Oleh: Usman Mulbar *)
Abstrak Metakognisi adalah kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Sedangkan kesadaran berpikir adalah kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Metakognisi memiliki dua komponen, yaitu: (1) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan (2) keterampilan metakognitif (metakognitive skills). Pengetahuan metakognitif berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional. Sedangkan keterampilan metakognitif berkaitan dengan keterampilan perencanaan, keterampilan prediksi, keterampilan monitoring, dan keterampilan evaluasi.
Kata Kunci: Metakognisi dan menyelesaikan masalah
A. Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Karena itu, untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Menyadari pentingnya penguasaan matematika, maka dalam Undang-Undang RI No. 20 Th. 2003 Tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Soedjadi (2000) menyatakan bahwa wujud dari mata pelajaran matematika di pendidikan dasar dan menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan kepentingan untuk menguasai dan memanfaatkan teknologi di masa depan. Karena itu, mata pelajaran matematika yang diberikan di pendidikan dasar dan menengah juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut, merupakan kompetensi yang diperlukan oleh siswa agar dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan psikologi kognitif, maka berkembang pula cara guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Saat ini, guru dalam mengevaluasi pencapaian hasil belajar hanya memberikan penekanan pada tujuan kognitif tanpa memperhatikan dimensi proses kognitif, khususnya pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Akibatnya upaya-upaya untuk memperkenalkan metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika kepada siswa sangat kurang atau bahkan cenderung diabaikan.
Oleh karena itu, salah satu aspek dimensi pengetahuan dan keterampilan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, khususnya dalam pembelajaran matematika adalah aspek metakognisi. Livingston (1997) menyatakan bahwa:
Metacognition refers to higher order thinking which involves active control over the cognitive processes engaged in learning. Activities such as planning how to approach a given learning task, monitoring comprehension, and evaluating progress toward the completion of a task are metacognitive in nature.
Schoenfeld (1992) mengemukakan secara lebih spesifik bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a) keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan tentang proses berpikir, dan (c) kesadaran-diri (regulasi-diri). Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan untuk menyelesaikan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk jalan/cara untuk menyelesaikan masalah matematika. Pengetahuan tentang proses berpikir menyangkut seberapa akurat seseorang dalam menyatakan proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran-diri atau regulasi-diri menyangkut keakuratan seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang harus dilakukannya ketika menyelesaikan masalah matematika, dan seberapa akurat seseorang menggunakan input dari pengamatannya untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas menyelesaikan masalah.
O’Neil & Brown (1997) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sedang Anderson & Kathwohl (2001) menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Karena itu dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedang strategi metakognisi merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka seseorang dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya.
Keiichi (2000) dalam penelitiannya tentang “Metakognisi Dalam Pendidikan Matematika” menghasilkan beberapa temuan, yakni: (1) Metakognisi memainkan peranan penting dalam menyelesaikan masalah; (b) Siswa lebih terampil memecahkan masalah jika mereka memiliki pengetahuan metakognisi; (c) Dalam kerangka kerja menyelesaikan masalah, guru sering menekankan strategi khusus untuk memecahkan masalah dan kurang memperhatikan ciri penting aktivitas menyelesaikan masalah lainnya; (d) Guru mengungkapkan secara mengesankan beberapa pencapaian lebih pada tingkatan menengah di sekolah dasar di mana hal-hal tersebut penting dalam penalaran matematika dan strategi problem posing.
Bertolak dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang menjadi lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, maka metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika akan menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini.
B. PEMBAHASAN
1. Metakognisi
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama didalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.
Wellman (1985) menyatakan bahwa:
Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thinking process which involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a “person’s cognition about cognition”
Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri. Selain itu, metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya (Livingston, 1997; Schoenfeld, 1992; dan Sukarnan, 2005). Dengan demikian, aktivitas kognitif seseorang seperti perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu merupakan metakognisi secara alami (Livingston, 1997).
Flavell & Brown (Veenman, 2006) menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang dalam proses belajarnya. Sedangkan Moore (2004) menyatakan bahwa:
Metacognition refers to the understanding of knowledge, an understanding that can be reflected in either effective use or overt description of the knowledge in question. It is clear in the research data that any definition should describe two distinct yet compensatory competencies: 1) awareness about what it is that is known (knowledge of cognition) and 2) how to regulate the system effectively (regulation of cognition). The research literature reflects on overall acceptance of “knowledge of cognition.” It includes declarative, procedural, and conditional knowledge, and “regulation of cognition” includes planning, prediction, monitoring, testing, revising, checking, and evaluating activities.
Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya akan mencerminkan penggunaannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasi-kognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-kognisi memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang regulasi-kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring (pemantauan), pengujian, perbaikan (revisi), pengecekan (pemeriksaan), dan evaluasi.
Baker & Brown, Gagne (Mohamad Nur, 2000) mengemukakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedang Flavell (Livington, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh. Huitt (1997) bahwa terdapat dua komponen yang termasuk dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b) regulasi bagaimana kita belajar.
Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen pada penyelesaian masalah matematika dalam pembelajaran, yaitu: (a) pengetahuan metakognitif, (b) keterampilan metakognitif, dan (c) kepercayaan metakognitif. Namun belakangan ini, perbedaan paling umum dalam metakognisi adalah memisahkan pengetahuan metakonitif dari keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif mengacu kepada pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional seseorang pada penyelesaian masalah (Brown & DeLoache, 1978; Veenman, 2006). Sedangkan keterampilan metakognitif mengacu kepada keterampilan prediksi (prediction skills), keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan monitroring (monitoring skills), dan keterampilan evaluasi (evaluation skills).
Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas sangat beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan kesadaran berpikir seseorang adalah kesadaran seseorang tentang apa yang diketahui dan apa yang akan dilakukan. Karena itu, metakognisi dalam tulisan ini dibagi menjadi dua komponen, yaitu: pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Pengetahuan metakognitif berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional. Keterampilan metakognitif berkaitan dengan keterampilan perencanaan, keterampilan prediksi, keterampilan monitoring, dan keterampilan evaluasi.
2. Menyelesaikan masalah matematika
Para ahli matematika sulit untuk sepakat tentang konsep mereka tentang menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalah pada siswa mempunyai tujuan mulai dari remediasi terhadap pemikiran kritis sampai kepada pengembangan kreativitas. Halmos (Schoenfeld, 1992) menyatakan bahwa siswa seharusnya terlibat di dalam menyelesaikan masalah nyata. Lebih lanjut Halmos menyatakan:
Saya percaya bahwa masalah adalah jantung matematika, dan saya berharap bahwa sebagai seorang guru, di dalam kelas, di dalam seminar dan di dalarn buku atau artikel yang kita tulis, kita akan menekankan hal tersebut lebih dan lebih, dan bahwa kita melatih siswa kita untuk menjadi seorang yang rnempunyai sikap terhadap rnasalah yang lebih baik dan menjadi pemecah masalah yang lebih baik daripada kita.(Hamos, (Schoenfeld, 1992))
Stanic dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengemukakan tiga hal pokok tentang menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan penggunaannya:
Pertama, menyelesaikan masalah sebagai konteks, sedang masalah dijadikan alat untuk mencapai tujuan kurikulum. Stanic & Kilpatrick mengidentifikasikan lima peran yang dimainkan oleh masalah tersebu, yaitu:
a. Sebagai dasar pembenaran untuk pengajaran matematika. Secara historis, menyelesaikan masalah sebagian telah dimasukkan di dalam kurikulum matematika, karena masalah memberikan pembenaran pengajaran matematika secara keseluruhan. Diduga, paling tidak satu masalah yang berhubungan dengan pengalaman dunia nyata dimasukkan di dalam kurikulum untuk meyakinkan siswa dan guru akan nilai matematika.
b. Memberikan motivasi khusus pada topik mata pelajaran. Masalah sering digunakan untuk memperkenalkan topik dengan pengertian yang implisit atau eksplisit bahwa jika anda pernah mempelajari pelajaran berikutnya, anda akan dapat memecahkan masalah yang berasal dari jenis tersebut.
c. Sebagai rekreasi. Masalah rekreasi dimaksudkan untuk memotivasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa matematika bisa menyenangkan dan keterampilan yang telah dikuasai siswa bisa menjadi suatu hiburan.
d. Sebagai alat mengembangkan keterampilan baru. Masalah yang terurut dengan baik dapat memperkenalkan kepada siswa suatu materi baru dan menyediakan suasana untuk mendiskusikan teknik materi.
e. Sebagai praktik. Latihan Milne’s, dan kebanyakan tugas matematika sekolah, masuk dalam katagori ini. Kepada siswa diperlihatkan teknik dan kemudian diberikan masalah untuk mempraktekkan hingga mereka menguasai teknik tersebut.
