Profile Facebook Twitter My Space Friendster Friendfeed You Tube
Dharma Pendidikan Kompasiana MSN Indonesia Bisnis Indonesia Kompas Republika Tempo Detiknews Media Indonesia Jawa Pos Okezone Yahoo News New York Times Times Forbes
Google Yahoo MSN
Bank Indonesia Bank Mandiri BNI BCA BRI Cimb Niaga BII
Hariyono.org Education Zone Teknologi Informasi Ekonomi Mikro Ekonomi Makro Perekonomian Indonesia KTI-PTK Akuntansi Komputer Media Pend.Askeb Media Bidan Pendidik Materi Umum Kampus # # #
mandikdasmen Depdiknas Kemdiknas BSNP Kamus Bhs Indonesia BSNP # # # # #
Affiliate Marketing Info Biz # # # # # # # # #
Bisnis Online Affilite Blogs Affiliate Program Affiliate Marketing # # # # # # # # #

19 September 2010 | 10:33 PM | 0 Comments

Paradigma Pengembangan Sekolah Unggulan

Vera Septi Andrini

Abstrak : Menjamurnya sekolah unggulan saat ini merupakan reaksi pemerintah atas semakin krisisnya kualitas pendidikan nasional. Hal inilah yang memicu pemerintah di beberapa daerah melahirkan sekolah unggulan di setiap kota. Sekolah unggulan tersebut nantinya mengajarkan kehidupan ramah lingkungan dengan fasilitas pendidikan lengkap. Dengan pengembangan sekolah unggulan yang fokus pada kualitas penanaman akhlak, etos belajar, kedisiplinan, dan rasa kebangsaan. Selain itu,kegiatan penelitian, karya ilmiah, dan seni mendapatkan porsi tinggi. Sekolah unggulan yang lahir belakangan, tentu berdasar pada inovasi kekinian dan sengaja dipersiapkan terhadap kebutuhan modernitas yang berkembang sangat pesat. Sebagai salah satu alternatif pendidikan kontemporer, sekolah unggulan berusaha menampilkan visi orientasi pendidikannya pada dataran realitas. Sistem pendidikannya dikelola secara profesional dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadahi. Alat-alat penunjang belajar tercukupi yang disediakan untuk anak didik.

Kata kunci : Sekolah Unggulan

A. Pendahuluan

Eksistensi pendidikan secara berlahan-lahan telah menunjukkan titik pencerahan. Meskipun kondisi bangsa belum mengalami peningkatan good goverment seperti sekarang ini tetapi pendidikan dapat berjalan sabagaimana mestinya. Anak-anak bangsa memiliki semangat untuk belajar mandiri dan diharapkan kelak nanti menjadi tokoh dan penerus pemimpin bangsa ini. Tidak hanya itu, tingkat kesadaran masyarakat mulai tergugah menyekolahkan anaknya demi masa depan mereka sendiri. Wacana menarik yang sempat menjadi bahan perbincangan oleh pakar pendidikan adalah munculnya sekolah unggulan. Sebagaimana kita lihat bahwa di beberapa kota besar telah menjamur sekolah unggulan belakangan ini.

Sekolah unggulan yang lahir belakangan, tentu berdasar pada inovasi kekinian dan sengaja dipersiapkan terhadap kebutuhan modernitas yang berkembang sangat pesat. Sebagai salah sat alternatif pendidikan kontemporer, sekolah unggulan berusaha menampilkan visi orientasi pendidikannya pada dataran realitas. Berbagai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi, pendidikan unggulan mencoba menawarkan “nilai jual”, daripada “jual nilai” yang kehilangan realitasnya. Sekolah unggulan tentu saja mengadopsi dari beberapa sistem pendidikan.

Sampai sekarang, sekolah unggulan masih tergolong langka dan tidak semua orang dapat ‘menyentuh’ model sekolah itu. Sekolah unggulan mencoba tampil beda dari yang lain. Sistem pendidikannya dikelola secara profesional dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadahi. Dari gedung sekolah sampai tempat pemondokan disediakan dengan sarana mewah. Alat-alat penunjang belajar tercukupi yang disediakan untuk anak didik.

Seperti yang banyak dikemukakan oleh pakar pendidikan bahwa model sekolah unggulan merupakan terobosan baru untuk menjembatani antara dua sisi yakni kualitas ilmu-ilmu umum dan kualitas ilmu-ilmu agama. Di tengah era global yang sedang berjalan ini, dua nilai keilmuan tersebut harus dipadukan menjadi entitas yang utuh. Keilmuan umum (modern) tanpa dilandasi oleh nilai agama akan menyeret manusia kepada jurang kehancuran atau paling tidak bisa diklaim sebagai manusia sekuler. Sebaliknya nilai agama tanpa ditopang dengan nilai keilmuan umum akan tergilas oleh orang yang memiliki iptek yang canggih. Model semacam inilah yang seharusnya diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada.

