atas pemikiran dan pembelajarannya sendiri. Keterampilan metakognisi diperlukan siswa untuk memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998).
Strategi kooperatif TPS+M membantu pengelolaan belajar pada perenca-naan, pemantauan aktivitas kognitif, dan mengevaluasi hasilnya. Hal ini sejalan dengan (Peirce, 2004: 3) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup perenca-naan diri pada tujuan, pemantauan diri, dan evaluasi diri selama proses berpikir dan menulis sendiri tentang apa yang dipikirkan. Lebih lanjut, dikemukakan keti-ka siswa memantau belajar mereka, maka siswa ini menjadi sadar masalah-masa-lah potensial dalam belajar. Strategi belajar metakognitif yang digunakan siswa, yakni membaca naskah materi, menemukan kata kunci, menulis satu kalimat de-ngan kata-kata sendiri dari apa yang dipelajari pada jurnal belajar dan LKS, de-ngan membelajarkan strategi belajar demikian, siswa dapat di dorong pemaham-annya. Hasil penelitian ini, senada dengan hasil beberapa penelitian yang dikemu-kakan oleh Degeng (1989) bahwa tugas membuat ringkasan dari bahan yang di-baca menunjukkan adanya peningkatan perolehan hasil belajar pada siswa. Siswa dapat berpikir tentang proses berpikirnya (Livingston, 1997; Arends, 1998; Peter, 2000) dan menerapkan strategi belajar khusus untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit (Pressley, 1990). Implikasi hasil penelitian ini dapat mening-katkan kemampuan metakognitif siswa yang berguna bagi siswa mempelajari biologi sehingga hasil belajarnya meningkat.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Strategi pembelajaran kooperatif TPS+M secara signifikan lebih berpo-tensi meningkatkan kemampuan metakognitif dibanding strategi pembelajaran lainnya. TPS+M memiliki kemampuan metakognitif 8,94% lebih tinggi daripada TPS dan 7,82% lebih tinggi daripada Konvensional. Karena itu, strategi TPS+M efektif digunakan membelajarkan siswa di Kalimantan Tengah dalam meningkatkan kemampuan metakognitif dibanding strategi lainnya. Hal ini terkait sekali dengan karakteristik strategi TPS+M yang cocok dengan karakteristik siswa di Kalimantan Tengah. Faktor-faktor karakteristik siswa ini, meskipun masih memerlukan penelitian lebih cermat, diduga ikut mempengaruhi kesesuaian penerapan strategi TPS+M lebih baik daripada strategi lainnya pada siswa di Kalimantan Tengah. Selain itu, juga diduga ikut berpengaruh adalah kesesuaian strategi TPS+M dengan karakteristik materi pembelajaran.

Saran
Guru yang mengembangkan kemampuan metakognitif siswa sebaiknya menggunakan strategi pembelajaran kooperatif TPS+M dengan menyertai persyaratan sebelum, saat, dan setelah kegiatan pembelajaran sebagai berikut: 1) Guru memberikan pengarahan mengenai pentingnya belajar metakognitif bagi siswa sekarang dan masa mendatang, 2) Guru sebagai teladan bagi siswa membiasakan diri untuk selalu membuat perencanaan diri, monitoring diri, dan evaluasi diri sebelum, saat, dan setelah pembelajaran berlangsung, dan 3) Guru membangun kejujuran, disiplin diri, tanggungjawab dan kerjasama siswa melalui tugas-tugas yang dilakukan siswa dengan memanfaatkan karakteristik yang telah dimiliki siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw Hill Companies, Inc.

Arends, R. I. 1998. Learning to Teach. New York: Mc Grow Hill. Inc.

Corebima, A. D. 2006a. Metakognisi: Suatu Ringkasan Kajian. Makalah disajikan dalam Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Corebima, A. D. 2006b. Pembelajaran Biologi yang Memberdayakan Kemampuan Berpikir Siswa. Makalah disajikan dalam Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Corebima, A. D. & Idrus, A. A. 2006a. Pemberdayaan Dan Pengukuran Kemam-puan Berpikir Pada Pembelajaran Biologi. Makalah disajikan dalam International Conference On Measurement And Evaluation In Education, School of Educational Studies Universiti Sains Malaysia Penang, Malaysia, 13-15 February.

Corebima, A. D. & Idrus, A. A. 2005b. Pengaruh Pembelajaran berpola PBMP (TEQ) terhadap Kemampuan Berpikir dan Pemahaman Konsep pada Pembelajaran IPA Biologi di Beberapa SMPN Kota dan Kabupaten Malang Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang. Email: durancorebima@yahoo.com.

Costa, A. L. 1985. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

Degeng, N. S. 2000. Materi Pelatihan Pekerti. Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang.

