Oleh : Yuyun Kusdianto, dalam cabiklunik
MENJAMURNYA rintisan sekolah berstandar internasional di berbagai kota di Tanah Air, termasuk Surakarta, sepertinya menjadi jawaban memuaskan atas minimnya sekolah yang berkualitas dan berstandar internasional. Dengan mengandalkan kurikulum yang konon dicoba-standarkan dengan kurikulum sekolah di beberapa negara maju semacam Amerika Serikat, Singapura, dan Australia, RSBI yang mencakup jejang SD sampai SMA mencoba menghadirkan empat perbedaan mendasar bila dibandingkan dengan sekolah "biasa": pengajaran dengan menggunakan bahasa Inggris, kualitas input siswa yang unggul, tenaga pengajar yang mumpuni, dan infrastruktur pembelajaran yang lebih lengkap dan canggih.
Sejatinya ada satu pertanyaan mendasar menyangkut rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yang sepertinya luput dari pengamatan banyak kalangan: apakah sebenarnya sekolah berstandar internasional itu benar-benar riil ada?
Kalau memang RSBI mengklaim berpatron pada sekolah di negara dunia pertama, semestinya kita pertama-tama perlu melihat secara detail bagaimana sebenarnya "kehidupan" sekolah di negara acuan tersebut.
Australia adalah satu contoh kasus yang perlu ditengok. Sekolah- sekolah di Australia, baik itu public school (sekolah negeri) atau private school (sekolah swasta), praktis tidak pernah menyatakan diri berstandar internasional. Semua sekolah, terutama jenjang pendidikan dasar, tidak ada embel-embel internasional di namanya. Di Canberra, tempat di mana penulis tinggal selama dua tahun, hanya ada satu sekolah yang "agak berbeda", dalam artian sekolah tersebut menyatakan diri sebagai sekolah "bilingual" di mana bahasa Perancis dijadikan bahasa pengantar di sekolah tersebut, berbarengan dengan bahasa Inggris. Namun, sekolah tersebut juga tidak pernah menyatakan dirinya berstandar internasional. Yang umum di Australia, menyangkut terminologi internasional, adalah disematkannya sebutan internasional pada siswa non-Australia, atau acap dikenal dengan international student. Jumlah siswa internasional pun relatif tidak banyak mengingat yang masuk kategori ini adalah siswa yang bersekolah dengan biaya sendiri. Termasuk dalam golongan ini adalah anak dari mahasiswa asing yang belajar di Australia tanpa skema non- Ausaid. Sedangkan anak dari mahasiswa yang mendapat beasiswa berbasis Ausaid seperti ADS/APS, ALA, dan Endeavour malah dikategorikan sebagai local student (siswa lokal).
Untuk masalah kurikulum, bobot mata pelajaran sekolah-sekolah di Australia bahkan bisa dikatakan memanjakan dan memanusiakan para murid. Kontras sekali dengan bobot kurikulum sekolah-sekolah di Indonesia yang justru malah "menyiksa" para siswa. Murid-murid taman kanak-kanak di Australia kebanyakan dibiarkan bermain-main dan bersenang-senang sepanjang hari tanpa dibebani pengajaran didaktik membaca, menulis, dan berhitung. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung yang biasanya diterapkan di akhir tahun ajaran diajarkan dengan cara interaktif, tanpa membuat siswa jenuh, bosan, terkekang, dan tertekan. Mengenai hal itu, banyak pakar pendidikan di Australia berargumentasi bahwa murid-murid TK hingga anak SD sampai tahun kedua semestinya diberi ruang yang lapang untuk bereksplorasi dengan dirinya, mengembangkan imajinasi dan kreativitas: dua hal yang bakal sangat bermanfaat bagi anak di kemudian hari. Kontras sekali dengan sistem kurikulum pendidikan dasar di negara kita yang tampaknya berpotensi mengekang imajinasi dan kreativitas murid bahkan sejak taman kanak-kanak.