Pendidikan sudah seharusnya dijadikan sarana untuk melakukan mobilitas vertikal secara cepat. Karena itulah, upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan akses pendidikan bagi anak-anak miskin, terbelakang dan ''bodoh'' harus dilakukan oleh semua pihak, khususnya pemerintah.

clip_image002

Keberadaan sekolah unggulan di Tanah Air itu awalnya merupakan sebuah upaya untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini dari negara-negara lainnya. Sekolah unggulan dianggap mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang berujung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.

Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka sekolah-sekolah unggulan. Sekolah unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan. Setiap tahun ajaran baru sekolah-sekolah unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul. Benarkan sekolah-sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul?

Untuk mencermati krisis pendidikan yang banyak disorot masyarakat sekarang ini, kita perlu melihat kembali pembangunan sekolah unggulan dan tantangannya ke depan. Dari awal, sekolah unggulan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan melahirkan anak didik yang unggul.

Namun, sekolah unggulan ini perlu dicermati kembali, karena ada yang kurang. Kata unggul menyiratkan superioritas atas sekolah lain, sekaligus menunjukkan kesombongan intelektual yang sengaja ditanamkan lingkungan sekolah atas sekolah lain yang kurang bermutu. Di negara maju seperti di Amerika Serikat pun, untuk menunjukkan sekolah yang bermutu, tidak digunakan istilah unggulan (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential.

Dari sisi ukuran muatan unggulan, sekolah unggulan di Indonesia banyak yang tidak memenuhi persyaratan dan salah kaprah. Karena sekolah unggulan hanya diukur dari kemampuan akademis anak didik semata. Dalam konsep yang benar, sekolah unggulan dapat dimaknai sebagai sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kualitas kepandaian dan kreativitas anak didik sekaligus menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mendorong prestasi anak didik secara optimal. Dengan demikian, bukan hanya prestasi akademis yang ditonjolkan, melainkan sekaligus potensi psikis, etik, moral, religi, emosi, spirit, kreativitas, dan intelegensianya.

clip_image004

Secara definitif, sekolah unggulan merupakan sekolah yang memiliki keistimewaan atau nilai plus dibandingkan dengan sekolah lain (non-unggulan). Bila dilihat dari segi penerimaan siswanya, sekolah unggulan biasanya hanya menerima siswa dengan NEM tinggi.

Selain itu, predikat sekolah unggulan itu diukur dari segi mutu dan kualitas pendidikan, seperti prestasi para siswa ketika memperoleh hasil ujian nasional (unas). Artinya, kalau rata-rata siswa memperoleh nilai unas baik dan memuaskan, sekolah tersebut bisa "diunggulkan" atau "diandalkan", baik bagi siswa maupun masyarakat pada umumnya. Sebab, hal itu menjadi bukti bahwa kualitas dan mutu pendidikan terjamin dan bisa mengantarkan siswa pada prestasi gemilang.

B. Pembahasan

1. Sekolah Unggulan

Apa yang anda pikirkan tentang ‘sekolah unggulan’? apakah sekolah unggulan adalah  yang mencetak alumni yang berprestasi secara akademik? Sekolah dengan fasilitas mewah dan biaya yang mahal?.

Banyak persepsi yang berkembang di masyarakat kita tentang konsep sekolah unggulan. Paradigma pada umumnya adalah bahwa sekolah unggulan biasanya memerlukan uang masuk yang cukup besar, setiap tahun selalu banyak peminatnya, tingkat kelulusan yang sesuai standar nasional atau bahkan lebih, banyaknya kegiatan –kegiatan sekolah yang diselenggarakan,mulai dari ekstrakurikuler, cara belajar dan lain sebagainya. 

Sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).

Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.