Depdiknas, 2003. Kurikulum 2004 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Biologi. Jakarta: Depdiknas.
Dimyati & Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Dirkes, M. A. 1998. Selfdirected Thingking In Curriculum Roeper Review, 11 (2), 92-94.

Djiwandono, S. E. W., 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.

Eggen, P. D. & Kauhack, D. P. 1996. Strategies for Teachers: Teaching Content and Thingking Skills. Boston: Allyn and Bacon.

Flavell & Cindy. 1976. Metacognition, (Online), (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=metacognisi&btnG.Telusuri+Google&meta= , diakses 5 Desember 2005).

Freeman, J. T. & Cohen, M. S. Tanpa Tahun. Training Metacognitive Skills for Situation Assessment. Cognitive Technologies, Inc. 4200 Lorcom Lane Arlington, Virginia 22207 301-948-4022, (Online), (Email cti@access.digex.net, diakses 11 Maret 2006).

Green, N. Tanpa tahun. What The Research Says about Cooperative Learning, (Online), (norms@rogers.com, diakses 5 Desember 2006).

Green, R. 2002. Better Thinking Better Learning: An Introduction To Cognitive Education, (Online), (http:/curriculum.pgwc.gov.za/curr dev/cur home/better think/index.htm, diakses 5 Desember 2006)

Goleman, D., 2007. Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting dari pada IQ. Terjemahan oleh Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Herman, J. L., 1997. Large-Scala Assessment in Support of School Reform: Lessons in the Search for Alternative Measures. Los Angeles: National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing (CRESST) University of California.

Hollingworth, R. W., & Mcloughlin, C. 2001. Developing Science Student’s Metacognitive Problem Solving Skills. Journal of Educational Technology. Australian, 17(1), 50-63.

Howard, J. B. 2004. Metacognitive Inquiry. School of Education Elon University, (Online), diakses 11 Maret 2006.

Ibrahim, M. 2005. Strategi Pembelajaran Inovatif untuk Pembelajaran Fisika. Makalah. Disampaikan pada Symposium Fisika Regional Kalimantan. Ibrahim, M., & Nur, M. 2001. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.

Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., Nur M & Ismono, 2000. Pembelajaran Kooperatif. Unessa-University Press.

Imel, S. 2002. Metacognitive Skills for Adult Learning: Trend and Issues Alert no. 39, diakses 11 Maret 2006.

Jacobs, G. M., Lee, G. S. & Jessica Ball, 1996. Learning Cooperative Learning via Cooperative Learning: A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education on Cooperative Learning. Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

John Dewey. Pengalaman dan Pendidikan. Alih Bahasa oleh John de Santo 2008. Jogjakarta: Kepel Press.

Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. A Sage Publications company Thousand Oaks.
Kayashima, M. & Inaba, A. Tanpa Tahun. The Model of Metacognitive Skill and How to Facilitate Development of the Skill, (Online), (kayasima@lit.tamagawa.ac.jp, diakses 11 Maret 2006).

Kuiper, R. 2002. Enhancing Metacognition through the Reflective Use of Sel-Regulated Learning Strategies. Journal of Continuiting Education in Nursing 33, no: 278-87.

Kung, R. L., Danielsson, A. & Linder, C., 2005. Metacognition in the Student Laboratory: Is Increased Metacognition Necessarily Better?. EARLI Symposium Coming to Know the University Culture of Learning in Science and Engineering, August 2005. Sweden: Fysiska Institutionen, Uppsala Universitet, Uppsala, S 75121.
Lawson, A. E., 2000. The Generality of Hypothetico-Deductive Reasoning: Making Scientific Thinking Explicit. The American Biology Teacher. 62(7). P. 482-495.

Lie, A. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning Di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Livingston, J.A. 1997. Metacognition: An Overview, (Online), (http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm), diakses 11 Maret 2006.

McDonald, S. C., Anju, R. Formenting Metacognitive Skills Through Cooperative Learning in a Scientific Concept-Learning Taks using Hypermedia. Educational Technology Unit The Office of Biomedical Research Education and Training School of Medicine, Vanderbilt University and The Educational Technology Departement, Chiangmai University, Thailand. Instructional Design and Technology Unit, School of Medicine, UCLA, (Online), diakses 11 Maret 2006.

Mittlefehldt, S. & Grotzer, T. 2003. Using Metacognition to Facilitate the Transfer of Causal Models in Learning Density and Pressure. Presented at the National Association of Research in Science Teaching (NARST) Conference Philadelphia, PA, March 23-26, 2003. Harvard University of Education 124 Mt. Auburn Street, 5th Floor Cambridge, MA 02138, (Online) at http://pzweb.harvard.edu/Research/UCProject.htm or send us an email at Sarah_Mittlefehldt@PZ.Harvard.Edu.

Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

National Research Council, 2002. Inquiry and The National Science Education Standards. Washington, D. C. National Academy Press.