Melihat fakta bahwa di negara maju seperti Australia yang tidak pernah mendeklarasikan sekolah-sekolahnya sebagai berstandar internasional dan model kurikulum pendidikan dasar di negara dunia pertama yang malah terkesan "lunak" dan moderat bagi para siswa, maka ada dua kecurigaan besar yang patut diajukan dari menjamurnya RSBI di Indonesia. Pertama, RSBI hanyalah semacam titik singgung antara "industralisasi" dunia pendidikan kita dan mentalitas baru (baca: prestise sosial) dari orangtua murid yang umumnya kaum menengah ke atas itu. Bukan rahasia umum bahwa seluruh jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari TK sampai universitas telah teracuni virus "kapitalisme", menjadikan sekolah sebagai mesin pengeruk laba pada satu sisi dan menjauhkan khitahnya dari lembaga mulia tempat tunas-tunas muda ditempa secara baik, benar, dan bermartabat pada sisi yang lain. Sekolah telah menjelma lembaga bisnis: berhitung secara rinci bagaimana lembaga dapat mencapai keuntungan maksimal.
Ironisnya, kamuflase yang dilakukan institusi pendidikan itu direspons dengan "baik" oleh para orangtua yang terobsesi akan label dan citra "unggul", "berkualitas", dan berstandar internasional: dengan satu harapan besar yang sebenarnya palsu bahwa anak-anak mereka akan menjadi berbeda dengan anak-anak lain.
Kedua, kurikulum yang diterapkan di RSBI yang konon telah distandar-internasionalkan itu malah berpotensi negatif bagi siswa dan sistem pendidikan nasional Indonesia. Dengan beban mata pelajaran yang luar biasa berat, siswa akan diakselerasikan sedemikian rupa untuk menerima beban yang mungkin di luar kemampuan mereka. Meski berdalih siswa-siswa RSBI adalah sumber daya pilihan yang telah disaring lewat uji intelektualitas (yang umumnya menggunakan tes IQ), siswa dipaksa menelan beragam pelajaran yang luar biasa berat.
Konsekuensinya, demi menghindari ketertinggalan dengan siswa- siswi lain, orangtua siswa lantas mendorong anak-anak mereka mengikuti les-les tambahan di luar jam sekolah. Tak ayal, waktu bermain dan beristirahat semakin sempit.
Sementara itu, bahasa pengantar RSBI yang umumnya berorientasi pada bahasa Inggris, cepat atau lambat, akan semakin menggerus bahasa lokal dan bahasa nasional kita, yang akan berujung pada memudarnya kepribadian dan karakter lokal dan nasional manusia Indonesia.
"Inggrisisasi" di berbagai lembaga, Siegel (1988) dan juga Guinness (1987) telah mensinyalkan akan melunturnya keberadaan bahasa Jawa ketika proses Indonesianisasi begitu gencar dilakukan dan ketakutan Siegel dan Guinness sepertinya menjadi semakin nyata pada era kekinian. Dalam skala lebih luas, eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita juga kian terancam oleh bahasa mainstream dunia. Ketidakberdayaan bahasa lokal dan "kagagapan" bahasa nasional menjadi penanda (signifier) dari ketidakmampuan sebuah bangsa mempertahankan jati dirinya. Ironisnya, salah satu faktor yang berkontribusi menggerus bahasa lokal dan nasional itu justru ada di wilayah paling strategis: dunia pendidikan.
Maka kemudian patut dipertanyakan, apakah RSBI itu sebenarnya dilatarbelakangi tujuan mulia untuk memajukan sistem pendidikan nasional kita dan turut menunjang pembangunan nasional Indonesia atau malah dipicu oleh "inferioritas" kita sebagai bangsa yang tertinggal dengan negara lain.
* Yuyun Kusdianto, Dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Sumber: Kompas Edisi Yogyakarta, Rabu, 18 Agustus 2010