Kebahagiaan autentik (authentik happines) hanya dirasakan oleh orang yang memiliki jiwa sehat. Tak ubahnya seperti tubuh sehat, jiwa sehat pun harus diraih melalui latihan, kesungguhan, dan disiplin diri.
Menarik sekali penggalan endorsement buku di atas. Mengingatkan kita untuk terus menerus berusaha merengguh kesehatan jiwa. Karena jiwa yang sehat akan menjadikan tubuh kita juga sehat. Nantinya akan meraih kebahagiaan sempurna, baik lahir maupun batin.
Nah, buku ini mencoba meneguhkan misi kesehatan autentik itu. Di dalamnya terdapat 10 langkah untuk menjadikan jiwa kita sehat dan 10 langkah yang menyebabkan jiwa kita menjadi sakit. Kita akan diajarkan untuk memaknakan langkah tersebut dalam kehidupan sehari-hari, plus mamandu kita agar mencapai tujuan yang dimaksud. Diksi materinya pun menarik, karena akrab dengan kosa kata keseharian.
Namun problemnya, sangat sulit untuk menyadari akan ‘rasa sakit’ dalam jiwa itu. Tidak seorangpun yang mau dikatakan bahwa jiwanya tidak sehat. Bahkan, pasien yang sudah nyata-nyata divonis mengalami gangguan jiwa berat pun (seperti skrizopania, psikopat, dll) tidak mau mengakui bahwa jiwanya sedang sakit (h. 35).
Karenanya, banyak sekali yang sadar ataupun tidak sadar, mengambil sikap mental dan menampilkan prilaku psikomotorik yagn dapat mengakibatkan jiwanya kurang waras. Seperti, terlalu egosentris dan tidak peduli dengan kepentingan orang lain, mau enak sendiri, dan sikap-sikap negatif lainnya.
Sebelum mengaplikasikan langkah-langkah, diperlukan upaya yang serius diiringi sikap jujur dan setia dalam mendeteksi sifat dan sikap yang ada dalam setiap diri. Apakah semuanya telah berjalan normal atau menunjukkan gejala tidak sehat jiwa?. Tanpa dimulai dengan proses itu, langkah-langkah itu menjadi tidak relevan untuk menjadikan jiwa kita sehat.
Penulis buku ini menyadari bahwa telah ada standar kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) yang berjumlah delapan. Tetapi menurutnya, dalam Islam kita bisa menemukan lebih dari itu. Berdasarkan pengamatannya, penulis buku menawarkan sepuluh langkah untuk meraih kesehatan jiwa dan sepuluh langkah lagi yang kerap menjadikan jiwa sakit.
Langkah yang melahirkan kesehatan jiwa terdiri dari (1) Membiasakan diri memilih yang benar walaupun sulit, (2) Menikmati dengan puas dan mensyukuri apa yang dimiliki, (3) Membiasakan diri untuk berbagi dan peduli, mengubah paradigma dari penerima menjadi pemberi, (4) Membiasakan diri untuk berfikir dan berzikir, (5) Membiasakan bekerjasama dan bersinergi, (6) Belajar melihat hikmah di balik musibah, (7) Membiasakan diri untuk memberi reaksi positif walaupun terhadap aksi negatif, (8) Menyebar kasih sayang, (9) Membersihkan hati dari sampah pergaulan, dan (10) Tidak marah kecuali mendidik.
Sementara langkah yang membuat jiwa sakit, terdiri dari: (1) Membiasakan diri memilih yang enak walaupun salah, (2) Menempatkan keinginan dan tuntutan di luar batas jangkauan, (3) Tidak mau berbagi dan tidak peduli, (4) Tidak suka berolah pikir dan melupakan zikir, (5) Kebiasaan one man show, (6) Memandulkan kreativitas spiritual, (7) Kebiasaan membalas aksi negatif dengan reaksi negatif yang berlebihan, (8) Kasih sayang hanya tertuju pda diri sendiri, (9) Mengumpulkan sampah pergaulan dalam hati, dan (10) Mengumbar nafsu amarah.
Langkah-langkah di atas, menurut M. Thohir dapat dipakai oleh semua lapisan masyarakat. Dia menyisir dari aplikasi kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, tempat kerja, sampai pada posisi menjadi pemimpin. Hal ini dimaksudkan bahwa problem kejiwaan tidak mengenal batas lapisan masyarakat.
Langkah-langkah yang ditawarkan buku ini sangat komprehensif. Ini terlihat dari analisis yang disanggah oleh al-Quran dan hadits, ilmu psikiatri, referensi dari WHO, organisasi profesi, dan penulis bidang kesehatan baik nasional maupun internasional.
Menariknya, langkah-langkah yang disebutkan di atas sangat mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, langkah-langkah itu dapat ditingkatkan menjadi modul-modul untuk sebuah “pelatihan kesehatan jiwa”. Sehingga, tidak saja menjadi bacaan tapi sekaligus bisa dibuat paket-paket pelatihan yang diperkaya dengan instrumentasi materi lainnya, seperti yang ada dalam modul pelatihan pada umumnya.
Meski demikian, M. Thohir mengingatkan kesiapan kita untuk memulai memperbaiki jiwa. “Sudah siapkah jiwa anda untuk memulai hidup baru dengan paradigma baru?”. Karena hidup itu untuk dinikmati walaupun tanpa atribut-atribut duniawi. Hidup yang membahagiakan, imbuhnya, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi lebih dari itu menghangatkan dan memancarkan gelombang kebahagiaan bagi yang mendaki dan berinteraksi (h. 192).
Sumber :eftindonesia.com