Setiap tahun kita menyaksikan para orang tua sibuk mengantarkan putra-putrinya memasuki sekolah, terutama sekolah yang berstatus negeri dan favorit, mulai dari  taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Meski dengan biaya yang amat mahal tak jadi soal. Para orang tua mendambakan kelak putra-putrinya menjadi orang yang terpelajar dan berpendidikan. Bahkan setiap tahunnya terjadi peningkatan arus masuk sekolah. Besarnya arus masuk sekolah tersebut mengindikasikan adanya persaingan berebut bangku, jatah dan daya tampung, yang pada akhirnya sekolah dan perguruan tinggi kemudian menjadi sebuah institusi pendidikan yang kian elitis. Hal ini juga menjadi kekhawatiran kita tentang mutu, sebab hasil temuan penelitian C.E. Beeby (1981).
Ada dua pemandangan yang kontras pada kondisi pendidikan kita. Di satu sisi masyarakat ingin berlomba mencari pendidikan yang bermutu, pada sisi lain mereka frustrasi karena soal mahalnya biaya pendidikan. Pertanyaannya kemudian, sudah meratakah pendidikan kita? Bagaimana dengan anak-anak miskin dan terlantar? Bagaimana dengan biaya sekolah yang semakin membumbung tinggi, sehingga tidak memberikan peluang bagi keluarga miskin, sementara anak-anak mereka memiliki kemauan keras dan mampu secara kualitas untuk bersaing, bahkan lebih cemerlang dari anak-anak orang kaya. Lantas masih perlukah pendidikan seperti sekolah?
Ada kesan kuat dalam masyarakat, bahwa sekolah unggulan dan bermutu adalah sekolah orang kaya karena mahalnya biaya. Kondisi demikian ini mengancam eksistensi pendidikan kita. Oleh karenanya, sejak berkembangnya sistem sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas, fungsi pokok sekolah mulai bergeser arah. Semula sekolah didirikan sebagai lembaga yang membantu orang tua dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik anak sesuai dengan harapan bersama. Namun seiring dengan perkembangan sistem sekolah tersebut kemudian ada jarak antara sekolah dengan orang tua (masyarakat).

Di pihak sekolah juga semakin sibuk dengan upaya memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang semakin kompleks, yang menguras tenaga dan pikiran para pendidik untuk melaksanakan tuntutan kurikulum yang berlaku. Di lain pihak, orang tua, karena semakin kompleksnya tuntutan hidup yang dihadapi, lantas mereka cenderung mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Dari sini kemudian berdampak pada hubungan orang tua dengan sekolah yang semula bersifat fungsional berubah menjadi formal, pragmatis bahkan transaksional.

Di sini pula perlunya pengembangan pendidikan dalam upaya mendekatkan sekolah sebagai pusat pengembangan masyarakat (center for community development). Karena pendidikan dan nasib generasi bangsa ini tanggung jawab kita bersama (pemerintah, masyarakat dan keluarga), maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan: Pertama, pemerintah hendaknya memiliki good will dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menambah subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan; Kedua, masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja bagi kaum miskin; Ketiga, orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik), penciptaan demokratisasi, egalitarianisme dan pluralisme. Sudah saatnya semua komponen (pemerintah, orang tua dan masyarakat dari berbagai lapisan) melibatkan diri untuk mewujudkan pendidikan yang terbaik bagi generasi bangsa ini.

clip_image006

http://www.sragen-bbs.com/

Sekolah Unggulan dapat diartikan sebagai sekolah bermutu, namun dalam penerapan semua kalangan bahwa dalam kategori unggulan tersirat harapan-harapan terhadap apa yang dapat diharapkan dimiliki oleh siswa setelah keluar dari sekolah unggulan. Harapan itu tak lain adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan oleh siswa itu sendiri yaitu sejauh mana keluaran (output) sekolah itu memiliki kemampuan intelektual, moral dan keterampilan yang dapat berguna bagi masyarakat.

Untuk menyikapi semua itu, kita harus mengubah system pembelajaran yang selama ini berlaku di semua tingkat pendidikan yaitu adanya keterkungkungan siswa dana guru dalam melaksanakan PBM. Sistem yang di maksud adalah system dimana Siswa dan Guru dikejar dengan pencapaian target kurikulum dalam artian guru dituntut menyelesaikan semua materi yang ada dalam kurikulum "tanpa memperhatikan ketuntasan belajar siswa", di samping itu adanya anggapan bahwa belajar adalah berupa transformasi pengetahuan. (Transfer of knowlwdge).

Pada sisi unggulan semua system itu seharusnya tidak diterapkan agar apa yang menjadi harapan siswa, orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan kita selaku pengajar dan pendidik dapat tercapai. Mari kita sama-sama merubah semua itu dengan mengembangkan Learning How to Learn (Murphi,1992) atau belajar bagaimana belajar, artinya belajar itu tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tetapi jauh lebih penting adalah mempersiapkan siswa belajar lebih jauh dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun dari lingkungan dimana dia tumbuh guna mengembangkan potensi dan perkembangan dirinya atau dengan kata lain belajar pada hakekatnya bagaimana mengartikulasikan pengetahu an - pengetahuan siswa kedalam kenyataan hidup yang sedang dan yang akan dihadapi oleh siswa.

Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berarti tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mampu membentuk keunggulan sekolah.

Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Dalam hal mengembangkan sekolah kearah sekolah unggulan (sekolah bermutu) di samping perubahan-perubahan tersebut masih banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya : (a) Sarana dan prasarana, (b) Manajemen persekolahan, (c) Visi dan Misi sekolah, dan (d) Profesionalisme Guru dan lain-lain.

Untuk Profesionalisme bukan berarti menguasai sebagian besar pengetahuan tetapi lebih penting adalah bagaimana membuat siswa dapat belajar, guru dan siswa disederhanakan agar tidak tercipta gep, adanya perilaku guru yang membuat siswa tersisih atau terpisah dari gurunya, guru dan siswa harus terjalin komunikasi agar dalam proses pembelajaran ada keterbukaan siswa mengeritik dan mengeluarkan pendapat. Sebab bukan tidak mungkin dengan pengaruh perkembangan teknologi siswa lebih pintar dari gurunya.

Namun dalam pelaksanaannya, sebenarnya sekolah-sekolah tersebut hanya menerima input siswa yang sudah berprestasi (baca: memiliki NEM yang tinggi). Jadi sesungguhnya hanyalah sekolah dengan kumpulan anak-anak cerdas sehingga dengan memilih input yang baik otomatis hasil outputnya pun akan baik.

Sehingga beberapa pakar pendidikan mempertanyakan definisi dari Sekolah Unggulan sehingga memunculkan konsep pengertian sekolah unggulan.

Tipe Sekolah Unggulan

1. Tipe 1
Tipe ini seperti yang diuraikan di atas, dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar sekolah tersebut tidak luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan karena memilih input yang unggul, output yang dihasilkan juga unggul.

2. Tipe 2
Sekolah dengan menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus dengan SPP yang sangat tinggi. Konon, untuk sekolah dasar unggulan di Parung, Bogor uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 7 juta. Mahal? Tidak juga …. buktinya banyak orang-orang Indonesia yang sekolah di sana. Tidak mahal menurut mereka dibandingkan biaya sekolah di luar negeri, dan memang sekolah ini dibangun untuk membendung arus warga negara Indonesia yang berbondong-bondong sekolah ke luar negeri. Otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan beberapa “jurus” pola belajar dengan membawa pendekatan teori tertentu sebagai daya tariknya. Sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikannya.

3. Tipe 3
Sekolah unggul ini menekan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah tersebut (input ) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi.

Ada baiknya kita lihat definisi dari sekolah unggulan yang berkembang saat ini. Sekolah Unggulan adalah Terjemahan bebas dari “Effective School

An Effective School is a school that can, in measured student achievement terms, demonstrate the joint presence of quality and equity. Said another way, an Effective School is a school that can, in measured student achievement terms and reflective of its “learning for all” mission, demonstrate high overall levels of achievement and no gaps in the distribution of that achievement across major subsets of the student population.

Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya tersebut.

Ada beberapa faktor yang harus dicapai bila sekolah tersebut bisa dikategorikan sekolah unggul:

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Profesional

Kepala Sekolah seharusnya memiliki kemampuan pemahaman dan pemahaman yang menonjol. Dari beberapa penelitian, tidak didapati sekolah yang maju namun dengan kepala sekolah yang bermutu rendah.

2. Guru-guru yang tangguh dan profesional

Guru merupakan ujung tombak kegiatan sekolah karena berhadapan langsung dengan siswa. Guru yang profesional mampu mewujudkan harapan-harapan orang tua dan kepala sekolah dalam kegiatan sehari-hari di dalam kelas.

3. Memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas

Tujuan filosofis diwujudkan dalam bentuk Visi dan Misi seluruh kegiatan sekolah. Tidak hanya itu, visi dan misi dapat di cerna dan dilaksanakan secara bersama oleh setiap elemen sekolah.

4. Lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran

Lingkungan yang kondusif bukanlah hanya ruang kelas dengan berbagai fasilitas mewah, lingkungan tersebut bisa berada di tengah sawah, yang jelas lingkungan yang kondusif adalah yang lingkungan yang dapat memberikan dimensi pemahaman secara menyeluruh bagi siswa

5. Jaringan organisasi yang baik

Organisasi yang baik dan solid baik itu organisasi guru, orang tua akan menambah wawasan dan kemampuan tiap anggotanya untuk belajar dan terus berkembang. Serta perlu pula dialog antar organisasi tersebut, misalnya forum Orang Tua Murid dengan forum guru dalam menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru di kelas.

