Al-Quran meletakkan seluruh penciptaan di depan mata kita dan memberitahukan bahwa mereka yang takut kepada Tuhan, di antara para hamba-Nya, adalah yang memiliki ilmu
Oleh: Fethullah Gülen*
Hidayatullah.com--Kita merujuk pada ilmu pengetahuan dan fakta-fakta ilmiah ketika menjelaskan Islam karena sebagian orang hanya menerima fakta-fakta ilmiah. Kaum materialis dan orang-orang yang tidak agamis atau anti-agama telah mencoba memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menentang agama dan membubuhi pemikiran mereka dengan pamor lebih dari yang semestinya. Melalui pendekatan ini, mereka telah menyesatkan dan meracuni pikiran banyak orang. Karena itu, kita wajib mempelajari bagaimana berbicara dengan mereka dalam istilah mereka sendiri untuk membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah bertentangan dengan Islam. Kita harus membalikkan bantahan-bantahan mereka terhadap mereka sendiri dengan mengkajinya dan kemudian menggunakannya untuk membimbing orang ke jalan yang benar.
Pendekatan seperti itu sepenuhnya dibolehkan, sebab bagaimana kita berbantah dengan apa yang dinyatakan orang-orang seperti itu jika kita tidak menguasai fakta dan pemikiran mereka? Al-Quran mendorong kita berpikir dan belajar, mengamati bintang dan gugusan bintang. Semua itu membekas pada diri kita akan Kebesaran Pencipta, mendorong kita berkelana menelusuri umat manusia, dan mengarahkan perhatian kita pada hakikat keajaiban pada bagian-bagian tubuh dan penciptaan jasad kita.
Dari atom hingga sesuatu yang paling besar, dari kemunculan manusia pertama di Bumi hingga kepergian kita yang terakhir, Al-Quran meletakkan seluruh penciptaan di depan mata kita. Menyinggung banyak sekali fakta, Al-Quran memberi tahu kita bahwa mereka yang benar-benar takut kepada Tuhan, di antara para hamba-Nya, adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (QS. 35:28), dan dengan demikian mendorong kita menuntut ilmu pengetahuan, berpikir dan meneliti. Akan tetapi, kita wajib tidak pernah lupa bahwa seluruh kegiatan semacam itu harus mengikuti semangat Al-Quran. Jika tidak demikian, sekalipun kita menyatakan mengikuti anjuran dan perintahnya, sejatinya kita akan menjauh darinya.
Ilmu pengetahuan dan fakta-faktanya dapat dan seharusnya digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta kebenaran Islam. Namun jika kita menggunakannya untuk memamerkan ilmu pengetahuan kita, apa pun yang kita sampaikan tidak akan mempengaruhi pendengar kita secara benar, kalaupun ada. Kata-kata dan bantahan cemerlang dan meyakinkan akan kehilangan daya pengaruhnya jika kita memiliki niat yang salah: hanya mengena sejauh gendang telinga pendengarnya dan tidak lebih. Sama halnya, jika penjelasan kita berupaya membungkam orang lain daripada meyakinkan mereka, kita sejatinya akan menutup jalan bagi mereka untuk sampai pada pemahaman yang benar. Dan dengan demikian upaya kita akan gagal, dan tujuan kita tetap tidak tercapai.
Akan tetapi, jika kita berusaha meyakinkan dengan keikhlasan yang penuh dan benar, bahkan mereka yang memerlukan penjelasan semacam itu agar yakin akan mendapatkan bagiannya dan memperoleh manfaat. Kadangkala sebuah penjelasan yang tulus mungkin jauh lebih mengena daripada suatu penjelasan di mana Anda berbicara agak lebih bebas dan memukau. Tujuan utama kita ketika menjelaskan ilmu pengetahuan dan fakta-fakta ilmiah, sesuai dengan tingkat pemahaman pendengar kita, haruslah demi meraih ridha Tuhan.
Ilmu pengetahuan tidak dapat dianggap lebih unggul daripada agama, dan masalah-masalah teramat penting dalam Islam tidak dapat mempergunakan ilmu pengetahuan atau fakta-fakta ilmiah mutakhir untuk membenarkan atau memperkuat kesahihan agama. Jika kita mengambil cara-cara seperti itu, berarti kita menyatakan bahwa kita memiliki keraguan terhadap kebenaran Islam dan memerlukan ilmu pengetahuan untuk mendukungnya. Di samping itu, kita tidak dapat menerima ilmu pengetahuan dan fakta-fakta ilmiah sebagai hal mutlak (absolut). Menggunakan ilmu pengetahuan sebagai acuan pasti untuk mengukur keaslian Al-Quran atau sumber kewahyuannya, dan dengan demikian menempatkan ilmu pengetahuan di atas Al-Quran, tidaklah masuk akal, sesuatu yang dijauhi, dan sama sekali tidak dibenarkan. Penjelasan dan rujukan terhadap ilmu pengetahuan semacam itu, paling tinggi, memiliki kegunaan pendamping dan pendukung. Satu-satunya nilai manfaatnya adalah kemungkinannya dalam membukakan pintu ke sebuah jalan yang keberadaannya memang tidak akan diketahui oleh orang-orang tertentu.
Ilmu pengetahuan adalah digunakan untuk membangunkan atau menggerakkan sebagian akal pikiran yang jika dibiarkan akan terus saja tertidur atau tidak tergerak. Ilmu pengetahuan itu seperti sebuah kemucing yang digunakan untuk menghilangkan debu yang menutupi kebenaran dan hasrat mengetahui kebenaran, yang terletak tersembunyi di dalam nurani yang tidak dibangunkan. Jika kita memulai dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah mutlak (absolut), kita akan berujung pada upaya mencocok-cocokkan Al-Quran dan Hadits pada ilmu pengetahuan. Hasil dari usaha semacam itu hanyalah keraguan dan kebingungan, terutama ketika kita tidak dapat mencocokkan Al-Quran dan Hadits dengan sejumlah pernyataan ilmiah masa kini yang mungkin dibuktikan keliru di masa yang akan datang.
Kedudukan dan sikap kita haruslah jelas: Al-Quran dan Hadits adalah benar dan mutlak. Ilmu pengetahuan dan fakta-fakta ilmiah adalah benar (atau salah) hanya sebatas pada tingkat ketika bersesuaian (atau tidak sesuai) dengan sumber-sumber tersebut. Bahkan fakta-fakta ilmiah yang sudah pasti mapan tidak dapat menjadi tiang-tiang untuk menopang kebenaran iman; tetapi, ilmu pengetahuan dan fakta-fakta ilmiah dapat diterima hanya sebagai sarana yang memberikan kita gagasan atau mendorong perenungan kita tentang Tuhan, Yang menanamkan kebenaran iman di dalam hati nurani kita. Mengharapkan bahwa hal ini benar-benar atau bahkan dapat terjadi melalui ilmu pengetahuan adalah sebuah kesalahan besar: iman datang hanya melalui hidayah Ilahi.
Siapa pun yang gagal memahami hal ini telah jatuh ke dalam kekeliruan yang sulit dipulihkan. Orang-orang semacam itu mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dari alam semesta dan, di saat berupaya menjadikannya berbicara memukau dengan Nama Tuhan, terus saja menjadi hamba tanpa sadar bagi alam dan penyembah alam. Mereka mempelajari dan berbicara mengenai bunga, tentang hijau dan berseminya alam, tetapi tidak sedikit pun kehijauan atau tunas iman tumbuh di dalam nurani mereka. Mereka mungkin malah tak pernah merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubari mereka. Dalam penampakan mereka tidaklah menyembah alam, tetapi dalam kenyataannya itulah yang sedang mereka kerjakan.
Seorang lelaki atau perempuan adalah mu'min (orang yang beriman) karena iman di dalam hatinya, bukan disebabkan banyaknya ilmu pengetahuan di dalam kepalanya. Setelah kita memahami sebanyak yang kita mampu mengenai bukti obyektif dan subyektif yang telah kita kumpulkan, kita harus menanggalkan ketergantungan kita pada pengaruh luar, tabiat, serta keadaan bukti seperti itu. Hanya dengan melakukan hal ini sungguh kita akan mampu mencapai kemajuan ruhani. Ketika kita meninggalkan ketergantungan ini dan mengikuti qalbu dan nurani kita dalam lingkupan cahaya dan petunjuk Al-Quran, pada saat demikianlah, insya Allah, akan kita temukan pencerahan yang sedang kita cari. Sebagaimana filsuf Jerman Immanuel Kant pernah berkata: "Saya merasakan perlunya meninggalkan semua buku yang telah saya baca dalam rangka beriman kepada Tuhan."
Tidak diragukan, Kitab agung Alam Semesta dan kitab hakikat sejati umat manusia, serta penafsiran keduanya, memiliki makna dan kedudukannya yang sesuai. Tapi setelah kita menggunakannya, kita sepatutnya menyisihkannya dan hidup dengan iman kita, seolah-olah, berhadap-hadapan langsung. Hal ini mungkin terdengar agak abstrak bagi mereka yang belum masuk hingga ke dalam merasakan iman dan suara hati. Akan tetapi bagi mereka yang malam-malamnya diterangi dengan ibadah, dan yang mendapatkan jalan melalui kerinduannya untuk mencapai Tuhan mereka, makna tersebut adalah jelas.
ilustrasi: http://static.biotech-weblog.com
*)Fethullah Gülen (www.fgulen.com) adalah tokoh cendekiawan terkemuka Turki yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengajar sangat luas di bidang Islam. Seorang penulis handal lebih dari 60 buku yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa dunia, Fethullah Gülen memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai imam, dai, dan pegiat masyarakat madani dengan kepakaran yang diakui tentang Islam, pendidikan, dan dialog di Turki dan di seluruh dunia. Tulisan di atas adalah hasil karyanya berjudul: The Concept of Science.