Berdasarkan kelima peran tersebut, maka masalah lebih dipandang sebagai sesuatu yang sesungguhnya biasa dan digunakan sebagai alat untuk masalah dengan satu tujuan, seperti yang ditampilkan di atas. Karena itu menyelesaikan masalah tidak dapat dilihat sebagai satu tujuan tersendiri, tetapi menyelesaikan masalah dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Karena itu menyelesaikan masalah adalah menyelesaikan tugas yang telah dipresentasikan.
Kedua, menyelesaikan masalah sebagai keterampilan. Thorndike (Schoenfeld, 1992) menghilangkan keraguan tentang latihan mental, karena menganggap bahwa mempelajari keterampilan bernalar di dalam domain matematika akan menghasilkan peningkatan kinerja kemampuan bernalar secara umum pada domain yang lain. Oleh karena itu, jika menyelesaikan masalah matematis dipandang penting, maka itu bukan karena hal tersebut menciptakan seorang yang dapat memecahkan masalah dengan lebih baik secara umum, tetapi karena memecahkan masalah matematis memiliki nilai tersendiri. Meskipun terdapat pertentangan, namun sebagian besar pengembangan dan implementasi kurikulum yang disebutkan tersebut sebagai menyelesaikan masalah pada tahun 1980-an berada pada jenis ini.
Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengungkapkan bahwa menyelesaikan masalah sering dipandang sebagai satu dari sejumlah keterampilan yang diajarkan dalam kurikulum sekolah. Berdasarkan pandangan ini, maka menyelesaikan masalah tidak perlu dipandang sebagai satu keterampiIan, tetapi ada suatu keterampilan yang jelas... Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa menempatkan menyelesaikan masalah dalam hirarki keterampilan yang diperoleh siswa mengarahkan pada konsekwensi tertentu bagi peran menyelesaikan masalah dalam kurikulum. Selain itu beliau mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara memecahkan masalah rutin dan masalah tidak rutin. Menyelesaikan masalah tidak rutin dicirikan sebagai tingkat keterampilan lebih tinggi yang harus diperoleh setelah keterampilan menyelesaikan masalah rutin (yang pada gilirannya akan diperoleh siswa setelah mempelajari konsep dan keterampilan dasar matematis).
Meskipun interpretasi menyelesaikan masalah yang kedua dipandang sebagai suatu keterampilan, namun penjelasan dasar tentang asumsi pedagogis dan epistemologis sama dengan yang dikemukan oleh Milne. Karena itu, teknik menyelesaikan masalah (seperti menggambar diagram, mencari pola jika n = 1, 2, 3, ...) diajarkan sebagai materi matapelajaran, dengan masalah praktis yang ditugaskan sedemikian sehingga teknik tersebut dapat dikuasai. Setelah memperoleh pengajaran jenis menyelesaikan masalah ini (seringkali terpisah dari kurikulum), kumpulan keterampilan matematis siswa dianggap sudah memuat keterampilan menyelesaikan masalah serta fakta dan prosedur yang telah dipelajari. Dengan demikian perluasan isi pengetahuan dianggap mengandung pemahaman dan pengetahuan matematika siswa.
Ketiga, diidentifikasi bahwa pemacahan masalah sebagai seni. Pandangan tersebut, sangat berbeda dengan dua padangan sebelumnya yang mengandung arti bahwa menyelesaikan masalah nyata (yaitu mengerjakan masalah sebagai satu jenis yang membingunkan) adalah inti matematika, jika bukan matematika itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang menyelesaikan masalah yang dikemukakan di atas, maka dirumuskan lima fase menyelesaikan masalah matematika, yaitu: (1) Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah; (2) Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah; (3) Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah; (4) Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah; dan (5) Fase V: Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah.