6. Kurikulum yang jelas

Permasalahan di Indonesia adalah kurikulum yang sentralistik dimana Diknas membuat kurikulum dan dilaksanakan secara nasional. Dengan hanya memuat 20% muatan lokal menjadikan potensi daerah dan kemampuan mengajar guru dan belajar siswa terpasung. Selain itu pola evaluasi yang juga sentralistik menjadikan daerah semakin tenggelam dalam kekayaan potensi dan budayanya. Diharapkan akan muncul sekolah unggulan dari tiap daerah karena memiliki corak dan pencapaian sesuai dengan potensinya.

7. Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai

Bila kurikulum sudah tertata rapi dan jelas, akan dapat teridentivikasi dan dapat terukur targer pencapaian pembelajaran sehingga evaluasi belajar yang diadakan mampu mempetakan kemampuan siswa.

8. Partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah.

Di sekolah unggulan dimanapun, selalu melibatkan orang tua dalam kegiatannya. Kontribusi yang paling minimal sekali adalah memberikan pengawasan secara sukarela kepada siswa pada saat istirahat. Pada proses yang intensif, orang tua dilibatkan dalam proses penyusunan kurikulum sekolah sehingga orang tua memiliki tanggung jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai pada tujuan yang telah dirumuskan. Sehingga terjalin sinkronisasi antara pola pendidikan di sekolah dengan pola pendidikan di rumah

Apa bedanya ”Unggul” dengan ”Unggulan”? Ada beberapa argumentasi berkaitan dengan penggunaan kedua kata ini. Pertama, seperti yang telah dijelaskan di atas, kata unggul dapat dimiliki oleh siapa saja. Ia bukan sebuah istilah yang diberikan, tetapi ia adalah sebuah implikasi dari kerja keras dan prestasi yang diraih. Sekolah pinggiran atau sekolah di tengah kota, semua memiliki hak. Kedua, istilah sekolah unggulan sekarang lebih sering dimaknai sebagai sekolah ”mahal”. Buktinya ada di sekolah saya yang sering dikatakan (lebih tepatnya ”menyatakan diri”) sebagai sekolah unggulan. Apakah dengan adanya predikat unggulan sekolah berhak memungut dana kepada siswa dengan nominal yang besar? Ironisnya, sekolah yang memungut dana besar ternyata tidak memiliki akuntabilitas dan transparansi yang tinggi. Ketiga, sekolah unggulan seringkali mendapatkan perhatian yang berlebih dari pemerintah. Seakan-akan sekolah unggulan adalah sebuah proyek yang akan menghasilkan keuntungan besar. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan program pada pemerataan. Ingat, masih banyak sekolah yang memerlukan sarana dan prasarana memadai, sementara standard Ujian Nasional terus meningkat setiap tahun. Belum lagi dengan tuntutan dunia kerja yang mengisyaratkan sekolah untuk membekali siswa tentang life skill dan specialty yang sangat berguna ketika siswa berkarier atau kuliah, yang berarti harus ada kurikulum yang adaptif dan responsif terhadap gejala perubahan sosial. Sekolah unggul mengisyaratkan pemerintah untuk melakukan pemerataan tersebut. Keempat, sekolah unggul juga berarti ada upaya untuk meminimalisasi biaya tinggi dalam pendidikan. Bahkan, sekolah unggul harus menyediakan akses seluas-luasnya bagi para siswa untuk mengetahui keperluan sekolah. Selain itu, birokratisasi pendidikan juga harus dihentikan. Siswa memiliki kewajiban yang harus dilakukan selama digembleng dalam institusi pendidikan, tetapi siswa juga punya hak untuk tahu. Apalagi, UU No 20 tahun 2003 sebagai basis legitimasi dari pelaksanaan pendidikan sekarang mengisyaratkan hal yang demikian.

4. Kelemahan Sekolah Unggulan

Pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan oleh Nurkolis dalam tulisan nya.

Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.

Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.

Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.

Kesenjangan itu semakin dipertajam oleh terciptanya sekolah unggulan dan kelas khusus tersebut. Akibat negatif yang ditimbulkan oleh eksklu(sifi)sasi/pengistimewaan anak cerdas tersebut adalah sebagai berikut;

Pertama; terbunuhnya semangat kompetisi di kalangan siswa yang berkapasitas otak ‘rata-rata’ ke bawah. Ini menyangkut faktor psikologis, kepercayaan diri, motifasi. Memang, maksud diciptakaannya kelas dan sekolah eksklusif seperti itu agar para siswa termotifasi untuk masuk ke dalamnya. Tetapi apa yang terjadi, justru lebih banyak siswa yang semakin minder dan bersikap pasrah saja melihat kemajuan kawan-kawannya. Tengoklah. Di setiap jenis perlombaan yang digelar, hampir bisa dipastikan bahwa sekolah unggulan dan atau kelas khusus senantiasa mendominasi. Dalam meeting class internal sekolah, misalnya, kelas khusus selalu menjadi yang terbaik; dari lomba cerdas-cermat per mata pelajaran, lomba pidato, lomba majalah dinding, bahkan mungkin sampai lomba kreatifitas masak-memasak. Harapan satu-satunya bagi kelas-kelas reguler mungkin hanya dalam lomba olah raga—itu pun gelar juaranya berpeluang ‘disikat’ pula oleh murid dari kelas khusus. Pada akhirnya siswa-siswa yang tak duduk di kelas khusus putus asa. Mereka tak lagi pernah menargetkan diri menjadi yang terbaik. Target termuluk bagi mereka adalah menjadi nomor dua di bawah kelas khusus. Kasihan. Padahal berputus asa untuk menjadi yang terbaik hukumnya adalah haram. Sayang sekali pengalaman para siswa itu selalu menunjukkan bahwa predikat terbaik itu ‘wajib’ merupakan milik kelas khusus. Kesimpulan yang pertama, pembentukan kelas-kelas khusus dan sekolah unggulan secara tak disadari telah membunuh spirit kompetisi bagi mayoritas siswa. Entah sampai kapan ketidakpercayaan-diri itu tumbuh dan berkembang dalam sanubari sebagian besar calon-calon SDM pembangun daerah ini.

Kedua; tidak terjadi transfer of knowledge dari siswa cerdas kepada siswa tak cerdas. Ini menyangkut metode komunikasi untuk memasukkan mata pelajaran ke dalam otak siswa. Bahasa yang digunakan oleh buku dan para guru umumnya mendapat perhatian dan dimengerti hanya oleh murid-murid cerdas. Murid-murid lain baru dapat memberi perhatian lalu mengerti pelajaran-pelajaran tersebut jika dijelaskan oleh kawannya sendiri dengan bahasa mereka sendiri. Bukankah itu tujuan utama dari belajar kelompok? Namun ketika anak-anak cerdas itu ‘dikarantina’ di sekolah unggulan dan kelas khusus, kelompok-kelompok belajar yang dibentuk oleh siswa lainnya justru menjadi tidak efektif. Bagaimana bisa efektif jika anggota kelompoknya sama-sama tak mengerti dengan pelajarannya? Sementara kelompok belajar di kelas-kelas khusus juga tidak efektif. Toh mereka sudah sama-sama mengerti pelajarannya lalu untuk apa lagi belajar kelompok? Siswa kelas khusus atau sekolah unggulan cenderung menjadi individual learner. Dia memang bertambah pintar dengan cara itu. Tetapi bukankah dia menjadi jauh lebih cerdas bila mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada kawan-kawan yang belum mengerti? Dan dengan begitu dia menjadi lebih berguna daripada sekadar anak pintar?!

Ketiga; tidak terasahnya kepekaan sosial dari siswa-siswa yang cerdas. Siapa saja tentu menjadi lebih dekat secara personal tatkala sering bersua. Menjadi umum pula seorang murid menjadi lebih dekat dengan teman sekelasnya daripada kawannya di kelas lain. Ketika anak-anak cerdas disatukan dalam sebuah kelas atau sekolah saja, maka mereka terbiasa bergaul sesama anak cerdas saja dengan menggunakan bahasa dan perilaku yang lebih cerdas daripada kelas atau sekolah lainnya. Pendek kata, kelas khusus seakan lebih berperadaban daripada kelas lain. Sedangkan kelas biasa—yang jumlahnya lebih banyak itu—terkesan relatif lebih norak dalam bergaul dibanding kelas khusus.Coba tanyakan kepada polisi yang sering menangkap anak-anak pembolos yang nongkrong di Pasar adakah di antara murid yang tertangkap itu masuk dalam khusus atau dari sekolah unggulan? Tentu tidak pernah ada. Kenapa bisa jadi begitu? Sebab kondisi di sekolah tidak memberi peluang bagi bersatunya anak-anak cerdas dengan anak-anak yang tidak cerdas. Dan itu menjadi salah satu pemantik rasa minder di hati anak tak cerdas dan berujung pada pembolosan.Sementara itu para siswa kelas khusus dan sekolah unggulan kian menghampiri keadaan ‘buta sosial’. Mereka tidak terbiasa hidup dan bergaul dengan kawan sebayanya yang kurang cerdas. Padahal manusia-manusia yang kurang cerdas itulah yang akan menjadi konstituen terbesar mereka kelak di kemudian hari mereka menjadi pemimpin. Kepekaan sosialnya minim.