National Research Council, 2001. Classroom Assessment and The National Science Education Standards. Washington D.C. National Academy Press.
Narang, A. T., 2007. Profil Propinsi Kalimantan Tengah, (Online), (http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/agustin-teras-narang/mti/mti-36-08.shtml, diakses 23 Agustus 2008.

Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.

Nur, M. 2000. Strategi-Strategi Belajar. Surabaya: University Press.
Nuryani, R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Penerbit Universi-tas Negeri Malang.

Ponnusamy, R. Tanpa tahun. The Impact of Metacognition And Problem Solving Strategies Among Low-Achievers In History, (Online), diakses 6 Oktober 2007.

Peirce, W. 2004. Metacognition: Study Strategies, Monitoring, and Motivation. A Greatly Expanded Text Version of a workshop Presented November 17, 2004, at Prince George’s Community College. (Online), Diakses, 5 Desember 2006.

Peters, M. 2000. Does Constructivist Epistemology Have a Place in Nurse Education. Journal of Nursing Education 39, no. 4: 166-170.

Phillips, J. A., Tanpa Tahun. Metakognisi. Malaysia: Faculty of Education, Arts & Social Sciences Open University Malaysia, (Online), (e-mail: johnarul@oum.edu.my . website: http://www.oum.edu.my , diakses
5 Desember 2006).

Pressley, M., Tanpa tahun. Metacognition in Literacy Learning: Then, Now, and in the Future. Michigan State University,(Online), (http://www.msularc.org/IsraelBlockChapter.pdf, diakses 13 Mei 2006).

Ratumanan, T. G, 2004. Belajar dan Pembelajaran. Edisi Ke-2. Surabaya: Unessa University Press.

Rivers, W. Summer . 2001. Autonomy at All Cosis. An Ethnography of Metacognitive Self-Assessment and Self-Management among Experienced Language Leaners. Moderns Language Journal 86, no 2: 279-290.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Schraw, G. 1998. Promoting General Metacognitive Awareness Instructional Science. 26, no 1-2: 13-125.

Schraw, G. & Dennison, R. S. 1994. Assessing Metacognitive Awareness.
Contemporary Educational Psycology 19 no 4. 460-475.

Shavelson, R.J. & Ruiz-Primo, M. A., 1998, On the Assessment of Science Achievement Conceptual Underpinnings for the Design of Performance Assessment: Report of Year 2 Activities. Los Angeles: Center for the Study of Evaluation National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing & Graduate School of Education 7 Information Studies. California: University of California.

Shimamura, A. P., 2000. Toward a Cognitive Neuroscience of Metacognition. Consciousness and Cognition 9, p.313-323. doi:10.1006/ccog.2000.0450, available online at, (Online), (http://www.idealibrary.com on). Departement of Psychology (1650), University of California, Berkeley, Berkeley, California 94720 (E-mail: aps@socrates.berkeley.edu, diakses 5 Desember 2006).

Slameto, 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin, E. R. 2000, Educational Psychology, Theory and Practice. 6th Ed. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.

Slavin, E. R. 1995. Cooperative Learning. 2th Ed. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.

Slavin, E. R. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh Nurulita. Bandung: Nusa Media.

Sudjadi, B. & Laila, S. 2004. Biologi: Sains dalam Kehidupan. Surabaya: Yudhistira.

Sugiarso. 2004. Strategi Pembelajaran Kognitivistik: Kajian Teoritik dan Temuan Empirik. Surabaya: Reksa Budaya.

Susan, E., Israel, Kathryn, L.,Bauserman, Block, C. C. Tanpa Tahun. Metacognitve Assessment Strategies, (Online), (http://www.ctnet/rcwt.consortium, diakses 11 Maret 2006).

Susantini, E. 2004. Memperbaiki Kualitas Proses Belajar Genetika melalui Strategi Metakognitif dalam Pembelajaran Kooperatif pada Siswa SMU. Disertasi tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Susilo, H. 2007. Pengembangan Kemampuan Berpikir dan Assessmen dalam Strategi Kooperatif. Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengembangan Asesmen Autentik dan Kemampuan Berpikir serta Implementasinya dalam Pembelajaran Kooperatif. Universitas Muhammadiyah. Malang. 29Januari.

Supramono. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) Salah Satu Alternatif dalam Pembelajaran Biologi. Makalah disampaikan pada Pelatihan Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-guru Biologi SMA, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.

Tuckman, B. W., 1999. Conductiong Educational Research. 2th Ed. San Diego, New York, Chicago, Atlanta, Washington, D.C, London, Sydney, Toronto: Harcout Brace Jovanonich, Publishers.

 

Didapat dari : http://www.ilmupendidikan.net/

NB: Jika anda suka artikel ini, silakan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link ini! Terimakasih.
 
Copyright © 2010 - All right reserved by Education Zone | Template design by Herdiansyah Hamzah | Published by h4r1
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome, flock and opera.