3. Metakognisi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, procedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif siswa berkaitan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu. Oleh karena itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting dalam menyelesaikan masalah, khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien.
Berikut disajikan kaitan antara fase menyelesaikan masalah matematika dan aspek metakognisi yang dilibatkan untuk setiap fase adalah sebagai berikut.
Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif dan keterampilan perencanaan.
Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan perencanaan dan keterampilan prediksi.
Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring.
Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional, dan keterampilan monitoring.
Fase V: Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah
Aspek metakognisi yang dilibatkan dalam fase tersebut, yaitu: keterampilan monitoring dan keterampilan evaluasi.
C. PENUTUP
Berdasarkan pendahuluan dan pembahasan, maka dikemukakan penutup sebagai kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Metakognisi siswa melibatkan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya. Pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan deklaratif, procedural, dan kondisional, sedangkan aktivitas kognitif siswa berkaitan perencanaan, prediksi, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu. Oleh karena itu, metakognisi siswa memiliki peranan penting dalam menyelesaikan masalah, khususnya dalam mengatur dan mengontrol aktivitas kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah matematika menjadi lebih efektif dan efisien.
b. Tiga hal pokok dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan penggunaannya: (1) Menyelesaikan masalah sebagai konteks, sedang masalah dijadikan alat untuk mencapai tujuan kurikulum; (2) Menyelesaikan masalah sebagai keterampilan; (3) Menyelesaikan masalah sebagai seni.
c. Lima fase menyelesaikan masalah matematika, yaitu: (1) Fase I: Memfokuskan perhatian terhadap masalah; (2) Fase II: Membuat suatu keputusan tentang bagaimana menyelesaikan masalah; (3) Fase III: Melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan masalah; (4) Fase IV: Menginterprestasikan hasil dan merumuskan jawaban terhadap masalah; dan (5) Fase V: Melakukan evaluasi terhadap penyelesaian masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R., (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Brown, A. L., & DeLoache, J. S. (1978). Skills, plans, and self-regulation. In R. S. Siegel (Ed.), Children_s thinking: What develops? (pp. 3–35). Hillsdale, N.J.: Erlbaum.
Desoete, A., (2001). Off-Line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities. Faculteit Psychologies en Pedagogische Wetenschappen. Universiteit-Gent. https:/archive.ugent.be/retrieve/917/ 801001505476.pdf
Flavell, J. H., (1976). Metacognitive aspects of problem solving. In L. B. Resnick (Ed.), The nature of intelligence. Hillsdale, NJ: Erlbaum. http://tip.psychology.org/meta.html
Huitt, William G., (1997). Metacognition. Available: http://tip.psychology.org/-meta.html.
Keiichi, Shigematsu., (2000). Metacognition in Mathematics Education. Mathematics Education in Japan. Japan: JSME, July 2000.
Livingston, J., (1997). Metacognition: An overview. Retrieved Sept. 23, 2005 from http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm
Mohamad Nur, (2000). Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Pusat Pendidikan Sains dan Matematika Sekolah. Unesa - Surabaya.
Moore, K.C., (2004). Constructivism & Metacognition. http://www.tier1. performance.com /Articles/constructivism.pdf
O’Neil Jr, H.F. & Brown, R.S. (1997). Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: CRESST-CSE University of California.
Shoenfeld, A.H., (1992). Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf.
Soedjadi, R., (2000). Nuansa Kurikulum Matematika Sekolah Di Indonesia. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)
Sukarnan., (2005). Psikologi Kognitif. Srikandi - Surabaya
Veenman, M.V.J., (2006). Metacognition and learning: conceptual and methodological considerations. Recieved: 08 December 2005/Accepted: 08 December 2005/Published online: 08 March 2006 # Springer Science + Business Media, Inc. 2006. www://springerlink.com
Wellman, H., (1985). The Origins of Metacognition. In D.L.Forrest-Pressley, G.E.MacKinnon, and T.G. Waller (eds.), Metacognition, Cognition, and Human Performance, volume 1 – Theoretical Perspectives, chapter 1. Academic Press, Inc.
*) Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNM Makassar