Keempat; sekolah unggulan dan kelas khusus hanya menambah kesenjangan sosial yang memang sudah tajam sekarang ini. Lihat saja murid-murid kelas khusus, hampir tiada yang berasal dari kelas ekonomi lemah. Mayoritas memiliki orang tua berduit—yaitu pejabat eksekutif daerah, anggota dewan, kontraktor atau pengusaha non kontraktor. (Mungkin hanya satu-dua murid kelas khusus yang rumahnya berdinding bambu). Jelas, segala fasilitas pribadi untuk mereka belajar juga dapat diadakan orang tua mereka; entah buku pedoman belajar, internet, sampai penggaris canggih. Sementara di sekolah-sekolah negeri kebanyakan murid tidak memiliki itu semua. Bahkan ada kelas yang semua isinya adalah anak-anak orang miskin. Tak ada kawan untuk berbagi membaca buku. Kalau pun ada anak-anak cerdas dan memiliki fasilitas, mereka sudah eksklusif di kelas khusus. Tak salah kiranya bahwa kualitas guru-guru kelas khusus, sistem belajar dan segala fasilitas mereka belum tentu mampu membuat murid-muridnya berprestasi luar biasa jika sebelumnya yang masuk ke sekolah/kelas itu bukanlah anak-anak cerdas. Pendek kata, murid-murid kelas khusus bisa berprestasi baik karena memang dasarnya mereka sudah cerdas.

5. Restrukturisasi Sekolah Unggulan

Sekolah unggulan pada umumnya hanya menerima siswa-siswa yang unggulan juga. Fasilitasnya pun pada umumnya lengkap. Dengan input yang bagus dan sarana-prasamna yang menunjang, maka pada akhir tahun pun tak mengherankan kalau prestasinya mentereng. Nilai-nilai siswa sekolah unggulan akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa umumnya.

Hal ini biasanya juga akan berimbas pada jenjang pendidikan berikutnya. Siswa-siswa dari sekolah unggulan akan lebih mudah diterima di jenjang pendidikan berikutnya.Nah, sekolah yang biasa-biasa saja biasanya mla menerima murid dari tingkat kecerdasan mana pun, bahkan mungkin ada sekolah yang kebanyakan siswanya adalah limpahan siswa yang tidak diterima di tempat lain.

Biasanya pula, sekolah-sekolah yang nonunggulan ini relatif lebih minim fasilitasnya daripada sekolah yang unggulan. Dengan input yang pas-pasan serta sarana dan prasarana yang kadang minim, jangankan siswa dapat berprestasi tinggi, bisa lulus ujian nasional pun sudah bersyukur.

Dari kenyataan di atas, maka perlu dipikirkan ulang apakah sekolah-sekolah unggulan tersebut pantas untuk dijuluki sekolah unggulan. Padahal, sekolah yang dikatakan unggalan hanya mau menerima siswa yang nilainya tinggi, yang tinggal dipoles sedikit dan jadilah siswa-siswa unggulan yang membawa nama hanim sekolah tersebut.

Sebaliknya, kerja ekstrakeras harus dilakukan oleh sekolah nonunggulan. Sekolah yang dikatakan nonunggulan harus meng-upgrade kemampuan siswa yang pas-pasan dalam waktu yang sama dengan sekolah unggulan. Sekolah nonunggul- j an juga masih dihantui dengan j sarana-prasarana yang minim. Tak mengherankan kalau para guru hams jungkir balik agar para murid memahami satu bab mata pelajaran saja.

Dari itu semua, selayaknya paradigma sekolah unggulan diubah. Gelar sekolah unggulan seharusnya diberikan kepada sekolah-sekolah yang mampu mendidik murid-murid yang biasa menjadi murid-murid yang luar biasa, from zero to hero. Itulah yang layak disebut sebagai sekolah unggulan.

