oleh : MURNI RAMLI
Selama seminggu saya harus mendampingi rombongan kepsek dari Jateng berkunjung ke sekolah-sekolah di Jepang sebaga translator.
Saya tidak sempat menulis banyak di blog ini dan banyak komentar yang terabaikan, mohon maaf sebesarnya.
Kedatangan kepsek yang sebagian besar adalah kepsek Rintisan SMA/SMP bertaraf internasional bertujuan untuk menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school.
Saya pribadi berpendapat bahwa sister school bukan milik RSBI atau SBI semata, tetapi sekolah dengan embel-embel nama apapun bebas untuk melakukannya.
Saya mendapat kesan bahwa Kepsek yang datang memang agak terbebani dengan keharusan untuk membentuk sister school tersebut sebagai salah satu syarat RSBI.
Salah satu konsep RSBI yaitu mengacu kepada standar negara-negara OECD, termasuk Jepang dianggap oleh sebagian pemikir Jepang sebagai konsep yang tidak jelas. Apalagi dengan keinginan untuk mendapatkan akreditasi dari badan khusus di Jepang tentang status keinternasioanalan RSBI tersebut mendapat tanggapan yang sangat kritis karena tidak ada Badan Akreditasi Sekolah di Jepang atau lembaga akreditasi-akrediatasian di level pendidikan dasar dan menengah, sebagaimana yg dikehendaki oleh pengelola RSBI. Pun tidak ada kurikulum universitas semacam Cambridge yang bisa diadopsi dan dibeli hak patennya lalu lulusan RSBI diakui setara dengan lulusan-lulusan sekolah yang menerapkan sistem Cambridge.
Jepang sama sekali tidak mengenal istilah sekolah internasional maupun nasional. Menurut pandangan pakar pendidikan di sini, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak yang pandai peru difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar internasional mengikuti standar negara lain.
Seorang prof Jepang menceritakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sama dengan kondisi Jepang di tahun 60an-70an, saat itu APK SD dan SMP di Jepang telah mencapai 95-97%, sementara APK SMA masih 50%. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah mendirikan sekolah unggul tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan. Yang karenanya dapat disaksikan fasilitas sekolah Jepang hampir sama dengan kualitas yang memadai proses pembelajaran.
Prof tersebut kemudian menanyakan mengapa Indonesia tidak mencoba untuk mempersiapkan pendidikan untuk semua warganya dengan kualitas yang sama seperti halnya Jepang ? Seandainya dana negara sedikit, dana itu harus dinikmati bersama oleh rakyat. Barangkali itu akan lebih baik bagi rakyat Indonesia, daripada membuat sekolah internasional.
Saya pribadi yang meneliti RSBI ini dari aspek latar belakang hukum dan penerapannya di lapang, sungguh sepakat dengan ide beliau. Dana yang disalurkan pemerintah untuk proyek ini sungguh besar semoga tidak menjadi sia-sia karena ketidakmatangan konsep yang kita punyai. Saya merasa agak sedih bahwa pada kenyataannya konsep RSBI hanya menjadi pembicaraan yang hanya dipahami oleh pembuat kebijakannya dan kepala sekolah di level pelaksana tidak memahami latar belakang pemikiran dan apa makna kata pendidikan berstandar bagi warga negara selain yang tertera di lembaran UU. Sedih sekali bahwa kepala sekolah ternyata belum diberi otonomi luas selain hanya menjadi pengikut kebijakan pusat.
Kunjungan ke sekolah-sekolah Jepang yang dilakukan oleh para kepsek mudah-mudahan menyadarkan kita bahwa sebuah sekolah yang menghasilkan lulusan yang baik di Jepang, ruang kelasnya masih berpapantuliskan papan tulis kayu,dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Bahwa setiap siswa belum mengakses internet secara bebas di sekolah, dan setiap siswa tidak dapat membawa laptop sendiri-sendiri ke sekolah dan bebas mengakses internet. Di seantero Jepang belum ada sekolah semacam ini, sebagaimana yang menjadi kriteria RSBI.
Tetapi tidak berarti bahwa pendidikan anak-anak Jepang tidak menginternasional, dan teknologi serta kecanggihan IT tidak mereka pahami dengan baik. Dengan bangganya kita memamerkan bahwa RSBI di Indonesia sudah memiliki ruang lab canggih, lab bahasa, pelajaran berbahasa pengantar berbahasa Inggris, sementara guru-guru di Jepang dan pemikir di Jepang mengernyitkan dahi, seperti apa gerangan pendidikan ala internasional itu ? Sebab fasilitas sekolah di Jepang diadakan karena memang itu dibutuhkan, dan mereka beranggapan bahwa fasilitas internet yang bebas akses tidak dibutuhkan di sekolah, maka tidak diadakan.
Saya menangkap kesan guru-guru di Jepang dan pemikir pendidikannya yang mendengarkan uraian RSBI agak sulit memahami kelogisannya.
Para pemegang kebijakan di Indonesia barangkali dapat berpikir ulang tentang konsep RSBI ini.Saya yakin bukan pendidikan mercu suar dan bukan pendidikan untuk orang berkantong tebal yang kita usung lewat program RSBI (semoga keyakinan saya benar)
Perenungan mendalam dan rasa keberpihakan kepada anak-anak yang dididik harus kita lakukan. Bahwa pendidikan itu adalah untuk anak-anak, agar mereka menjadi manusia dewasa dan berakhlak di lingkungannya, bukan pendidikan agar negara diakui oleh negara lain sebagai negara maju, atau agar diakui sebagai anggota OECD. Juga bukan barang jualan yang harus dijual mahal kepada rakyat. Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat.