Oleh : SUWARDI LUBIS *)
Dunia pendidikan kita masa kini menghadapi persoalan kualitas pendidikan. Contoh yang paling sering dijadikann wacana adalah perbandingan kondisi pendidikan Indonesia dan Malaysia. Kalau dulu orang Malaysia banyak belajar ke negeri kita, sekarang justru sebaliknya orang Indonesia yang menimba ilmu ke Malaysia.
Berbagai pendapat menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Salah satu penyebabnya tidak efektifnya pendidikan, disebutkan karena tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan penyebab masalah tidak efisiennya pendidikan disebutkan sebagai mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan serta mutu pegajar.
Masalah yang terjadi ini bukan tanpa upaya mencari solusinya. Berbagai kebijakan pemerintah telah dijalankan untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik. Misalnya dengan menerapkan kompetensi pendidikan tertentu atau model pendidikan karakter. Kemudian ada kebijakan standarisasi pendidikan. Kebijakan ini ditandai dengan dibentuknya badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)
Di sisi lain, persoalan kemiskinan juga berdampak pada masalah pendidikan. Di samping tentunya persoalan-persoalan lain seperti kualitas pengajaran, sistim pendidikan dan lainnya, kesenjangan ekonomi akan melahirkan apa yang disebut social deprivation atau seperti disebutkan David Myers (1998) sebagai; perception that one is worse off relative to those with whom one compares oneself. Seseorang yang mengalami suatu kondisi buruk dan membandingkan dengan kondisi orang lain yang lebih baik, maka kondisi yang terjadi adalah lebih buruk lagi.
Inilah yang terjadi ketika anak-anak dari keluarga miskin menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya yang hidup enak dengan menikmati berbagai kemewahan. Kondisi inilah yang disebut dengan depripasi sosial itu.
Deprivasi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat individualistis seperti di daerah perkotaan. Bila relasi sosial antarwarga masyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap egosentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas.
Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi mental dan psikologis seorang peserta didik. Di bangku sekolah yang seharusnya mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal: kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal), bisa terkendala hambatan depripasi sosial itu.
Kemampuan dasar itu mestinya bisa berlangsung optimal karena sangat penting bagi proses perkembangan jenjang pendidikan anak. Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia. Namun hambatan yang terjadi akan menyebabkan seorang anak tidak akan menjadi seperti yang diharapkan.
Indikator keberhasilan
Salah satu upaya mengentaskan masalah pendidikan di Indonesia seperti disinggung di atas adalah dengan menerapkan pendidikan karakter. Upaya ini malah telah menjadi trend dan isu penting dalam sistim pendidikan kita. Upaya ini merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan karakter itu sendiri adalah suatu sistim penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) memberikan definisi pendidikan karakter: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Kemudian dijelaskan dalam buku panduan Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, bahwa sejumlah indikator keberhasilan program pendidikan karakter oleh peserta didik, di antaranya mencakup: 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja; 2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri; 3. Menunjukkan sikap percaya diri; 4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas; 5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional; 6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif; 7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif; 8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; 10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial; 11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab; 12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia; 13. Menghargai karya seni dan budaya nasional; 14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya; 15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik; 16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun; 17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; 18. Menghargai adanya perbedaan pendapat; 19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana; 20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana; 21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah; 22. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Melihat kompleksnya indikator keberhasilan pendidikan karakter ini, tentunya bukan hal yang mudah untuk mengimplementasikannya. Tapi tentu saja jika indikator keberhasilan ini benar-benar bisa tercapai maka hal tersebut adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Penutup
Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya.
*) Penulis adalah Dosen USU dan STIK-P Medan