Jadi bukan sekolah yang input-nya bagus kemudian output-nya juga bagus karena itu merupakan hal yang wajar. Pemerintah sendiri diharapkan benar-benar memperhatikan peme-mtaan pendidikan. Selayaknya setiap sekolah memiliki fasilitas yang sama baiknya. Kualitas para guru juga harus diperhatikan. Dengan adanya standardisasi ini, tata tinggal melihat bagaimana sekolah berlomba-lomba menghasilkan output yang berkualitas.

Jika sekolah-sekolah memiliki fasilitas dan gum yang sama kualitasnya, kemudian ada sekolah yang menonjol output-nya, maka bolehlah disebut sekolah unggulan.

Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

Pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.

Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macan.

Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.

Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung.

Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius.

Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya

Setelah melihat uraian di atas, tak ada cara lain selain kita perlu langkah tepat. Mengingat pendidikan kita sedang menghadapi krisis, sehingga butuh pemecahan edukatif agar anak didik menemukan kembali kegembiraan dan sukses dalam belajarnya. Bagaimana agar proses pendidikan di sekolah, bisa membuat anak didik belajar dengan gembira, bermain, menjadi dirinya sendiri, mengembangkan kreativitas demi masa depan, serta hidup secara baik dan benar. Kalau itu bisa ditanamkan pada anak didik, dijamin kesenjangan akan dapat ditekan sekecil mungkin.

Apalagi sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi mereka. Dunia pendidikan benar-benar sedang krisis, tercermin dari guru menjadi pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa. Sekolah jadi lembaga yang mematikan bakat, kreativitas dan gairah siswa untuk belajar. Sekolah sangat komersial dan membunuh kesempatan serta diskriminasi terhadap siswa miskin. Sekolah tidak lagi menjadikan anak didik merasakan kegembiraan dan kebahagiaan, tapi mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan. Mereka mudah stres, suka tawuran, penyalahgunaan narkoba dan malas belajar. Menemukan identitas dan jati diri, menjadi kunci bagi sukses pendidikan mereka.

Sekolah yang seharusnya menyediakan lingkungan belajar yang kondusif, sudah berubah menjadi tak lebih dari bimbingan belajar. Di mana guru yang seharusnya menjadi fasilitator mendampingi, mengamati, menilai kegiatan dan interaksi anak didik, terjebak menjadi mesin distribusi soal latihan ujian dan koreksi jawaban. Ditambah nasib guru yang tak kunjung selesai.

C. Penutup

Dalam hal mengembangkan sekolah kearah sekolah unggulan (sekolah bermutu) disamping perubahan-perubahan tersebut masih banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya : Sarana dan prasarana, Manajmen sekolah,Visi dan Misi sekolah, Profesionalisme Guru dan lain-lain. Untuk Profesionalisme bukan berarti menguasai sebagian besar pengetahuan tatapi lebih penting adalah bagaimana membuat siswa dapat belajar, guru dan siswa disederhanakan agat tidat tercipta gep, adanya perilaku guru yang membuat siswa tersisih atau terpisah dari gurunya, guru dan siswa harus terjalin komunikasi agar dalam proses pembelajaran ada keterbukaan siswa mengeritik dan mengeluarkan pendapat. Sebab bukan tidak mungkin dengan pengaruh perkembangan teknologi siswa lebih pintar dari gurunya.

Demikianlah, seyogianya pemerintah mengganti istilah ”sekolah unggulan” menjadi ”sekolah unggul” yang disertai pemerataan, aksesibilitas, dan interkoneksi yang memungkinkan semua warga negara Indonesia menikmati pendidikan secara wajar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadis, Paradigma Pengembangan Sekolah Unggulan, http://artikel.total.or.id

M. Gorky Sembiring, 2008, Menjadi Guru Sejati, Penerbit: Galangpress Group

Mujtahid, Pendidikan Unggulan Berbasis Pesantren, http://uin-malang.ac.id

P. Suparno, SJ., dkk., 2002, Reformasi pendidikan: sebuah rekomendasi, Penerbit Kanisius.

Reni Akbar H,Sihadi, Akselerasi (A-Z Informasi Progrom Percepatan Belajar)

Siti Nurhasanah, Ada Apa Dengan Sekolah Unggulan

Suara Karya, Meluruskan Paradigma Sekolah Unggulan, http://bataviase.co.id/

NB: Jika anda suka artikel ini, silakan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link ini! Terimakasih.
 
Copyright © 2010 - All right reserved by Education Zone | Template design by Herdiansyah Hamzah | Published by h4r1
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome, flock and opera.